Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Meneladani Cara Berdagang Kanjeng Nabi

28 Agustus 2020   04:30 Diperbarui: 28 Agustus 2020   07:06 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar diolah: Urip Dunker (Unsplash)

Semenjak kedua orang tua Kanjeng Nabi Muhammad wafat, beliau diasuh oleh kakek beliau dan kemudian diteruskan pamanda beliau, Abu Thalib. 

Selama dalam pengasuhan pamannya ini, Nabi telah banyak mendapat pelajaran tentang berwirausaha. Mulai dari berternak kambing hingga berdagang.

Bekal ilmu dan pengalaman berwirausaha inilah yang kemudian mengalami titik kematangannya pada saat beliau bekerja dengan Siti Khadijah, seorang saudagar kaya di Makkah yang yang kelak menjadi isteri beliau. 

Selama bekerja dengannya, Khadijah berulangkali dibuat terkagum-kagum dengan cara Nabi dalam berdagang. Dengan berbekal kejujurannya, beliau telah berhasil memikat hati para pelanggannya. Sehingga tidak jarang, beliau pulang dalam keadaan yang sold out alias semua barang dagangannya habis terjual. 

Diantara bentuk kejujuran yang dipraktikkan oleh Nabi dalam berniaga adalah mengenai transparansi harga, beliau tidak segan dan khawatir saat membocorkan rahasia harga kulakan pada pelanggannya, bahkan beliau juga acapkali meminta mereka sendiri yang menentukan harga belinya. Yang berarti, selisih dari harga penawaran mereka dengan harga kulakan itulah keuntungan yang akan didapatnya. 

Apakah Nabi atau usaha Khadijah merugi akibat sistem berdagangnya yang seperti ini? 


Justru sebaliknya, usaha itu kian menemui kejayaannya, sebab pelanggan menemukan konsep pemasaran yang unik dan belum atau tidak pernah ada pada pedagang sebelumnya. 

Konsep pemasaran yang beliau gunakan adalah dengan cara membentuk sistem transparansi harga, sebab serapat apapun penjual menyembunyikan harga suatu saat akan terbongkar juga strategi harganya. 

Jauh sebelum beliau menerapkan sistem itu, Baginda Nabi telah memiliki modal kejujuran sedari kecil. Sebab kejujurannya, beliau pun terkenal di kalangan masyarakatnya dengan julukan si jujur (shadiq). Kejujuran inilah yang kemudian juga beliau praktikkan ketika berdagang sehingga siapa saja mudah memercayai kualitas dagangan yang beliau tawarkan berikut pelayanan yang beliau sajikan. 

Rahasia sukses beliau dalam berwirausaha ini bahkan beliau tularkan pada siapa saja. Misalnya, pada saat ada seorang sahabat yang bertanya pada beliau mengenai pekerjaan apa yang paling baik, beliau pun menjawab, pekerjaan terbaik itu adalah profesi apa saja yang dilakukan oleh seseorang secara mandiri dan setiap transaksi jual beli yang dilakukan dengan cara yang baik. 

Dalam penjelasannya yang lain, beliau pun mengaskan bahwa transaksi jual beli yang baik adalah dengan menghilangkan praktik penipuan di dalamnya. Barangkali penjelasan beliau ini sekaligus membabarkan keterangan di dalam Alquran mengenai larangan memakan harta siapa saja kecuali dengan jalan jual beli yang didasari kerelaan hati atau keridhaan antar pihak yang terlibat di dalamnya. 

Dengan demikian, pihak yang bertransaksi di dalamnya harus pandai menimbang dengan penuh rasa keadilan, bagaimana caranya agar dirinya maupun pihak diajak bertransaksi itu mendapatkan kerelaan hati bahkan kepuasan setelah menjalankannya.

Kerelaan hati sebab ia mendapatkan hal yang pantas dengan apa yang telah ia korbankan, dan rasa puas yang timbul sebab ia merasakan manfaat secara nyata dari apa yang ia peroleh. Kiranya dua hal inilah yang patut dipertimbangkan bagi siapa saja yang bertransaksi ataupun ber-mu'amalah dengan pihak lainnya, demi tercapainya kerelaan hati dari pihak yang terlibat di dalamnya. 

Barangkali kita sudah sangat paham mengenai pelajaran tentang kejujuran ini sedari kita kecil. Atau, bahkan kita berulangkali mendapatkanya, baik itu dari keluarga sendiri maupun dari sekolah. Atau, setidaknya kita sering mendengar dari orang-orang di sekitar kita tentang, misalnya, jangan bohong itu tidak baik, dusta bisa menghilangkan kepercayaan dari orang lain, dan seterusnya. 

Kemudian, seiring berjalannya waktu, nurani kita pun dihadapkan dengan kondisi antara memelihara kejujuran itu atau memperoleh kenyamanan yang mungkin saja sifatnya sangat semu dalam kehidupan kita. 

Misalnya saja, sewaktu kita dulu duduk di bangku sekolah. Pada saat kita mengikuti ujian, kita dihadapkan dengan pilihan; apakah kita tetap memelihara kejujuran itu pada diri kita dengan mengerjakan soal itu sesuai kemampuan kita, ataukah kita menukarnya dengan kenyamanan nilai ujian yang memuaskan dengan cara menyontek? 

Barangkali sebagian ada yang berdalih, lha gimana lagi budayanya memang begitu, hampir seisi kelas menyontek semua, atau bahkan pengawasnya sendiri pun memfasilitasi hal itu. Kemudian, yang mungkin saja membuat mereka bimbang adalah apakah mereka akan membuang fasilitas itu begitu saja? 

Begini. Bagaimanapun ujian adalah cermin dari kemampuan diri kita, sekaligus latihan bagi kita untuk menempuh tahap kejujuran yang berikutnya. 

Jika lembaga pendidikan yang seharusnya mengarahkan nurani manusia pada kepribadian yang luhur justru berbuat sebaliknya, maka kemana lagi para pembelajarnya akan memedomani pelajaran dan teladan yang baik tentang kejujuran dan ajaran yang baik tentang kehidupan?

Jika hal ini sudah terlanjur dan mungkin berulangkali terjadi, maka tiada pilihan lain kecuali dengan mengevaluasi diri, mengajak diri kita untuk terus belajar dan terus berbenah yang itu tidak harus dilakukan di bangku sekolah, agar mengantarkan siapa saja pada praktik kejujuran dalam setiap aktivitas kehidupannya. 

Kembali lagi pada bahasan perdagangan. Jika seseorang belum atau tidak mampu mempraktikkan kejujuran dalam berniaga, maka tidak perlu ia menyalahkan proses belajar dan kehidupannya yang terdahulu, termasuk juga sistem culas yang mungkin masih sering terjadi di sekelilingnya. Mengingat, siapa saja sebenarnya memiliki nurani untuk memerdekakan dirinya sendiri, untuk memilah dan memilih mana perihal terbaik yang harus dilakukan. 

Setelah seseorang tahu bahwa sistem itu salah sebab penuh dengan keculasan, maka ia pun tinggal memilih jalan yang sebaliknya untuk memperbaiki diri secara perlahan yang dalam jangka panjangnya akan menghilangkan konsep yang buruk itu dari kehidupannya. 

Dengan demikian, setelah ia memiliki konsistensi dalam menempuh langkah perbaikan diri itu, maka secara perlahan arah kehidupan itu akan kian membaik dari waktu ke waktu, dan mungkin hingga penghujung usianya.

Ia dapat menjalani itu semua sebab telah memiliki teladan yang paripurna dari perilaku Kanjeng Nabi dalam kesehariannya, berikut ajaran tentang keluhuran budi yang telah dibawanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun