BAB 3
PEMBAHASAN
DalammemenuhikriteriapenelitiandengandilakukannyapemeriksaankadarhormontiroidpadakondisianakperawatanolehDr.Kariadiselamapenelitianbulan September 2012- Februari 2013 terdapat 30 penderita sepsis pediatrik yang dirawat di HCU dan PICU RSUP.
Adaptasifungsimetabolismeakan berperan penting jika mampu memainkan hormon tiroid terhadap stres dan penyakit kritis seperti sepsis dan syok sepsis. Hal ini dibuktikan setelah penyakit sistemik yang diderita sembuh maka tes kelainan fungsi kelenjar tiroid juga akan kembali normal. Berbagai perubahan tes fungsi kelenjar tiroid akan ditemukan pada berbagaimacam penyakit sistemik, tanpa adanya bukti kelainan kelenjar tiroid.
Adapun penelitian telah mendapatkan penurunan kadar T3, diikuti dengan kenaikan T4 dan TSH perubahan ini terletak pada aksis tiroid disebut dengan euthyroid sick syndrome, low T3syndrome atau non-thyroidal illness (NTI) syndrome.  Sesuai dengan penelitian Briker dkk yang mendapatkan 44 anak yang dirawat di picu dengan kadar T3 rendah.
Hormon tiroid sebagai prediktor tingkat keparahan pada sakit berat namun pada populasi anak-anak belum ada data yang melaporkan tentang adanya perubahan hormon tiroid. Sedangkan pada penderita dewasa euthyroid sick syndrome dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan penyakit pada saat sakit berat.joosten dkk melaporkan kadar T3,T4,FT3 dan FT4 lebih rendah pada anak syok septik dibandingkan sepsis yang berhubungan dengan mortality pasien dengan sepsis, sementara penelitian terdahulu tidak menemukan adany korelasi hormon tiroid dan kematian.
Dalam beberapa jam  selama fase akut dapat terjadi penurunan kadar T3 dalam sirkulasi pada penderita sepsis,penurunan kadar T3 ini bersamaan dengan adanya kenaikan kadar T4 dan tanpa diikuti kenaikan kadar TSH sebagai mekanisme kompensasi. Sebagai respon adaptasi yang menguntungkan dan tanpa dilakukan intervensi hal ini dipengaruhilarena adanya perubahan hormon tiroid yang akan nampak selalu sama pada semua pasien dengan sakit berat.
Euthyroid sick syndrome (ESS) ditemukan pada penelitian anak. Secara garis besar peran ESS terbukti yang signifikan memainkan peran penting pada anak-anak dalam berbagai kondisi. Nikolous dkk membedakan ESS menjadi 2 tipe ESS tipe 1 dengan T3 rendah diikuti dengan T4 dan TSH normal sedang ESS tipe 2 T3 rendah diikuti dengan T4 rendah. Dimana ESS tipe 1 berhubungan dengan hasil yang baik dan ringan sampai sedang penyakit,ESS tipe 2 berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan luaran yang buruk.
Mekanisme ini disebut dengan pemulihan aktivitas metabolik dimana telah didapatkan 1 subyek dengan kadar T3 normal, dimana hasil kultur darah didapatkan kuman grup salmonella sp dengan kultur endotrakeal tube tidak didapatkan pertumbuhan kuman. Beberapa hal yang menyebabkan kadar T3 yang normal selama fase akut yaitu kemungkinan penurunan T3 terjadi pada awal infeksi (36-72 jam) dan kembali normal setelah lebih dari 72 jam, karena setelah 72 jam post infeksi TSH meningkatkan oleh karena hormon tiroid di perifer disekresi dengan mekanisme umpan balik kadar T3 kembali normal.
Kadar T3 rendah yang diikuti dengan penurunan kadar TSH rendah berkolerasi positif dengan berat,lamanya sakit dan iuran yang buruk yang telah dilaporkan oleh, Brinker dkk. Penelitian ini mendapatkan subyek dengan kadar T3 rendah dan diikuti kadar TSH rendah didapatkan luaran meninggal, perubahan kadar T3 yang rendah bila diikuti dengan kadar TSH yang rendah dapat digunakan sebagai nilai prognostik untuk kewaspadaan luaran pada anak sepsis. AG Angelousi dalam sistemik review melaporkan beberapa penelitian yang mendukung penurunan kadar hormon tiroid pada awal sepsis mungkin terkait dengan hasil yang buruk pada pasien dengan sepsis atau syokseptik. Meskipun temuan ini tidak konsisten, peran fungsi tiroid dalam mempengaruhi atau hanya memprediksi hasil sepsis atau manfaat syok septik perlu investigaasi lanjut.
Adanya penurunan yang telah menunjukan kadar T3dan kenaikan kadar rT3 berkorelasi dengan keparahan penyakit dan prognosis yang buruk dikaitkan dengan penurunan kadar T4 yang telah diteliti oleh RP Peeters dkk. Berbeda dengan penelitian ini yang menunjukan tidak terdapat perbedaan antara kadar hormon tiroid dengan kondisi sepsis baik perbaikan maupun perburukan. Pada penelitian lodha menyimpulkan perubahan hormon tiroid bukan merupakan faktor terpenting yang berkontribusi pada keparahan pada syok septik dan mendapatkan perbedaan antara kadar hormon tiroid pada pasien sepsis dan syok septik. Tidak didapatkan perbedaan kadar hormon tiroid dengan kondisi  sepsis pada anak kemungkinan subyek diteliti tidak dibedakan antara sepsis dan syok septik dan pengambilan sampel tidak melihat lamanya perawatan sebelum sepsis.
Adapun Brinker dkk,telah melaporkan bahwa adanya perubahan kadar hormon tiroid pada penderita sepsis meningococcal dengan memperhitungkan derajat beratnya sepsis, kadar ratio antar rT3/T3, dan pemberian inotropik menyimpulkan perubahan kadar hormon tiroid dalam 24jam Pertama mempunyai nilai prognostik terhadap lamanya perawatan PICU. Pada keadaan sepsis berat dan syok septik keduannya didapatkan kadar fT4 dan TSH yang rendah karena menurunnya plasma TBG T4 atau transthyretin yang akan menurunkan plasma tiroid binding capacity.  Pada penelitian ini semua subyek tidak dibedakan derajat beratnya sepsis, kadar hormon tiroid hanya diperiksa pada saat sepsis ditegakkan, dan tidak memperhitungkan ratio rT3/T3 dan pemberian inotropik. Dopamin mempunyai efek supresi terhadap sekresi TSH hipofisis, dengan menghambat secara langsung fungsi hipofisis melalui reseptor dopamin inhibitor, yang berakibat berkurangnya sekresi TSH. Perubahan ini termasuk dalam kondisi sakit berat.
Beberapa parameter endokrin dengan parameter yang memonitor drajat beratnya sakit(laktat,CRP,dan skor PRISM) tidak mendapatkan hubungan yang signifikan antar keduannya.yang telah dihubungkan dengan penelitian joosten dkk. Sebagai predictor mortalitas penderita sakit berat merupakan skor PIM yang bermanfaat yang telah disebutkan oleh penelitian Deliana E,tetapi beberapa penenlitian menunjukkan skor PIM sudah jarang disunakan pada perawatan penderita diruang intensif anak, dimana meta dkk pada penelitian nya yang membandingkan antara skor PIM dan PELOD mendapatkan penggunaan skor PELOD lebih baik dibandingkan dengan skor PIM.
Penelitian ini memiliki terbatasan penelitian antara lain: peneliti tidak membedakan derajat sepsis, tidak menghitung ratio T3/rT3 dan tidak memperhitungkan penggunaan inotropik.