Mohon tunggu...
Mas Amik
Mas Amik Mohon Tunggu... -

tidak selamanya bicara harus lewat suara dari mulut... tangan pun bisa bicara, lebih banyak dan awet malah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Spanduk Calon

26 Januari 2014   23:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah sebulan ini kami disibukkan dengan persiapan perhelatan pemilu kepala desa kami. Terutama mengkampanyekan calon yang diusung. Termasuk memasang spanduk dan poster di tempat-tempat strategis yang mudah dilihat dan dijangkau orang. Tak peduli sudah berapa rupiah anggaran yang dihabiskan demi memenangkan calon masing-masing.

Aku dan teman-teman kampungku juga mempunyai satu nama calon yang nantinya kami perjuangkan. Harapan kami jika nama yang kami jagokan ini lolos dan memenangkan suara akan ada banyak rencana yang tidak hanya berhenti menjadi rencana. Mulai dari perbaikan jalan di kampungku, sarana kesehatan yang memadai juga peningkatan pendidikan bagi anak-anak kami. Dan tentunya juga ‘sedikit’ cipratan buat tim sukses.

Bukan tanpa alasan kami mengangkat namanya. Ia merupakan seorang tokoh di desa kami. Dulu ia seorang pengusaha mandiri yang memiliki lahan di mana-mana. Semua dirintisnya mulai dari nol sejak ketika masih merantau dulu. Anak buah, karyawan, kolega dan temannya ada di mana-mana. Anehnya ketika karirnya mencapai puncak semua bisnisnya dilepas begitu saja. Bosan katanya sejak muda berkutat dengan uang dan pekerjaan.

Ia kemudian banting stir mendirikan asrama untuk nantinya ditempati anak-anak yatim piatu dan kurang mampu di desa kami dan sekitarnya. Mungkin karena latar belakang pendidikannya pesantren, jiwa santrinya masih tergugah untuk mengabdikan diri dengan mengaji dan menyebarkan ilmu agama. Benar saja, tak perlu waktu lama pesantren yang didirikannya berkembang pesat. Bukan saja karena hubungan dengan rekan-rekan bisnisnya duku yang masih harmonis. Namun diam-diam ternyata keilmuannya tak bisa diremehkan. Selain mengajar para santri sering pula ia diundang mengisi ceramah di mana-mana.

Kenapa aku sampai tahu sedetail itu? Tentu saja, karena dia adalah sahabatku sejak kecil. Rumah kami hanya dipisahkan 4 rumah dan 1 mushola. Mushola ini pula yang mengenalkan aku padanya. Kami kecil setiap ba’da maghrib mengaji bersama abah di sana. Kami tak pernah berhenti bersaing. jika aku sudah sampai ayat 20 misalnya, ia akan ngotot setoran ngaji kepada abah lebih dari itu. Sebaliknya jika ia sudah berhasil hafal satu surat pendek, aku akan menambahi hafalanku satu surat lagi. Kala itu seakan tak ada yang lebih nikmat daripada menyainginya. Hingga ketika ia dirantaukan oleh orang tuanya ke salah satu pesantren besar di jawa timur aku sampai bilang kepada abah untuk juga dipondokkan di pesantren lain yang tak kalah tersohor dengan pesantrennya. Itu menjadi perpisahan pertama kali sejak mengaji bersama abah. Maklum umur kami terpaut 2 tahun, dengan aku yang lebih muda. Otomatis dia dulu yang merantau meninggalkan kampung halaman kami.

Pendek kata ia adalah figur sempurna untuk menjadi tokoh panutan di desaku. Hingga akhirnya banyak tetangga dan teman-teman yang menawarkan namanya menjadi salah satu kandidat calon lurah desa kami. Namun di luar dugaan ia menolak tawaran tersebut.

“Saya sudah berkomitmen mengabdikan diri saya kepada masyarakat lewat pendidikan pesantren. Saya tidak mau mencampur aduk niat awal saya dengan terjun di dunia politik, walaupun hanya setingkat desa,” ungkapnya kepadaku ketika aku sowan menanyakan ihwal tawaran teman-temannya. Aku tak mengira ia akan menjawab demikian. “Sebagai gantinya bagaimana kalau begini ... ,” ia malah menyodorkan tawaran lain. Aku terkejut mendengarnya.

“Apa aku tidak salah dengar, kang?” aku masih tak percaya.

“Ndak. Ndak ada yang salah. Lagipula tak sulit mendapat suara banyak jika nama yang diusung sudah sepopuler itu di desa kita. Jika memang sulit tak apalah aku nanti ikut bekerja di balik layar,” katanya meyakinkanku.

Dari arahannya pula dibentuk sebuah tim untuk mensukseskan misi ini. Ia sendiri bukannya menjadi calon malah masuk dalam jajaran pengurus inti yang mempersiapkan langkah dan strategi untuk memenangkan proyek ini. Mulai dari kampanye RT RW, membuat spanduk dan banner hingga mencari dukungan dri sesepuh-sesepuh desa. Banyak yang belum tahu siapa sebenarnya yang diangkat olehnya menjadi calon lurah. Karena sejak awal banyak yang mengira ia sendiri yang nantinya ikut nyalur (nyalon lurah).

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun