Dituduh itu tidak enak. Apalagi ketika kita tidak melakukan apa yang dituduhkan.
Seperti pas rame-rame pemilu legislatif (pileg) tahun lalu. Ada beberapa orang yang menuduh saya kader atau simpatisan PKS.
Kalau nuduhnya terang-terangan sih malah gampang mengatasinya. Bisa langsung klarifikasi. Lha kalau nuduhnya dengan sindiran atau menyebarkan gosip, kan repot menconternya.
Pentingkah? Lho, kalau di kampung itu penting. Karena kalau kita (dianggap) memiliki pandangan politik berbeda, bisa menjadi "masalah".
Saya menolak diidentifikasi sebagai kader atau simpatisan PKS. Mengapa? Bukan karena PKS itu buruk tetapi karena saya netral. Tidak terlibat politik praktis. Bahasa kerennya: imparsial.
Bersikap netral rasanya lebih nyaman. Politik memang banyak duitnya. Tapi politik juga penuh konflik dan intrik, sehingga kurang menarik. Saya tidak mengatakan politisi itu jelek. Sungguh, saya menjura kepada politisi pemberani, yang berani bertarung demi membela kebenaran di medan penuh comberan.
Pilkada Serentak
Pada pilkada serentak kemarin, saya agak kurang sreg dengan salah seorang tetua kampung. Dia mengarahkan warga untuk mendukung salah satu pasangan calon.
Dukungan itu kemudian diaplikasikan dalam forum resmi semacam rembug warga. Bukan masalah pilihannya, tetapi membawa politik ke forum resmi milik warga menurut saya kurang pas.
Si tetua mengatakan kita harus kompak. Karena nanti kalau calon yang didukung memang, akan ada bantuan pembangunan.
Nah inilah repotnya. Karena ada prasayarat harus kompak. Kalau tidak "kompak" nanti menghambat "pembangunan".
Padahal politik itu bebas, tidak harus kompak. Suka-suka. Jangankan dengan tetangga, dengan istri saja boleh beda pilihan. Lha kalau warga sekampung harus kompak, kemudian yang tidak "kompak" dimusuhi, kan repot? Malah memantik konflik baru.