Â
Rencana pemerintah untuk mengalihfungsikan 20 juta hektare hutan menjadi lahan ketahanan pangan, energi, dan air menjadi isu yang mengejutkan berbagai kalangan. Kebijakan ini diajukan dengan tujuan ambisius untuk memperkuat swasembada pangan melalui budidaya padi gogo, pohon aren untuk bioetanol, dan sumber daya lain yang dianggap vital untuk pembangunan nasional. Namun, di balik narasi pembangunan, kebijakan ini menuai kritik tajam karena potensi dampak lingkungan yang besar, tata kelola yang rentan masalah, dan keberpihakan yang dianggap lebih menguntungkan korporasi daripada rakyat kecil.Â
Jika diamati terdapat ancaman serius terhadap ekosistem jika kebijakan ini diterapkan tanpa perencanaan matang. Hutan tropis Indonesia adalah salah satu paru-paru dunia yang memiliki peran penting dalam menyerap karbon dan menjaga keseimbangan iklim global. Mengalihfungsikan hutan dalam skala besar akan menghasilkan emisi karbon yang signifikan, terutama karena proses deforestasi menghasilkan pelepasan karbon dari tanah dan biomassa yang sebelumnya terkunci di dalam ekosistem hutan. Padahal, hutan alami memiliki kemampuan menyerap karbon jauh lebih baik daripada lahan yang diubah menjadi perkebunan monokultur seperti kelapa sawit.Â
Selain itu, hilangnya hutan akan menyebabkan degradasi keanekaragaman hayati. Indonesia adalah rumah bagi banyak spesies endemik yang keberadaannya hanya ditemukan di ekosistem hutan kita. Ketika habitat alami mereka dirusak, risiko kepunahan meningkat secara drastis. Hal ini tidak hanya berimbas pada ekosistem, tetapi juga pada masyarakat adat yang menggantungkan hidup mereka pada keberlanjutan hutan. Komunitas-komunitas ini kerap menjadi korban utama dalam alih fungsi lahan, kehilangan akses terhadap tanah adat dan sumber daya yang telah mereka kelola selama ratusan tahun.Â
Dampak lingkungan lainnya adalah peningkatan risiko bencana alam seperti banjir dan longsor. Hutan berfungsi sebagai pelindung alami yang menyerap air hujan dan menjaga keseimbangan tanah. Ketika hutan ditebang, kemampuan ini hilang, sehingga tanah menjadi rentan erosi. Selain itu, kualitas air akan menurun karena sedimentasi dan pencemaran dari aktivitas pengelolaan lahan baru.Â
Dari sisi ekonomi, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran. Penting untuk menyoroti bahwa rekam jejak proyek serupa, seperti food estate di Kalimantan Tengah, menunjukkan hasil yang jauh dari harapan. Proyek tersebut mengalami kegagalan karena kurangnya perencanaan yang baik, tidak terintegrasinya petani kecil dalam sistem, serta pengabaian aspek keberlanjutan lingkungan. Kebijakan seperti ini cenderung memberi keuntungan lebih besar kepada korporasi besar yang menguasai konsesi lahan daripada kepada masyarakat lokal yang menjadi ujung tombak produksi pangan.Â
Selain itu, penggunaan pohon aren untuk produksi bioetanol juga perlu dievaluasi secara kritis. Produksi biofuel dari tanaman memerlukan lahan yang sangat luas, sehingga bisa berdampak pada berkurangnya lahan untuk tanaman pangan. Ketika bioetanol menjadi prioritas, suplai pangan lokal bisa terganggu, dan harga bahan makanan pokok dapat meningkat. Hal ini tentu saja akan membebani masyarakat miskin yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.Â
Tidak hanya itu, subsidi yang diperlukan untuk mendukung program biofuel juga sangat besar. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa subsidi untuk biodiesel sering kali tidak efisien dan justru memperkaya perusahaan besar pengolah kelapa sawit. Dengan kata lain, rencana ini tidak hanya berpotensi merusak lingkungan tetapi juga membebani anggaran negara tanpa memberikan manfaat langsung kepada masyarakat kecil.Â
 Pandangan mengenai kebijakan deforestasi yang tampak didorong oleh kepentingan kapitalis dan bukannya untuk rakyat mencerminkan realitas korporatokrasi dalam sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, kekuasaan politik dijadikan alat oleh segelintir pihak yang memiliki modal besar untuk mengarahkan kebijakan demi kepentingan mereka, sekalipun hal itu merugikan rakyat banyak dan lingkungan.Â
Deforestasi yang disebut-sebut untuk "swasembada pangan dan energi" pada dasarnya adalah narasi populis yang digunakan untuk mengelabui rakyat agar mendukung kebijakan yang sebenarnya tidak berpihak kepada mereka. Keuntungan besar justru dinikmati oleh korporasi yang mendapatkan konsesi lahan, sementara masyarakat lokal dan lingkungan menjadi pihak yang paling dirugikan. Sistem kapitalisme memungkinkan praktik ini terjadi karena penguasa terpilih sering kali merasa memiliki utang budi kepada kapitalis yang mendukung mereka saat pemilu, sehingga lahirlah kebijakan balas jasa yang menguntungkan kapitalis dan mengorbankan rakyat.Â