Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inilah Jaman Edan; Menyelisik Serat Kalatidha Ranggawarsita

28 Oktober 2016   23:10 Diperbarui: 1 Oktober 2018   23:44 4641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barangkali saat ini kita telah mengalami situasi dan kondisi masyarakat yang disebut dengan “jaman edan”.  Situasi yang dirasakan oleh kebanyakan orang sebagai situasi yang tidak menentu, penuh kecemasan dan ketidak pastian.

Di jaman edan, orang pandai belum tentu sukses, dan orang bodoh belum tentu sengsara (yang penting adalah berani). Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, sedangkan orang jujur meski pekerja keras hidupnya sengsara. Jujur ajur, ala mulya begitulah pepatah jawa dalam menggambarkan jaman edan, yang maknanya orang jujur malah bisa jadi hancur karena ditinggalkan orang-orang sekitarnya (yang tidak beres moralnya) dan sebaliknya, orang “ala” (tidak baik moralnya) malah kehidupannya bisa jadi baik, karena berani berbuat dengan menghalalkan segala cara.

Di jaman edan, orang kaya makin kaya, sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Ingin mendapat pekerjaan apalagi jabatan harus menyuap. Maka hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin semakin terpinggirkan. Itulah konsekuensi logis dari sistem liberalisme dan kapitalisme. Orang kaya mengeksploitasi orang miskin.

Di jaman edan, korupsi ada dimana-mana. Korupsi justru dilakukan oleh orang yang sudah kaya. Mereka terus menerus menguras uang negara. hartanya sudah bertumpuk namun masih saja merasa kurang dan kurang. Tanpa peduli dengan penderitaan orang miskin. Keserakahan telah menutupi hati nuraninya.  Empati dan kepedulian sudah luntur dari qalbunya.

Di jaman edan, moral tidak dipentingkan lagi. Tidak ada persahabatan dan tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan bisa menjadi kawan asalkan menguntungkan. Syahwat dibiarkan tanpa kendali.

Jaman edan … Keadaan itu sudah ditulis oleh Rangga Warsita puluhan tahun yang lalu dalam sebuah syair yang dikenal dengan Serat Kalatidha. Mari kita menyelisik serat tersebut.

Serat Kalatidha adalah sebuah karya sastra Jawa karangan Rangga Warsita, yang ditulis sekitar tahun 1860 Masehi. Rangga Warsita adalah pujangga terakhir dari kasunanan/kerajaan Surakarta. Konon Rangga Warsita menulis syair ini karena suatu kekecewaan, ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Penyebabnya adalah ketidak adilan, krisis yang terjadi disegala lini dan ia menyebutnya sebagai gila/edan.

Kalatidha merupakan sebuah syair yang sangat termashur. Ketenaran Serat Kalatidha juga mencapai kota Leiden, Belanda. Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis di tembok sebuah museum.

Serat Kalatidha bukanlah ramalan seperti Jangka Jayabaya. Serat Kalatidha adalah sebuah syair yang terdiri dari 12 bait, berisi falsafah atau ajaran hidup Ranggawarsita. “Kala” berarti "jaman" dan “tidha” adalah "ragu". Kalatidha berarti jaman penuh keraguan. Walau demikian banyak yang memberi pengertian “Kalatidha adalah jaman edan” mengambil makna dari bait ke tujuh serat ini, bait yang sangat popular.

Kebanyakan orang hapal bait ketujuh ini secara tidak lengkap. "Amenangi zaman édan; Mélu ngédan nora tahan; Yén tan mélu anglakoni boya kéduman; Begja-begjaning kang édan; Luwih begja kang éling klawan waspada", artinya "Berada pada zaman édan; Kalau ikut édan tidak akan tahan; Tapi kalau tidak ngikuti édan tidak kebagian; Sebahagia-bahagianya orang yang édan;  Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada."

Bait ke-tujuh serat ini menggambarkan situasi “edan” saat itu dan ajakan untuk mawas diri. Makna dari bait ke tujuh adalah sebagai berikut: Mengalami hidup pada jaman edan; memang serba repot; Mau ikut ngedan hati tidak sampai; Kalau tidak mengikuti; Tidak kebagian apa-apa; akhirnya malah kelaparan; namun sudah menjadi kehendak Allah; Bagaimanapun beruntungnya orang yang “edan”; Masih lebih beruntung orang yang “ingat” dan “waspada”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun