Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bertukar Kehidupan

2 April 2020   06:10 Diperbarui: 2 April 2020   06:50 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: banggaber

Hari tua di Amerika memang sulit dimengerti. Betapa anak yang sedari kecil dibesarkan. Ditimang disusui, tapi ketika beranjak dewasa lupa begitu saja akan orang tuanya.

Seperti kawanan burung gereja yang sudah pandai terbang, mereka akan mengepakkan sayapnya masing-masing tanpa pernah kembali ke sarang kumuh tempat mereka dilahirkan. Apalagi sekedar ingat bagaimana keadaan induknya dulu. Ingat warna bulunya saja tidak.

Begitulah, kadang orang tua harus "terdampar" di sebuah panti. Sambil menunggu hari kapan "dipanggil". Tapi nasib nenek supermarket itu agaknya sedikit mujur. Dia hidup sebatang kara di sebuah rumah reot. Setiap senja tak bisa melakukan apapun selain hanya melamun seorang diri di jendela.

Anak-anak sialan yang tak pernah mengunjungi, tunjangan hari tua yang tidak banyak, tak sarapan dengan menu selain sup dan bubur selama bertahun-tahun, rumah yang lusuh dengan cat yang mengelupas, lantai kotor berserak debu yang menempel rapat bagai karang, lantai basah dimana-mana karena atap yang bocor, lebih-lebih ingatan tentang suaminya yang sudah tiada semenjak tiga puluh tahun silam.

Semua kemalangan itu cukup rasanya membuat nenek yang menganggur itu sedikit merasa bahagia dengan keisengannya mengguntingi kupon supermarket. Hanya kebahagiaan kecil itu yang bisa dia nikmati. Sebab tidak mungkin rasanya jika harus seharian melamun di jendela tanpa melakukan apapun.

Apalagi baginya, merajut benang menjadi sweater adalah mustahil. Karena benang yang kecil itu sudah surut dari penglihatannya yang memudar. Membaca buku sambil ditemani musik klasik juga tidak mungkin, alasannya jelas, tanpa kacamata baca yang memang tak dimilikinya, huruf dari buku yang kecil-kecil itu akan kelihatan seperti sedang berlarian kesana kemari. Dari satu sudut halaman ke sudut halaman yang lainnya.

Maka keisengan itulah yang sedikit banyak menghibur waktu-waktunya yang berjalan amat lambat. Dengan begitu telaten, walaupun tangan agak bergetar, kupon demi kupon yang nilainya tak seberapa itu digunting satu demi satunya. Dipisahkan dengan seksama dari sebuah brosur belanja menuju rak buku.

Dari sebuah majalah dikumpulkan bersama kupon-kupon kecil lain yang sudah lebih dulu ia kumpulkan susah payah. Perjuangan "melelahkan" itu tentunya memiliki nilai yang lebih mahal daripada harga asli kupon itu yang tak sampai setengah dollar. Maka bagi nenek itu, kertas terbengkalai itu punya nilai lebih dari sekedar sebuah harga yang pantas.

Saat nenek itu berjalan kelelahan dan merasa jerih payahnya tidak berguna. Apa yang selama ini dia anggap penting justru di"sampahkan" begitu saja oleh remaja bau kencur penjaga kasir, maka disitulah emosinya meledak.

Rasa kesal yang terpendam selama delapan puluh tahun terburai berserak sekaligus, bergema di seluruh penjuru sebuah supermarket kecil. Kedongkolan demi kedongkolan diluapkan dengan kata umpatan paling kejam yang pernah nenek itu dengar.

Kejengkelan yang tersirat diluapkan berbarengan dengan kalimat "di zamanku dulu, tidak pernah terjadi seperti ini." Dan kata-kata "di zamanku dulu, orang lebih punya tata krama kepada orang yang lebih tua" sebagai senjata pamungkas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun