Pernahkah saat mempunyai sesuatu yang agak redup, kemudian melihat milik orang lain yang cukup terang, kita akhirnya merasa bahwa apa yang kita miliki belumlah cukup, dan hati akhirnya merasa hal ini kurang?
Dengan melihat kita bisa tahu. Bahwa semakin mendongak diri memandang, karakter semakin terancam degradasi. Tapi punya suatu mimpi tentang cita-cita yang berlebihan, dan segera hilang.
Apa yang dikatakan Hannibal Lecter mungkin benar. Mungkin tidak. Bahwa timbulnya keinginan disebabkan karena kita terus menerus melihat.
Kita melihat sesuatu, akhirnya standar hidup lama kelamaan berubah. Siapa yang akan mengeluh makan tiwul, saat zaman dulu orang nusantara tidak mengenal beras. Sebab mereka belum melihat nasi.
Siapa yang akan mengeluh berjalan kaki jauh, atau kehujanan naik kuda berhari-hari, saat orang zaman dahulu belum mengenal mobil. Mereka tidak menginginkan kendaraan teduh dan nyaman itu, karena mereka belum pernah melihatnya.
Atau dalam kontinuitas sederhana kita, dimana sesekali akhirnya mengeluh bosan. Menyantap hidangan tempe tahu sebagai sarapan. Karena kita melihat tetangga sebelah masak opor ayam.
Atau dua puluh tahun lalu, kita sudah sangat puas punya ponsel dengan fitur hanya telepon dan SMS. Karena dulu kita tak melihat disekitar kita, ada gawai yang lebih canggih.
Dan siapa yang tak menginginkan surga? Tempat luar biasa indah tiada terkira. Namun seberapa ingin? Ada seniman yang coba melukisnya. Tapi imajinasinya terpaut sebatas keindahan dunia. Gambar itu berbicara realitas, bahwa manusia tidak bisa menggambarkan sesuatu yang lebih indah daripada matahari tenggelam di pantai perdu.
Atau tentang bagaimana orang di jazirah Arab selalu memakai bulan purnama sebagai perumpamaan akan keindahan.
Yah, manusia hanya bisa menggambarkan sesuatu dengan apa yang diketahuinya. Dan cenderung menginginkan hal yang pernah dilihatnya. Sejalan dengan frasa sikap kita dipengaruhi oleh lingkungan.
***
Selamat pagi menjelang siang.