Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengacara, Boleh Kaya dan Terkenal Tapi Tak Bisa Jadi Presiden

18 Juli 2015   12:17 Diperbarui: 18 Juli 2015   12:17 1659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul diatas tentulah bukan sebuah kesimpulan, harapan atau pun doa, apalagi kutukan. Itu hanyalah sebuah fakta sejarah yang telah dan sedang berlangsung di negara kita sejak merdeka hingga era reformasi sekarang ini. Entah karena kebetulan atau bukan, Indonesia sudah melahirkan 7 presiden tetapi belum satu pun yang bergelar Sarjana Hukum—apalagi seorang pengacara.

Soekarno, misalnya, presiden pertama sekali gus founding father NKRI ini adalah seorang insinyur lulusan De Techniche Hoogeschool (THS) di Bandung yang sekarang bernama ITB. Meskipun dididik sebagai arsitek tetapi kemampuan orasi beliau belum ada tandingannya di republik ini.

Berikutnya, presiden ke-2 RI, Jendral Besar Soeharto. Penguasa republik selama 32 tahun yang terkenal dengan julukan ‘the smiling general’ ini, di luar pendidikan ketentaraan, hanya berpendidikan formal SD, SMP, dan Sekolah Agama.

BJ Habibie, siapa yang tak kenal presiden ke-3 ini. Sebelum melanjutkan kuliah di Jerman hingga meraih gelar doktor ingenieur beliau sempat kuliah di ITB Bandung selama setahun. Dunia bahkan lebih mengenal beliau karena keahliannya dalam konstruksi pesawat terbang ketimbang sebagai wakil presiden dan presiden RI.

Selanjutnya, Abdurahman Wahid (Gusdur). Konon, presiden ke-4 RI ini secara formal tidak punya gelar kesarjanaan. Tetapi beliau pernah kuliah di Universitas Al Azhar Mesir selama tak lebih dari dua tahun lalu pindah ke Universitas Baghdad Irak di Jurusan Agama pada Fakultas Sastra. Kiyai yang terkenal dengan humor-humor segarnya ini juga pernah belajar di McGill University Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam.

Berikutnya, Megawati Soekarno Putri. Presiden ke-5 RI ini juga tak memiliki gelar kesarjanaan, tetapi beliau pernah belajar di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Jakarta.


Kemudian, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden ke-6 yang terkenal falmboyan ini, sebelum masuk Akabri pernah kuliah di Jurusan Teknik Mesin Institut 10 November Surabaya (ITS). Diluar pendidikan kemiliteran, puncak pendidikan SBY terjadi tahun 2004 saat sukses meraih gelar Doktor dalam bidang ekonomi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Terakhir, Joko Widodo, presiden RI saat ini. Mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini adalah penyandang gelar insinyur (Ir) lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gajahmada (UGM) Yogyakarta.

Berdasarkan data pendidikan formal terakhir (di luar pendidikan militer) ketujuh presiden RI itu kita peroleh fakta bahwa baru dua jenis bidang pendidikan yang telah melahirkan Presiden Republik Indonesia yaitu bidang sain-tek dan keagamaan. Presiden yang pernah mendapat pendidikan sain-tek adalah Soekarno, BJ Habibie, Megawati Soekarno Putri, SBY, dan Jokowi . Sedangkan yang pernah mendapat pendidikan keagamaan adalah Soeharto dan Gusdur.

Pendidikan membentuk kepribadian dan visi
Kembali ke pertanyaan awal ‘Mengapa tidak ada presiden kita yang bergelar Sarjana Hukum atau, setidaknya, pernah belajar di Fakultas Hukum? Jika ada yang menjawab “itu karena takdir, tidak ada kaitannya dengan jenis pendidikan” maka perdebatan pun selesai.

Tetapi dengan menjawab seperti itu kita mengabaikan fakta bahwa sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan ketrampilan (psikomotrik) seseorang bisa dibentuk dan dikembangkan melalui pendidikan. Artinya, pendidikan bisa membentuk dan mengubah karakter kepribadian serta visi seseorang.

Sepertinya, untuk bangsa Indonesia, pendidikan sain-tek dan keagamaan lebih pas membentuk kepribadian dan visi pemimpin bangsa. Itu sebabnya mengapa 7 presiden kita adalah ‘alumni’ dua bidang pendidikan tersebut.

Pendidikan sain-tek melatih seseorang memahami (mencari kebenaran), memanipulasi (rekayasa), dan memanfaatkan alam untuk kesejahteraan umat manusia. Sementara pendidikan keagamaan menyadarkan seseorang akan hakikat hidup dan kehidupan serta tanggung jawab umat manusia di dunia ini.

Orang yang terdidik dan terlatih dalam bidang sain-tek cenderung bersifat terbuka, logis, objektif, kreatif dan suka berbuat sesuatu yang inovatif. Kepribadian seperti itu, agaknya oleh publik dipandang cocok menjadi seorang pelopor (agen) perubahan. Maka, wajar bila kemudian orang-orang yang terdidik dalam bidang sain-tek mudah mendapat simpati dan dukungan publik saat mereka ‘menjual diri’ (baca: berkampanye) untuk menjadi pemimpin.

Selanjutnya, orang yang benar-benar memahami dan menjiwai ajaran (pendidikan) kegamaan cenderung tampil sederhana dan rendah hati. Meskipun sederhana dan rendah hati orang-orang seperti itu kadang luar biasa tegas dan sangat disiplin. Di negeri kita ini orang-orang yang sederhana dan rendah hati akan mudah meraih simpati dan kepercayaan publik.

Bagaimana dengan pendidikan (ilmu) hukum? Tentunya karakter kepribadian yang akan terbentuk melalui pendidikan hukum adalah pribadi kritis, suka berbicara dan berdebat. Celakanya, di negeri ini, orang-orang yang kritis, banyak bicara dan suka berdebat cenderung dipandang angkuh, arogan, dan hanya pandai bicara.

Dengan karakter seperti itu wajar bila kemudian seorang pengacara—yang tentu saja bergelar Sarjana Hukum—tidak mudah meraih simpati dan kepercayaan publik ketika dia berkampanye untuk menjadi pemimpin bangsa dan negara.

Meski pribadi seperti itu relatif sulit meraih simpati dan dukungan masyarakat untuk menjadi pemimpin bangsa, akan tetapi seorang Sarjana Hukum yang profesional boleh jadi sangat sukses menjalani profesinya (pengacara, jaksa, hakim) sehingga bisa menjadi kaya raya dan terkenal.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun