Pidato Presiden Republik Slovenia, Natasa Pirc Musar, dalam Sidang Umum PBB ke-80 menjadi salah satu pernyataan politik paling berani dalam konteks krisis multilateralisme dan pelanggaran hukum internasional yang tengah melanda dunia. Di hadapan para pemimpin dunia, Musar menyoroti kemerosotan sistem internasional dalam menegakkan keadilan, mulai dari kegagalan Dewan Keamanan PBB, lunturnya komitmen terhadap Konvensi Genosida, hingga kemunduran negara-negara dalam mendukung perjanjian iklim dan lembaga multilateral. Dengan tegas ia menyatakan bahwa dunia tidak boleh lagi berdiam diri terhadap genosida yang terjadi di Gaza, seraya menyerukan perubahan struktural yang menyeluruh serta kepemimpinan yang berani untuk mempertahankan kemanusiaan. Di sisi lain, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, dalam pidatonya di forum yang sama, membawa pesan solidaritas dan aksi nyata dari perspektif negara berkembang.
Beliau menekankan pengalaman historis Indonesia dalam kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan sebagai dasar moral untuk membela rakyat tertindas, termasuk rakyat Palestina. Prabowo menolak logika kekuasaan yang menindas dan menegaskan kesiapan Indonesia untuk berkontribusi dalam menjaga perdamaian, termasuk melalui pengiriman pasukan perdamaian dan bantuan pangan. Kedua pidato ini, meskipun disampaikan dari latar belakang kepemimpinan dan konteks negara yang berbeda, bertemu dalam satu titik krusial desakan kuat terhadap dunia internasional untuk bertindak melawan ketidakadilan, mengakhiri genosida di Gaza, dan memperkuat kembali sistem global yang inklusif serta berpihak pada kemanusiaan. Dalam hal ini, perspektif kepemimpinan perempuan yang dibawa Musar dan komitmen konkret Indonesia yang disampaikan Prabowo menjadi kombinasi penting dalam menyoroti keadilan gender dan solidaritas global. Keduanya juga membuka ruang refleksi lebih luas mengenai bagaimana peran perempuan dapat menjadi motor perubahan dalam sistem internasional yang selama ini gagal melindungi hak serta keselamatan perempuan dan anak-anak di wilayah konflik.
Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB ke-80, Presiden Republik Slovenia Natasa Pirc Musar membuka dengan refleksi sejarah tentang berdirinya PBB pasca Perang Dunia II yang sarat harapan akan perdamaian dan kerja sama global. Namun, ia menegaskan bahwa visi tersebut semakin jauh dari kenyataan. Ia menyebutkan bahwa Dewan Keamanan PBB, yang seharusnya menjadi pilar keamanan kolektif dunia, justru gagal memenuhi harapan masyarakat internasional. Negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan (P5), yang seharusnya menjadi teladan dalam menjaga perdamaian, sering kali bertindak untuk kepentingan nasionalnya sendiri.
Musar juga menyoroti merosotnya relevansi hukum internasional, mulai dari lemahnya perlindungan terhadap independensi hakim internasional, serangan terhadap lembaga HAM, hingga tekanan terhadap Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Ia memperingatkan bahwa Konvensi Genosida berisiko menjadi sekadar dokumen masa lalu karena negara-negara tertentu memilih melindungi pelaku kejahatan berat daripada menegakkan keadilan. Ia menyinggung pula ketidakpatuhan negara terhadap perjanjian iklim dan multilateralisme, seperti penarikan dari Perjanjian Paris dan pemotongan dana untuk badan-badan PBB. Semua ini, menurutnya, mengikis legitimasi sistem internasional yang seharusnya bekerja untuk kepentingan seluruh umat manusia, bukan hanya segelintir negara kuat.
Sementara itu, Presiden Indonesia Prabowo Subianto menekankan perspektif historis dan solidaritas global. Ia mengingatkan dunia akan pengalaman panjang Indonesia di bawah kolonialisme dan perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Solidaritas internasional, termasuk dukungan lembaga-lembaga PBB, telah membantu Indonesia keluar dari penjajahan dan kemiskinan. Oleh karena itu, Indonesia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung bangsa-bangsa lain yang mengalami penindasan serupa, termasuk Palestina. Prabowo mengecam keras logika kekuasaan yang menindas, mengutip peringatan Thucydides bahwa "yang kuat melakukan sesukanya, yang lemah menderita sebagaimana mestinya," dan menegaskan bahwa PBB ada untuk menolak doktrin tersebut.
Ia menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengirim hingga 20.000 personel penjaga perdamaian ke Gaza atau wilayah konflik lain, serta memberikan kontribusi finansial bagi misi perdamaian PBB. Selain itu, ia menekankan kontribusi nyata Indonesia dalam ketahanan pangan global dengan mengirim bantuan beras ke Palestina. Prabowo juga menggarisbawahi pentingnya multilateralisme dan peran PBB dalam menciptakan keamanan kolektif, menolak sikap diam terhadap penderitaan perempuan, anak-anak, dan warga sipil di Gaza. Ia menyerukan agar dunia bertindak tegas untuk menghentikan kekerasan, mewujudkan solusi dua negara, dan membangun perdamaian yang adil serta berkelanjutan. Bagi Indonesia, perdamaian bukan hanya slogan, tetapi komitmen nyata yang berakar pada sejarah perjuangan dan nilai kemanusiaan universal.
Perang di Gaza bukan hanya persoalan politik dan militer, tetapi juga merupakan tragedi kemanusiaan yang paling berat dampaknya terhadap perempuan dan anak-anak. Dalam  konflik bersenjata, perempuan sering kali berada di posisi ganda sebagai korban kekerasan langsung dan tidak langsung, serta sebagai penopang keluarga yang harus bertahan hidup dalam situasi ekstrem. Di Gaza, perempuan menghadapi kehilangan anggota keluarga, ancaman kekerasan seksual, kelangkaan kebutuhan dasar seperti air, pangan, dan layanan kesehatan, serta trauma psikologis yang berkepanjangan. Dalam situasi pengepungan yang berkepanjangan, perempuan dipaksa mengambil peran baru untuk menggantikan fungsi keluarga yang hancur akibat perang.
Mereka menjadi penyedia utama bagi anak-anak dan lansia, sering kali tanpa dukungan struktural. Perempuan juga menjadi saksi langsung terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional, seperti penyerangan terhadap rumah sakit dan tempat penampungan sipil. Anak-anak perempuan menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan dalam situasi darurat kemanusiaan. Presiden Slovenia Natasa Pirc Musar menyoroti kondisi ini secara moral dan politis, dengan pertanyaan retoris yang menggugah apakah kita siap mengatakan kepada anak-anak bahwa "ini adalah dunia yang akan mereka warisi, dan tidak ada yang bisa kita lakukan"?
Pertanyaan ini merefleksikan kegagalan kolektif komunitas internasional dalam memberikan perlindungan yang dijanjikan oleh hukum internasional, khususnya Konvensi Genosida dan Konvensi Hak Anak. Sementara itu, Presiden Prabowo menegaskan urgensi tindakan nyata dengan menolak sikap diam dunia terhadap penderitaan perempuan dan anak-anak Gaza, serta menawarkan kontribusi langsung Indonesia untuk menjaga perdamaian dan memberikan bantuan kemanusiaan. Dengan demikian, perang di Gaza tidak dapat dilihat hanya melalui lensa strategi militer atau diplomasi negara besar.
Pidato Natasa Pirc Musar dan Prabowo Subianto menunjukkan dua pendekatan kepemimpinan yang saling melengkapi dalam merespons krisis Gaza dan kemunduran multilateralisme. Musar menawarkan kritik struktural dan visi normatif reformasi Dewan Keamanan, penguatan hukum internasional, dan kepemimpinan perempuan sebagai motor perubahan global. Ia membawa perspektif moral yang tajam, menempatkan isu Gaza sebagai cermin kegagalan dunia mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Prabowo, di sisi lain, memberikan jawaban dalam bentuk tindakan konkret.
Ia mengusung solidaritas global dari perspektif negara Selatan, dengan menolak logika dominasi negara kuat, serta menegaskan kesiapan Indonesia untuk berkontribusi melalui pasukan perdamaian, bantuan pangan, dan dukungan terhadap solusi dua negara. Pendekatan ini memperlihatkan bagaimana negara berkembang dapat memainkan peran aktif dalam diplomasi internasional, tidak hanya sebagai penerima kebijakan global, tetapi juga sebagai aktor moral dan strategis. Dari perspektif perempuan, perang di Gaza memperlihatkan kegagalan sistem internasional dalam melindungi kelompok paling rentan.
Kepemimpinan perempuan seperti Musar menghadirkan suara yang tidak sekadar simbolis, tetapi substantif menggugat tatanan global yang membiarkan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak berlangsung tanpa konsekuensi. Ketika suara ini dipadukan dengan tindakan nyata seperti yang ditunjukkan Indonesia, muncul potensi koalisi moral dan politik yang dapat mendesak perubahan nyata di tingkat global. Kesimpulannya, keadilan gender dan solidaritas internasional bukan dua agenda yang terpisah, melainkan dua fondasi utama untuk membangun sistem global yang lebih adil dan manusiawi. Perang di Gaza memperlihatkan dengan jelas bahwa tanpa partisipasi dan kepemimpinan perempuan, sistem internasional akan terus gagal melindungi kelompok paling rentan. Namun, dengan kepemimpinan moral perempuan dan dukungan nyata dari negara-negara yang berkomitmen pada perdamaian, peluang untuk membangun tatanan dunia yang menjunjung kemanusiaan tetap terbuka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI