Apakah demikian? Sebelum beliau tidak diajarkan pembuktian keberadaan Allah SWT dengan dalil aqli?
Kalau lihat praktik dalam Lubbul Ushul, orang dulu sudah menggunakan pemahaman aqli untuk "menemukan" Tuhan. Sudah disuruh berpikir. Tapi gak dibukukan ilmunya. Cukup dipahami secara umum.
***
(Demi membantah paham lawannya, Mu'tazilah yang rasionalis?)
Yang namanya berdebat itu kalau orang cerdas harus bisa melihat celah lawan. Celah muktazilah yang bisa dibantah telak adalah akal. Akhirnya kita bisa berdebat dengan ikut "metode" berpikir mereka. Akhirnya jika pemikiran mereka keliru, mereka gak bisa bikin hujjah, sebab dengan membantah, artinya mereka akan menyalakan konsep mereka sendiri.
Nha, beda kalau berdebat dengan metode masing-masing. Akhirnya hanya saling kuat-kuatan argumen. Dan gak ada yang mau mengalah. Saya bilang begini, kamu bilang begitu. Saya bahas ini, kamu malah bahas itu. Ya kapan selesainya?
***
(Tentang Imam Sanusi)
Imam Sanusi itu bukan orang sembarangan. Beliau kalau dari diksi di kitab-kitab yang bukan mukhtasar akan sering memakai bahasa "lembut". Bukan ilmu-ilmu kasar lagi. Bukan teori akan dalil yang rumit-rumit lagi. Bukan berpikir rasional lagi. Meskipun yang banyak beberapa karya, beliau selalu menyuruh kita untuk mikir.
Tapi bahasa beliau itu adalah bahasa 'arifin. Biasanya 'arifin itu gak menampakkan diri ke masyarakat. Guru Syaikh Ibnu Athaillah Al-Iskandariy. Itu bahkan gak menampakkan diri. Kisah tentang beliau hanya bisa ditemukan dalam bentuk potongan-potongan kisah yang tersebar dimana-mana.
Syaikh Ibnu Abi Jamroh? Siapa yang tahu. Karya beliau mukhtasar Shahih Bukhari. Beliau adalah orang istimewa. Bahkan setahu saya beliau gak nulis tentang tasawuf. Tapi beliau pemahaman akan ilmu tersebut luar biasa. Justru yang terkenal adalah karya tentang hadis itu.