Dunia pendidikan justru menunjukkan contoh yang salah tentang cara mencintai lingkungan, misalnya ketika guru memerintahkan anak-anak untuk memberantas ulat bulu dengan racun serangga, bukannya memberikan pemahaman ekologis.
F. Rahardi dalam artikel "Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu" tidak hanya berani mendeskripsikan permasalahan kompleks dengan cara yang sederhana tetapi mampu memberikan gambaran mendalam permasalahan pokok di negeri ini. Ia membuka tulisannya dengan sebuah kalimat kunci: "Sebab, permasalahan Indonesia yang kita hadapi sudah sangat serius. Saat ini yang rusak bukan sekadar alam dan lingkungan, melainkan juga moralitas para pemimpin.". Melalui fenomena ulat bulu, Rahardi mengajak kita melihat sebuah "republik hantu", tempat ketakutan-ketakutan kecil sengaja dibesar-besarkan untuk menutupi tragedi yang sesungguhnya.
Fenomena ini terasa begitu akrab. Ketika isu sepele menjadi sorotan utama, kita sering lupa bahwa ada masalah yang jauh lebih mendasar. Sama seperti ulat bulu yang sejatinya adalah bagian dari siklus alam, banyak masalah yang dibingkai sebagai ancaman besar ternyata hanyalah pengalihan isu. Rahardi mencontohkan bagaimana anggota parlemen yang menonton pornografi saat sidang paripurna dianggap sebagai lelucon atau "dagelan" , padahal itu adalah sebuah tragedi moral. Kita seolah terjebak dalam arena yang sengaja memperkeruh masalah hingga kebenaran menjadi kabur dan keadilan terasa jauh.
Ternyata sebuah ketakutan yang berlebih akan membuat ketakutan-ketakutan lain muncul. Fobia massal ini, seperti yang diulas Rahardi, pada akhirnya merugikan si penderita. Ketakutan yang muncul di dalam masyarakat adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan di negeri ini. Para pemimpin ikut terjangkit fobia: presiden takut dimakzulkan, menteri takut direshuffle, dan partai politik takut dikeluarkan dari koalisi. Ketakutan-ketakutan inilah yang mungkin sengaja diciptakan agar muncul hantu-hantu abadi yang melanggengkan status quo.
Di tengah krisis ini, kita merindukan sosok panutan. Bangsa ini seakan banyak kehilangan "muazin", namun belum mampu memunculkan "muazin" bangsa yang baru. Kita kehilangan tokoh-tokoh sekaliber Hatta, Agus Salim, hingga Gus Dur yang berani menyuarakan kebenaran tanpa rasa takut. Tanpa teladan, mimpi indah reformasi yang diperjuangkan dengan susah payah seolah telah mati dan berbelok arah. Tuntutan rakyat untuk perbaikan di berbagai lembaga negara, mulai dari eksekutif hingga yudikatif, seakan membentur tembok kokoh moralitas yang semakin menipis.
Maka, sudah saatnya kita berhenti memelihara fobia dan hantu-hantu imajiner. Seperti ulat bulu yang akan menjadi kupu-kupu indah, setiap tantangan jika dihadapi dengan benar akan membawa kebaikan. Kita perlu kembali fokus pada masalah sesungguhnya: menegakkan keadilan, memberantas korupsi, dan memperbaiki moralitas bangsa. Semoga mimpi panjang yang membelokkan arah reformasi ini segera usai.
Pemerintah justru mempertontonkan sebuah sandiwara dalam penegakan hukum, misalnya ketika para pejabat saling lempar tanggung jawab dalam kasus pagar laut ilegal, bukannya menunjukkan keseriusan untuk mengusut tuntas dalang di baliknya.
Artikel karya Budiman Tanuredjo ini adalah sebuah refleksi mendalam yang menyadarkan kita akan krisis etika dan keteladanan yang serius di kalangan elite politik. Persoalan yang diangkat bukanlah hal baru, namun penulis berhasil menyajikannya dengan argumen yang runut dan bukti yang konkret, menjadikannya sangat relevan dengan situasi saat ini. Fakta bahwa gerakan masyarakat sipil harus turun ke jalan untuk "menyelamatkan agenda pengabaian konstitusi" oleh DPR menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) di negara ini.
Ulasan ini menyoroti bahwa sumpah jabatan bukan sekadar seremoni, melainkan kontrak moral antara pejabat dengan rakyat dan Tuhan. Ketika sumpah itu dengan mudahnya diabaikan, maka kepercayaan publik terhadap institusi negara pun runtuh. Krisis keteladanan yang disinggung penulis, dengan menyebut nama-nama besar seperti Hatta, Agus Salim, dan Gus Dur, semakin mempertegas kerinduan masyarakat akan sosok pemimpin yang berintegritas dan benar-benar mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Artikel ini adalah seruan agar para elite politik melakukan introspeksi diri  dan agar masyarakat tidak pernah lelah menagih janji-janji reformasi.Â