Semula hijau. Senyum, kemudian sumringah menghias iris terdalam. Penuh damai bak luapan bengawan, subur-makmur oleh hiasan tenang tak bertepian.
Berjalan sepanjang lorong ingatan, duduk sebentar di naungan mimpi bermula hayal. Setelah sepekan, sebulan, beberapa tahun sebelum prahara datang.
Tumpas tak bersisa. Hancur berkeping sehalus debu bata merah. Begitu kecamuk hati mulai melanda, merubah teduh laksana petir kilat membahana.
Yang tampak kemudian adalah curiga, yang mengemuka kata-kata amarah. Tak peduli hiruk-pikuk keramaian, semakin abai protokol sopan-santun pergaulan.
Engkau berubah wahai hati, membiarkan titik hitam menggumpal memenuhi narasi. Semakin tenggelam perasaan, hijau berubah hitam, adab berganti arogan. Semua kendali hanya hasrat menguasai,semua tentang ambisi berlebih perlahan membunuh nurani.
Tak hendak kembali ke zaman keteduhan? Ingatkah nostalgia tentang kesantunan dan kepribadian. Rindukah hati putih penuh hujan budi penuh kecemerlangan.
Kemarau hati ini, gersangnya akal-budi, miskinya nurani tak berwelas asih. Adakah yang tersisah dari episode ini.
*****
Baganbatu, januariÂ
2022