Mohon tunggu...
Kamalia Purbani
Kamalia Purbani Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Pemerintahan, Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Perempuan

Purnabakti PNS Pemerintah Kota Bandung. Terakhir menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan. Pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Pemberdayaan Perempuan, Kepala Kantor Litbang, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, Kepala Bappeda, Inspektorat, Staf Ahli Walikota Bidang Teknologi Informasi, Asisten Daerah Pemerintahan dan Kesra

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haruskah Beda Selera dan Pilihan Direndahkan?

6 Oktober 2023   11:06 Diperbarui: 6 Oktober 2023   11:25 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya sering mengamati dan membaca dalam sebuah group chat atau dalam media sosial yang memperdebatkan selera ataupun pilihan seseorang yang berbeda dengan selera atau pilihan mayoritas dalam group tersebut. Walaupun ada yang berusaha menengahi atau kadang ada pula sebuah group yang sejak awal terbentuknya sudah wanti-wanti membuat "rules of the game" bahwa dalam group ini kita tidak membahas politik maupun SARA namun acapkali ada saja anggota group yang senang memposting dan mendiskusikan hal-hal seperti itu.

Preferensi selera dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk gen, usia dan pengalaman. Dalam bahasa Inggris ada ungkapan seperti ini: "There is no accounting for taste(s)." Ungkapan ini dapat diartikan seperti ini: "Tidak ada perhitungan untuk selera". Implikasinya adalah: selera merupakan sebuah preferensi pribadi setiap orang dan bisa jadi opini yang sangat subjektif.

Kita tidak bisa menilai sebagai sesuatu yang benar atau salah dan tidak harus diperdebatkan. Selera disini bisa menyangkut makanan, musik, fashion, pilihan film, desain rumah, interior dan sebagainya. Hal ini didukung pula oleh sebuah pepatah yang berbunyi "Horace De gustibus non est disputandum (masalah selera tidak dapat diperdebatkan')"

Saya menjadi prihatin saat terjadi kondisi seperti ini yaitu orang yang berbeda selera dengan mayoritas, seolah-olah dipandang berdosa oleh semua orang. Tatkala sudah sampai pada titik tersebut perdebatan selera ataupun pilihan seseorang menjadi hal yang tidak sehat karena sudah mulai mempengaruhi mental seseorang.

Sebuah fakta yang tak terelakan bahwa masyarakat kita belum terbiasa menghadapi sebuah perbedaan bahkan untuk urusan selera. Hampir tidak mungkin kita selalu memiliki selera yang sama dengan orang lain. Selera kita bisa jadi berbeda dengan suami, anak-anak ataupun orang kita. Semua itu sah-sah saja, bukan soal benar dan salah.

Hal yang tidak boleh terjadi adalah kita merendahkan orang lain karena beda selera, dan merasa selera kita lebih tinggi daripada orang lain. Dari perbedaan, kita bisa mempelajari banyak hal, dan mencoba memahami bahwa di dunia ini begitu banyak hal yang menarik, penuh warna dan banyak perspektif. Dengan fikiran terbuka kita bisa menjadi seseorang yang penuh wawasan dan lebih bijak menghadapi perbedaan dan menghargai pilihan selera dan pendapat setiap orang.

Konon salah satu ciri kedewasaan seseorang adalah ketika kita bisa mampu membuka diri untuk menerima pola pikir orang dengan pendapat yang berbeda, dan terbuka untuk berdiskusi sehingga wawasan dan pikiran kamu terbuka. Dengan begitu kita tidak menjadi pribadi yang egois dan selalu positif dalam menerima sudut pandang orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun