Di awal-awal membangun rumah tangga dengan Galuh Banjar atau gadis Banjar lebih dari dua dekade silam, saya dan istri sempat beberapa waktu tinggal di pondok mintuha (mertua;bahasa Banjar)  indah di pinggiran Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!Â
Tentu saja, perbedaan tradisi dan budaya di antara saya dan keluarga besar dari isteri yang akhirnya benar-benar bertemu untuk pertama kalinya, melahirkan warna-warni cerita yang tidak saja unik dan menarik saja untuk dikenang, tapi juga pemahaman dan pengetahuan terkait kearifan lokal masyarakat Suku Banjar yang sebelumnya tidak banyak yang saya ketahui dan pahami.
Salah satunya adalah kearifan lokal terkait tradisi dan budaya pemanfaatan bahan pangan hasil sungai dan rawa dari hulu sampai hilir yang selalu ramah lingkungan, hingga akhirnya melahirkan beragam kuliner tradisional khas Banjar yang otentik dengan citarasa organik yang unik, identik dan tentunya sangat menarik.
Setiap hari, menu-menu kuliner khas Banjar  berbahan dasar ikan air tawar tidak pernah terlewatkan dari list menu santapan kami, mulai dari sarapan, makan siang maupun makan malam yang selalu dilakukan secara bersama-sama dengan cara lesehan di ruang makan yang menyatu dengan dapur tradisional khas rumah panggung milik mertua yang dibangun dari kayu besi atau kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).
Ikan-ikan segar seperti Iwak Haruan atau Ikan Gabus (Channa Striata) dan keluarga Channa lainnya seperti Iwak Tauman, Randang dan Kihung yang memang dikenal sebagai ikan-ikan favorit dalam tradisi kuliner Urang Banjar, juga Iwak Papuyu atau Betok/Betik (Anabas testudineus), Iwak Patin (Pangasius sp.), Sapat (Trichopodus trichopterus Pallas, 1770), Sapat siam ((Trichopodus pectoralis, Regan 1910), Walut atau Belut rawa ( Monopterus albus) dan beberapa jenis lainnya secara bergantian selalu hadir di dapur untuk dimasak.Â
Ini yang akhirnya membuat saya penasaran! Dari mana ikan-ikan segar itu datang hingga sampai di dapur dan akhirnya dimasak oleh tangan dingin mertua saya menjadi berbagai jenis kuliner tradisional Banjar dengan citarasa yang tidak pernah gagal memanjakan lidah saya untuk terus bergoyang menikmati sensasi sedapnya!Â
Apa iya, mertua saya memancing ikan di kolong rumah yang memang "gudangnya" ikan juga? Atau jangan-jangan, mertua saya setiap hari pergi ke pasar untuk membeli beragam jenis ikan air tawar dari sungai atau rawa yang memang melimpah di daerah kami?Â
Tapi pertanyaan-pertanyaan saya itu akhirnya terjawab juga, ketika pagi-pagi selepas Subuh di akhir pekan datang amang-amang (paman-paman;bahasa Banjar) menghampiri saya di teras rumah panggung, saat saya sedang asyik membolak-balik koran pagi yang baru datang.Â