Mohon tunggu...
Kartika E.H.
Kartika E.H. Mohon Tunggu... Wiraswasta - 2020 Best in Citizen Journalism

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Satria Dewa Gatotkaca, "Jembatan" Millenial Kembali Nguri-uri Kearifan Budaya Pewayangan

20 Juni 2022   14:49 Diperbarui: 24 Juni 2022   01:00 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Satria Dewa: Gatotkaca(DOK. Satria Dewa Studio via kompas.com)

"Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig saking tyas baliwur ong".

(Bumi berguncang, langit berkilat, terlihat seperti orang yang cinta melihat segala kehormatan dan keindahan dunia, gunung pun berantakan).

Kearifan Budaya Wayang 

Bagi masyarakat Jawa yang kebetulan mempunyai "kedekatan" dengan budaya pewayangan, khususnya pagelaran wayang kulit purwa atau secara umum dikenal sebagai wayang kulit saja.

Tentu tidak asing dengan syair suluk atau ada juga yang menyebutnya sebagai ada-ada  yang secara awam sering digelari sebagai suluk bumi gonjang-ganjing diatas. Apalagi jika sekaligus mendengarkan tampilan audionya.

Suluk merupakan sejenis prelude atau narasi pembuka dari tiap sub-rangkaian cerita dalam sajian pentas wayang kulit yang tersaji dalam bentuk "nyanyian" Ki dalang dengan teknik acapella alias tanpa iringan musik pengiring ensemble karawitan secara full team.


Dan biasanya hanya ditemani oleh bunyi dodogan atau bunyi dok...dok...dok yang muncul ketika Ki dalang mengetuk-ngetukkan campala ke bagian dalam kotak wayang dengan tangan kirinya.


Suluk yang menurut Serat Sastramiruda karya K.P.A. Kusumadilaga, merupakan karya Sunan Kudus dan mulai muncul di pagelaran Wayang Kulit Purwa pada tahun 1443 Saka atau sekitar awal abad ke-16 tersebut "dimainkan" Ki dalang untuk membantu penonton ngimajinasi atau berimajinasi pada suasana tertentu, sesuai dengan jalan cerita yang dikehendaki Ki dalang.

Sehingga penonton yang mendengar suluk atau ada-ada bisa segera tanggap akan adanya pergantian sub-cerita, sehingga sesegera mungkin mempersiapkan diri untuk berimajinasi sesuai dengan tematik suasana pada adegan berikutnya. 

Itulah sebabnya, suluk atau ada-ada mempunyai banyak jenis, sesuai dengan peruntukan yang berbeda-beda.

Suluk untuk mengawali cerita perang yang menegangkan jelas akan berbeda dengan suluk untuk prelude kisah sedih, begitu juga suluk kisah kasmaran dengan suluk yang lainnya.

Karena selalu ditampilkan di depan dan relatif sering disajikan Ki dalang, maka tidak heran jika suluk menjadi salah satu bagian dari pentas pagelaran wayang kulit yang paling dikenal bahkan dihafal oleh pera pecinta dan penikmatnya, begitu juga dengan suluk "Bumi gonjang-ganjing" diatas!

Suluk bersyair bahasa Jawa Kawi atau Jawa kuno yang satu ini menjadi sangat populer, bukan saja karena nadanya yang catchy hingga relatif mudah dan enak didengar sekaligus diingat, tapi juga  karena menjadi "tanda"  kemunculan ksatria alias superhero paling populer dalam kisah-kisah pewayangan.

Khususnya anak-anak sebaya kami yang saat itu pastinya kesengsem berat dengan julukannya Si - Otot kawat balung wesi. Ada yang tahu siapa dia? Dialah Gatotkaca atau Ki dalang menyebutnya sebagai Gatotkoco. 

Gatotkaca Ksatria Pringgadani | kompas.com
Gatotkaca Ksatria Pringgadani | kompas.com
Suluk "Bumi gonjang-ganjing" dan  sosok Gatotkoco yang selalu tampil dengan tanda bintang di dadanya inilah "dua bagian" di antara sekian banyak rangkaian pertunjukan wayang (kulit) yang paling melekat erat dalam memori saya dan sepertinya juga teman-teman saya, "anak-anak wayang" di era 80-an.

Jujur, meskipun secara harfiah kami tidak paham detail cerita yang disampaikan Ki dalang karena faktor bahasanya, tapi nada-nada catchy-nya dalam ber-suluk yang begitu epik mudah sekali terekam dalam memori kami, hingga sampai sekarangpun masih sering bikin kangen untuk mendengarnya.

Beruntungnya lagi,  saat itu masih banyak orang-orang disekitar kami yang secara fasih bisa menarasikan sekaligus mendiskripsikan secara fasih, gamblang dan detail kepada kami, bagaimana kepribadian dan sepak terjang Gatotkoco, sosok superhero yang juga dikenal dengan nama Arimbiatmaja, Bimasiwi, Guritna, Gurudaya, Kacanegara, Purbaya dan Kancingjaya ini. 

Tidak hanya itu, narasi kepribadian ksatria putra Bima alias Werkudara yang dikenal sakti, berani, teguh, tangguh, cerdik pandai, waspada, gesit, tangkas, tabah dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar itu juga wira-wiri di telinga kami dari dongeng-dongeng kisah heroik pewayangan  dari bapak dan ibu guru di kelas-kelas sekolah. 

Bahkan dulu, tugas-tugas prakarya kami di sekolah untuk pelajaran keterampilan, juga tidak jauh-jauh dari budaya wayang (kulit), mulai dari sekedar menggambar tokoh-tokoh favorit, sampai membuat figur-figur karakternya dari bahan karton, kardus dan lain sebagainya.

Karenanya, tidak heran jika saat itu sosok Gatotkoco hadir dalam dunia anak-anak kami, tidak sekedar sebagai tokoh imajinner dalam tontonan wayang semata, tapi juga sosok role model yang secara emosional begitu dekat.

Sehingga, sifat-sifat ksatria yang ada padanya begitu menginspirasi alam pikiran kami, anak-anak wayang saat itu.  

Satria Dewa: Gatotkaca
Satria Dewa: Gatotkaca

Satria Dewa: Gatotkaca

Gatotkaca | sumber: deviantart.com/jabriksama via Instagram/@gatotkaca_official
Gatotkaca | sumber: deviantart.com/jabriksama via Instagram/@gatotkaca_official

Setelah berlalu sekian dekade, Gatotkoco sang superhero dari Pringgodani yang dulu saya kenal lewat pagelaran wayang kulit, baik live show maupun sekedar dari siaran radio dan juga dari dongeng para tetua di sekeliling kami, sekarang lahir kembali dalam versi yang lebih fresh dalam bentuk film action dengan title Satria Dewa : Gatotkaca.

Bagi generasi layar lebar versi kelir alias layar lebarnya pertunjukan wayang kulit yang cenderung statis, kelahiran kembali Gatotkoco dalam kemasan tontonan layar lebar versi film yang konon menghabiskan dana sampai 24 milyar, seharusnya bisa menjadi tombo kangen yang menghibur.  

Di tengah semakin minimnya ruang, waktu dan kesempatan untuk menikmati berbagai kearifan dalam fragmen pertunjukan wayang karena berbagai hal.

Terlebih wayang kulit yang secara tradisional memang mempunyai aturan dan peraturan alias pakem yang baku sehingga tidak bisa sembarangan untuk mempertontonkannya. 

Belum lagi, banyaknya ubarampe yang perlu dipersiapkan dan juga biayanya yang terkenal cukup  mahal, apalagi kalau Ki dalang yang pentas adalah dalang kondang! 

Situasi ini menjadikan pagelaran wayang kulit semakin sulit hadir ditengah-tengah masyarakat  yang terlanjur hidup dalam budaya pop yang cenderung memilih praktis, efektif dan efisien sebagai pattern kehidupan.

Satria Dewa Universe | layar.id
Satria Dewa Universe | layar.id

Karenanya, kehadiran film action  Satria Dewa : Gatotkaca yang mengusung semangat kisah superhero lokal nusantara, setidaknya bisa menjadi alternatif untuk mengisi "kekosongan" pentas kearifan wayang di lingkungan masyarakat tersebut, apalagi film sebagai bagian dari budaya pop jelas relatif lebih mudah di nikmati siapa saja dan kapan saja. 

Dengan begitu, beragam pesan kearifan  dalam wayang yang diangkat dalam film Satria Dewa : Gatotkaca tetap bisa sampai kepada masyarakat dan tentunya tidak akan serta merta hilang terkubur waktu, meskipun pagelaran wayangnya sendiri semakin sulit ditemukan.

Dan yang tidak kalah penting, film yang rencananya menjadi "pembuka" alias pintu masuk menuju semesta Satria Dewa Universe yang garis ceritanya kurang lebih tetap sama dengan pakem kisah klasik nan monumental,  perselisihan Pandawa dan Kurawa yang ujungnya kelak adalah perang Barathayuddha tersebut, juga bisa menjadi  tombo kangen pada sosok superhero, pemilik julukan otot kawat balung wesi, Si-Gatotkaca yang sakti mandraguna tapi juga romantis tersebut.

Hanya saja, asumsi ini untuk saya pribadi dan mungkin juga untuk anak-anak  yang pernah sebaya dengan saya pada era 80-an atau sebelumnya yang pernah begadang sambil kemulan sarung, ndodok di belakang atau di depan kelir yang sama-sama asyiknya untuk menikmati indahnya suluk dan tentunya ketangkasan Ki dalang saat memainkan serta memerankan masing-masing karakter wayang kulitnya.

Walaupun begitu, saya tetap berharap,  kehadiran film Satria Dewa: Gatotkaca ini tidak hanya menjadi pembuka atau pintu masuk menuju semesta Satria Dewa Universe sebagai media hiburan semata.

Tapi, bisa juga menjadi pintu masuk atau bahkan "jembatan" bagi para milenial atau siapa saja untuk kembali masuk dan merasa perlu nguri-uri budaya pewayangan yang sarat dengan kearifan warisan leluhur.

Semoga Bermanfaat!
Salam Matan Kota 1000 Sunngai,
Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun