Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Indonesia, Negara Agraris Pengimpor Pangan

15 Agustus 2011   03:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:46 4051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_129207" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"] [/caption]

Terlepas dari transformasi struktur ekonomi yang semakin mengantarkan Indonesia menuju negara industri , nampaknya tidak salah kalau kita masih menganggap Indonesia sebagai negara agraris. Setidaknya, ada dua alasan mengapa negeri ini masih dianggap sebagai negara agraris. Pertama, sektor pertanian masih menjadi salah satu leading sector dalam ekonomi Indonesia, ditunjukkan oleh pangsanya yang masih cukup tinggi terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB). Pada triwulan II 2011, pangsa sektor pertanian terhadap PDB sebesar 15,4 persen, nomor dua setelah sektor industri pengolahan yang mencapai 24,3 persen. Alasan kedua, sebagian besar, yakni sekitar 33 persen (42,47 juta), penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menggantungkan hidupnya (bekerja) di sektor pertanian.

Ironisnya, sebagai negara agraris Indonesia ternyata belum memiliki kemandirian dan kedaulatan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai impor komoditi pangan Indonesia yang masih cukup tinggi, yakni sekitar 7 persen dari total impor Indonesia. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, kita juga sempat dikagetkan dengan kenyataan bahwa ternyata sebagai salah satu negera dengan garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia harus mengimpor garam dari sejumlah negara seperti Cina dan India. Sebuah kenyataan yang tentu miris dan membuat kita mengelus dada.

Berdasarkan data BPS, selama semester I 2011 (Januari-Juni), Indonesia telah mengimpor bahan pangan, baik mentah maupun olahan, senilai 5,36 milliar dollar AS atau sekitar 45 triliun rupiah dengan volume impor mencapai 11,33 juta ton. BPS mencatat, Indonesia mengimpor sedikitnya 28 komoditi pangan mulai dari beras, jagung, kedelai, gandum,terigu, gula pasir, gula tebu, daging sapi, daging ayam, mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih, telur,kelapa, kelapa sawit, lada, teh,kopi, cengkeh, kakao, cabai segar dingin, cabai kering tumbuk, cabai awet, tembakau dan bahkan singkong alias ubi kayu juga diimpor.

Mengapa terus impor?

Jika ditelaah lebih jauh, tren impor pangan Indonesia ternyata bukannya terus menurun dari tahun ke tahun, yang ada malah terus meningkat. Jagung misalnya, berdasarkan data BPS, selama semester I tahun 2010 lalu, impor komoditi ini hanya mencapai 600 ribu ton, tetapi di semester I tahun 2011 impor jagung telah mencapai 2 juta ton. Dan tren kenaikan ini juga terjadi pada komoditi-komoditi pangan lainnya, bukan hanya jagung.

Nilai impor pangan Indonesia yang terus meningkat tentu merupakan soal yang amat serius. Jika diurai, biang dari persoalan ini sebenarnya bukan hanya karena suplai atau produksi dalam negeri yang kurang, tetapi lebih dari itu. Masalah impor pangan sudah tersandera banyak kepentingan mulai dari partai politik, pengusaha dan kepentingan individu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir Mansyur kepada media.

Banyak pihak yang menikmati kondisi ini. Bagi mereka, impor pangan merupakan lahan basah untuk merauk banyak keuntungan. Karena itu, mereka sangat berkepentingan agar impor pangan terus berlangsung. Dan sepertinya, pemerintah tersandera oleh kepentingan mereka, para mafia impor itu. Sikap Menteri Perdangan Mari Elka Pangestu yang cenderung melonggarkan dilakukannya impor komoditi pangan merupakan indikasi kuat akan hal itu.

Terlepas dari alasan pemerintah bahwa kebijakan impor pangan terpaksa dilakukan karena kurangnya stok dalam negeri sehingga untuk menjaga agar harga komoditi pangan tidak melonjak maka harus dilakukan impor, jika kondisi ini terus dibiarkan, tentu sangat tidak baik. Apalagi, pangsa pangan impor terhadap pemenuhan pangan nasional saat ini telah mencapai 65 persen. Jika terus dibiarkan, bisa-bisa nantinya semua kebutuhan pangan kita harus diimpor. Dengan kata lain, kita akan menjadi negara yang tergantung pada impor pangan dari negara lain. Kalau sudah seperti itu, dimana kemerdekaan dan kedaulatan kita sebagai negera agraris dalam hal pemenuhan pangan?

Lebih dari itu, impor pangan yang terus membesar menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani, yang sedikit banyak tentu akan merugikan, bahkan bisa mematikan mereka. Apalagi, harga komoditi pangan impor hampir selalu lebih rendah dari komoditi pangan yang diproduksi oleh petani. Karena itu, selagi kebutuhan pangan masih bisa diupayakan melalui produksi dalam negeri seharusnya tidak perlu impor. Bisa dibayangkan, jika biaya impor komoditi pangan yang mencapai 45 triliun itu bisa dinikmati oleh para petani kita, tentu mereka yang sebagian besar miskin itu akan lebih sejahtera. Untuk itu, kita berharap semoga ada keseriusan dan ketegasan dari pemerintah dalam masalah ini.

****

Sumber tulisan detik.com, data-data dari BPS

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun