Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Awal Mula Kemunculan Teologi sebagai Respon Sengketa Politik?

3 Juni 2020   05:40 Diperbarui: 3 Juni 2020   05:41 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CATATAN DARI BUKU MENJADI MUSLIM MODERAT #3

(Awal mula kemunculan diskursus teologi. Sebagai respon sengketa politik?)

________

Sebelum memulai tulisan ini, saya ingin mencatat teori ini. Yah... Ternyata apa yang saya lakukan ada teorinya. Seperti teknik free writting yang gak sadar saya lakukan.

Ternyata, dalam belajar mandiri pasca pindah kamar ini, bikin coret-coret matkul begini namanya Teknik Feynman (Feynman Technique).

Teori ini dikemukakan oleh Richard Feynman, seorang fisikawan. Teknik ini dirancang untuk membantu memahami hal-hal kompleks secara sederhana dan mudah dijelaskan kepada orang lain.

Saya sering "gagal" memahami masalah saat hanya membaca atau mendengarkan. Mendengarkan sampai penjelasan selesai, dan tiba-tiba sudah lupa. "Dia tadi ngomong apa saja sih?"

Sial, karena kadang semua berlalu begitu saja jika saya gak menyiapkan catatan semacam ini.

Tapi dengan mencatat, prosesnya "akan lebih cepat". Ternyata menurut Learning Pyramid, dengan memposisikan diri, sebagai orang yang seolah-olah "mengajarkan kepada orang lain", kita akan lebih mendapatkan banyak hal. Tapi disini saya gak mengajari siapapun. Soalnya saya paling junior disini. Wong namanya juga "seolah-olah."

Dalam hal ini, saya menulis ulang, apa yang saya tangkap dengan bahasa saya sendiri. Sesederhana mungkin. Dengan kalimat yang mudah dipahami bagi mereka yang tidak mengerti asal-usul masalah sekalipun. Saya menangkap esensi. Bukan hafalan.

Dengan trik semacam ini, konon kita bisa menyerap sekitar 90% dari apa yang kita pelajari karena kita melakukan pembelajaran aktif.

Bedakan saat kita jadi orang yang belajar secara pasif. Dengan hanya menyimak saja, atau mungkin membaca saja, tanpa mencatat. Akhirnya, yang bisa diingat kadang sedikit. Mungkin hanya sekitar 5%.

Ada empat tahap untuk mempraktekkan Teknik Feynman. Dan intinya, yang saya pahami adalah tahap ke empat. Bagaimana kita bisa "menjelaskan ulang bagian rumit tersebut dalam bahasa yang lebih sederhana". Dan "jika Anda masih belum bisa menjelaskan dengan sederhana, artinya Anda belum memahami sepenuhnya apa yang anda pelajari tersebut."

***

Sudah cukup basa-basinya...

Kita sepakat bahwa munculnya banyak aliran dalam akidah Islam tak lepas dari sejarah. Semua akademisi, bahkan yang non muslim sekalipun akan mengatakan hal sama. Seolah sudah menjadi konsensus.

Tidak seperti ushul fikih, mawaris, atau bahkan diskursus falak dan astronomi.

Jika fikih adalah respon dari masalah waqi'iyah, maka ada anggapan buruk yang saya sayangkan, bahwa ada yang memahami kemunculan teologi sebagai imbas dari sengketa politik.

Apakah tidak terlalu berlebih-lebihan? Mengkambinghitamkan agama sebagai tameng agar merasa jadi orang yang gak bersalah ditengah kemelut perebutan kekuasaan?

Makanya perlu bersikap objektif. Saya gak berada di pihak itu. Dan meskipun tulisan ini gak mungkin sampai ke orang yang berpikir demikian, setidaknya ini hal kecil yang bisa saya lakukan untuk membela "keluhuran ilmu pengetahuan". Ilmu bukan disalah tempatkan untuk hal "duniawi" semacam itu.

_______

Mari berpikir objektif...

Masalah sengketa kekuasaan dalam sejarah perkembangan umat Islam sebenarnya adalah pembahasan yang saya hindari.

Saya mencoba untuk tidak cari tahu akan rumitnya pergolakan kekuasaan pada masa sahabat Ustman bin Affan Radhiyallahu'anhu, dan sahabat Ali bin Abi Thalib Karromaallahuwajhah. Saya cuma takut jadi orang yang kepleset dalam memahami. Makanya lebih baik gak tahu apapun. Tema itu menjadi blind spot saya dalam sejarah Islam.

Karena nabi Muhammad Shalallahu'alaihiwasallam tidak menunjuk seorang pemimpin secara tegas, beliau hanya menunjuk sahabat Abu Bakar Radhiyallahu'anhu sebagai imam salat. Tidak secara langsung menunjuk beliau sebagai khalifah, akhirnya proses pemilihan kekuasaan berjalan dengan musyawarah antara pembesar kaum Muhajirin dan Anshar.

Hal semacam ini gak menimbulkan perpecahan jika disikapi secara bijak. Sebagaimana yang saya tangkap dari kutipan dalam dawuh imam Asy'ari di kitab beliau. Sebab seharusnya Islam bisa mewadahi setiap perbedaan apapun. Bahkan yang paling berbeda sekalipun, asal tidak melanggar prinsip pokok.

"'Perselisihan kaum muslim sepeninggal Nabi Muhammad saw.,' tulis Imam al-Asy'ari (w. 324 H) dalam pengantar bukunya Maqalt al-Islmiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, 'terjadi dalam banyak hal.

Perbedaan itu membuat mereka saling menyalahkan. Mereka saling mencuci tangan dari kesalahan yang lain. Hal itu membuat mereka tercerai-berai menjadi beberapa kelompok.

Hanya saja, Islam menyatukan perbedaan itu dan memayungi mereka semua. Semua perbedaan itu dimulai dengan perbedaan tentang kepemimpinan (baca: setelah Nabi wafat)" (halaman 21)

Ada kalimat yang perlu digarisbawahi. "Islam menyatukan perbedaan itu dan memayungi mereka semua." Indah sekali kalimat tersebut. Andaikan kita benar-benar memahami hakikatnya.

Kadang egoisme lah yang membuat seseorang gelap mata. Dan berani menghalalkan segala cara, demi mencapai maksud dan tujuan. Bahkan mengatasnamakan agama.

"Mencermati alur sejarah teologi di atas, yang ditulis oleh para sejarawan teologi sekaligus perumus mazhab teologi, bisa dipahami bahwa terbentuknya mazhab-mazhab teologi berbeda-beda dari sisi waktunya.

Mazhab yang paling awal muncul adalah mazhab Syi'ah dan Murji'ah, kemudian yang muncul relatif pertengahan seperti Muktazilah, dan mazhab yang muncul relatif akhir adalah mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah, yang biasa disingkat dengan Aswaja." (Halaman 23)

Tapi rasanya kurang bijak untuk terus menerus memperpanjang masalah ini. Semua sudah terjadi. Ya sudahlah, mau diapain lagi. Menyesal juga gak akan mengubah apapun. Ambil saja pelajaran baiknya. Agar tak jatuh di kesalahan yang sama.

Murji'ah sebagai pendukung sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu'anhu sudah punah. Muktazilah juga setahu saya sudah gak ada lagi. Atau jika masih ada mungkin sangat kecil. Yang tersisa hanyalah paham Syiah dan Sunni itu sendiri.

Semua sudah berlalu. Tapi anggapan buruk terlanjur melekat. Bahwa ada pemahaman "teologi merupakan perpanjangan dari sengketa politik di masa awal perkembangan Islam. Dan dianggap sebagai jalan untuk memenangkan kubu tertentu."

Ini yang seharusnya perlu diluruskan dengan mencoba berpikir objektif. Apakah benar-benar demikian?

______

Kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun... Tentu saja semua orang menganggap akidah mereka yg paling benar.

Syiah memiliki dalil sendiri kenapa menurut mereka paham Syiah adalah yg paling benar. Muktazilah, dan Murji'ah juga pasti memiliki argumentasi sendiri. Begitu juga dengan kita ahlussunah.

Jangankan ahlussunah, khawarij saja memiliki dalil atas setiap tindakan ekstrim mereka. Tapi disitulah, keumuman dalil yang multi tafsir akhirnya di belokkan sesuai kepentingan masing-masing.

Makanya sekali lagi, jangan memahami agama melalui egoisme dan emosi. Tapi harus berdasarkan kenyataan dan objektivitas. Sebab pada hakikatnya, kebenaran hanya ada satu.

Saya ingin menggarisbawahi kesimpulan dari penulis buku ini. Bahwa imam Asy'ari sebagai peletak pondasi madzab sendiri mengajak kita untuk lebih memahami kesejatian Islam. Bahwa dalil agama tidak semata-mata ada untuk mendukung suatu komunitas tertentu. Menurut saya, Islam tidak membela Mu'tazilah, Syiah, Murji'ah, atau siapalah... Tapi Islam membela siapa saja yang benar dari itu semua.

"Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari pada akhirnya menegaskan bahwa keragaman itu disatukan oleh Islam. Hal ini semakin membuktikan kejelian sang imam ketika membaca sejarah kemelut para sahabat di masa Islam awal. Dengan kata lain, iman menjadi cakrawala kesadaran yang mengambil bentuk dalam perilaku politik." (Halaman 27)

Dan kalimat dibawah ini mendukung kesimpulan saya. Saya walaupun bukan ulama. Bukan ahli tauhid. Bukan ahli sejarah. Cuma orang awam biasa, sangat setuju dengan kalimat ini...

"Melalui pembacaan ini, cara yang lebih tepat untuk menjelaskan tentang motif utama terbentuknya teologi bukanlah terletak pada politik di antara para sahabat nabi, tetapi pada keimanan muslim yang ingin menemukan bentuk tegasnya sebagai ilmu melalui proses-proses dan problem-problem yang dihadapi oleh muslim generasi awal.

Hal ini menandakan bahwa politik bukanlah penyebab utama yang mempengaruhi alur terbentuknya teologi, tetapi merupakan keadaan yang mengiringi terbentuknya teologi Islam." (Halaman 28)

Kita garis bawahi itu... "terbentuknya teologi bukanlah terletak pada politik di antara para sahabat nabi, tetapi pada keimanan muslim yang ingin menemukan bentuk tegasnya sebagai ilmu."

Politik bukan motif terbentuk akidah ahlussunah wal jamaah. Tapi politik adalah suasana tak bisa dihindarkan yang mengiringi lahirnya ilmu teologi. Andaikan tanpa politik, saya yakin ilmu teologi akan tetap lahir.

Ibarat ilmu dan hal lain. Seperti andaikan saja gak ada lahn dan berkurangnya kualitas bahasa Arab masyarakat, ilmu nahwu dan Sharaf insyaallah tetap ada. Tanpa ada sebab khusus syahidnya para hamilul Qur'an dalam perang Yamamah sekalipun, insyaallah Al-Qur'an akan tetap dibukukan. Wallahu a'lam.

Ini mengingatkan saya pada tulisan kiai Abdul Wahab Ahmad ini. Betapa kekeliruan kita dalam memahami masalah secara bijak dan objektif, akhirnya justru menciptakan pemahaman buruk atas suatu hal yang sebenarnya gak salah apapun.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10207339804769557&id=1718970307

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10207341721097464&id=1718970307

____

Saya kok jadi takut ya mbahas ini... Apa saya loncat saja?

***

Tambahan...

Tak sengaja saya menemukan wacana menarik. Ini agak melenceng dari diskursus teologi. Karena membahas wacana kemunculan ushul fikih manhaj Mu'tazilah yang katanya tidak lepas dari gerakan teologis.

Melengkapi khazanah dalam buku tersebut. Artinya, Muktazilah sebagai paham teologi yang kuat pada masanya, ternyata memiliki ruang tersendiri untuk ushul fikih. Banyak kitab-kitab ushul fikih Mu'tazilah.

Yang menarik adalah mengapa mereka memiliki konsep ushul fikih, namun tidak membangun fikih sendiri? Sebab fikih Mu'tazilah sendiri konon justru memakai madzab mainstream.

Menurut ustadz Abu Fadhlulah, "Muktazilah ini sebenernya gerakan teologis, namun pengikutnya secara fikih mengikuti madzhab yg populer.

Adapun masail ushulnya sebenarnya mengikuti madzhab Imam Syafi'i, yang kemudian dimodifikasi atau ditambah masalah-masalah teologis yang mereka anut.

Jadi sebenernya, jika diperhatikan secara seksama, kitab al-Karkhy secara i'tiqad adalah Muktazilah, namun ushul mengikuti fikih madzab Hanafi dan fikihnya Imam Hanafi, demikian juga al-Jasshos.

Adapun al Qadhi Husain, secara furu' mengikuti Imam Syafi'i."

Saya baru tahu, ternyata tidak hanya kitab al-'Umad karya Qadhi Abdul Jabbar saja yang berorientasi Mu'tazilah, tapi kitab Ushul Fikih al-Jasshos (karya beliau Ushul al-Jasshos      adalah karya penting madzhab imam Hanafi) dan imam al-Karkhi (salah satu karya beliau ar-Risalah fil Ushul yang jadi pokok di madzab Imam Hanafi) ternyata juga berorientasi Mu'tazilah.

Tentunya ulama kita sangat objektif. Jika mengutip pendapat dalam kitab-kitab beliau, yang diambil hanya masalah ushul fikih saja. Bukan mengamalkan paham Mu'tazilah mereka juga.

Namun, seperti halnya akidah, ushul fikih muktazilah juga menurut saya bukan perpanjangan ideologi mereka. Untuk memenangkan perdebatan pada masa itu.

Ushul fiqh tetaplah ushul fikih, dan akidah tetaplah akidah.

***

(Mengapa harus pakai dalil aqli?)

Ini pertanyaan saya pribadi. Rujukan primer seharusnya adalah dalil naqli. Alquran dan hadis. Namun dalam konsep akidah imam Asy'ari, dalil aqli juga digunakan sebagai rujukan primer.

Ada keterangan dalam kitab Kifayatul Awam.

. .

.

. . .

.

Saya memang belum menemukan ibarat yang sarih tentang ini. Tapi "mendukung" pemahaman seseorang tentang tauhid dengan metode rasional, akan memudahkan diterimanya setiap doktrin tauhid dalam akal.

Keterangan yang lebih jelas ada dalam kitab Ghoyatul Wushul.

() ( ) : .

.

: - - .

: .

Dalam permasalahan apa saja ada kewajiban untuk berlogika dan bernalar? Dalilnya apa? Semua sudah dijawab oleh Syaikh Zakaria al-Anshori dan imam Tajuddin as-Subki dalam Jam'ul Jawami'. Tapi saya belum melihat langsung redaksi dalam Jam'ul Jawami'.

Karena memang berlogika sendiri ada dalilnya, yaitu kita disuruh untuk berfikir dalam memahami sifat wahdaniyah. Maka mestinya dalam sifat Allah Subhanahuwata'ala yang lain juga akan sama.

Dan kontroversi pendapat juga ada. Tapi saya gak tahu yang dikutip oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshori itu pendapat siapa. Sebab setahu saya, sering sekali beliau juga mengutip pendapat pembanding dengan pendapat muktazilah. Dua pendapat pembanding pun secara tegas sudah dibantah oleh beliau sendiri.

Saya gak berani mengatakan kalau beliau juga pernah mengutip pendapat Syiah atau Murji'ah misalnya. Yang saya tahu, dulu memang saya menemukan Syaikhul Islam Zakariya al-Anshori sering mengutip pendapat Muktazilah sebagai qoul tsani. Untuk melacaknya, butuh kitab ta'liqat untuk Hasyiyah Ghoyatul Wushul, saya lupa nama kitabnya.

. 

Dan keterangan dibawah ini penting. Ini salah satu bagian yang berkesan sampai sekarang, pas dulu saya ngaji Ghoyatul Wushul kepada kiai Muhammad Masruhan.


: " "

.

Kemudian berpikir macam apa yang sebatas fardhu kifayah? Keterangan dibawah ini menjelaskannya.

. .

Pernahkah kita mendengar nasihat lama bahwa, "jangan belajar ilmu tauhid terlalu dalam. Secukupnya saja." Inilah yang disalah pahami banyak orang saya kira. Maksudnya bukan begitu. Tapi maksudnya adalah sesuai dawuh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshori berikut.

. .

: .

***

Namun ada keterangan penting lain yang menarik dan penting. Bahwa nantinya jangan kita pukul rata antara logika awam seperti saya dan memang golongan 'arifin.

Sebab bagi awam seperti saya, alam semesta adalah bukti keajaiban kekuasaan dan wujud Allah Subhanahuwata'ala.

Namun bagi golongan 'arifin, keterangannya akan dibalik, Allah Subhanahuwata'ala itulah bukti wujudnya alam semesta.

Lihat esensi dan maksud tersembunyi keterangan di kitab Ghoitsul Mawahibil Aliyah fi Syarhil Hikam al-Atho'iyah.

Saya belum pernah baca langsung keterangannya secara utuh. Hanya sepotong ini yang baru saya baca.

.

***

Satu tambahan penting. Kita bedakan antara khilafiyah dan ijma'. Silang pendapat dalam memahami tauhid lewat dalil adalah dalam permasalahan yang panjang lebar.

Adapun memakai logika untuk meyakini keberadaan Allah Subhanahuwata'ala adalah ijma'. Kita yakin bahwa Allah Subhanahuwata'ala itu ada. Buktinya apa?  Ya alam semesta ini misalnya. Maka itu ijma'.

Kalau misalnya Allah Subhanahuwata'ala itu memiliki sifat wahdaniyah berdasarkan dalil aqli tertentu, maka itu khilafiyah. Dan itu adalah pendapat kita ahlussunah wal jamaah. Khususnya madzhab Asy'ari. Saya gak tahu tentang madzab Maturidi apakah sama geh?

. .

Tapi dalam memahami Allah Subhanahuwata'ala itu ada, maka baik ahlussunah wal jamaah, Muktazilah, atau aliran apapun juga akan sepakat harus juga dengan logika. Seperti yang dicontohkan dalam kasus orang Arab Badui diatas.

***

Menarik sebab manhaj Imam Asy'ari itu mengenalkan konsep nalar dalam memahami sifat Allah SWT. Sebelum ini saya kira belum ada. Sebab beliau adalah pelopor.

Apakah demikian? Sebelum beliau tidak diajarkan pembuktian keberadaan Allah SWT dengan dalil aqli?

Kalau lihat praktik dalam Lubbul Ushul, orang dulu sudah menggunakan pemahaman aqli untuk "menemukan" Tuhan. Sudah disuruh berpikir. Tapi gak dibukukan ilmunya. Cukup dipahami secara umum.

***

(Demi membantah paham lawannya, Mu'tazilah yang rasionalis?)

Yang namanya berdebat itu kalau orang cerdas harus bisa melihat celah lawan. Celah muktazilah yang bisa dibantah telak adalah akal. Akhirnya kita bisa berdebat dengan ikut "metode" berpikir mereka. Akhirnya jika pemikiran mereka keliru, mereka gak bisa bikin hujjah, sebab dengan membantah, artinya mereka akan menyalakan konsep mereka sendiri.

Nha, beda kalau berdebat dengan metode masing-masing. Akhirnya hanya saling kuat-kuatan argumen. Dan gak ada yang mau mengalah. Saya bilang begini, kamu bilang begitu. Saya bahas ini, kamu malah bahas itu. Ya kapan selesainya?

***

(Tentang Imam Sanusi)

Imam Sanusi itu bukan orang sembarangan. Beliau kalau dari diksi di kitab-kitab yang bukan mukhtasar akan sering memakai bahasa "lembut". Bukan ilmu-ilmu kasar lagi. Bukan teori akan dalil yang rumit-rumit lagi. Bukan berpikir rasional lagi. Meskipun yang banyak beberapa karya, beliau selalu menyuruh kita untuk mikir.

Tapi bahasa beliau itu adalah bahasa 'arifin. Biasanya 'arifin itu gak menampakkan diri ke masyarakat. Guru Syaikh Ibnu Athaillah Al-Iskandariy. Itu bahkan gak menampakkan diri. Kisah tentang beliau hanya bisa ditemukan dalam bentuk potongan-potongan kisah yang tersebar dimana-mana.

Syaikh Ibnu Abi Jamroh? Siapa yang tahu. Karya beliau mukhtasar Shahih Bukhari. Beliau adalah orang istimewa. Bahkan setahu saya beliau gak nulis tentang tasawuf. Tapi beliau pemahaman akan ilmu tersebut luar biasa. Justru yang terkenal adalah karya tentang hadis itu.

Tapi ada 'arifin yang menampakkan diri. Seperti Syaikh Abdul Wahhab as-Sya'roni. Makanya, kita perlu hati-hati dalam membaca dan mengomentari karya ulama salaf. Sebab beliau itu orang yang luar biasa. Takutnya kualat, karena sok-sokan sembrono komentar macem-macem. Malah jadi orang yang mahjub kan bahaya...

***

Wallahu a'lam..

***

Mau belajar kok saya KEBANYAKAN GAYA, terus kapan MULAINYA?

JUST DO IT. Nanti juga lama-lama paham sendiri kalau KONSISTEN.

***

22 Mei 2020 M. 2 Juni 2020 M.

***

Metode pembuktian Allah Subhanahuwata'ala dengan akal.

Tulisan kiai Abdul Wahab Ahmad

id.quora.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun