Freire bahkan menulis bahwa pendidikan yang membebaskan harus menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek. Maka, media apa pun, baik konkret maupun digital, seharusnya tidak menenggelamkan peran siswa, melainkan memperkuat partisipasi aktif mereka.
Apa Kata Penelitian?
Empat penelitian terbaru memberi gambaran menarik tentang “duel” antara media konkret dan digital:
- Zeynel Kablan dkk. (2013)
Meneliti penggunaan PowerPoint dan media konkret di kelas matematika SD.
Hasilnya? Semua kelompok meningkat hasil belajarnya, tapi tidak ada perbedaan signifikan.
Artinya, bukan medianya yang paling penting, melainkan cara guru menggunakannya. - Khairunnisa & Ilmi (2020)
Menyebut media konkret unggul dalam melatih berpikir kreatif dan pemecahan masalah, sedangkan media digital unggul dalam efisiensi dan fleksibilitas waktu. - Chusna et al. (2024)
Menunjukkan bahwa media digital interaktif mampu meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa, asalkan guru paham cara menggunakannya. - Mubaidilla (2025)
Menegaskan bahwa kombinasi antara media konkret dan digital justru paling efektif.
Bukan memilih salah satu, tapi memadukan keduanya secara bijak.
Contoh di Lapangan
Bayangkan seorang guru kelas IV yang mengajarkan perkalian.
Ia memulai pelajaran dengan balok angka agar anak-anak bisa menghitung langsung. Setelah itu, guru mengajak mereka bermain game perkalian di tablet yang memberikan tantangan dan skor. Hasilnya? Anak-anak belajar dengan tangan, mata, dan hati sekaligus. Mereka memahami konsep, bukan sekadar menghafal rumus
Refleksi: Menemukan Titik Seimbang
Jika kita meninjau dari perspektif filsafat pendidikan kontemporer, terutama konstruktivisme dan humanisme, maka pertanyaannya bukan lagi “mana yang lebih baik,” melainkan “bagaimana keduanya saling melengkapi.”
Media konkret tetap penting untuk anak SD, karena memberikan pengalaman sensorik dan kinestetik yang sesuai tahap berpikir mereka. Anak yang memegang balok dan memindahkannya untuk menghitung sedang berpikir dengan tangan. Namun, media digital memberi dimensi baru dalam imajinasi, visualisasi, dan konektivitas. Aplikasi interaktif, simulasi 3D, dan video animasi membantu mereka memahami konsep yang tidak bisa dilihat langsung, seperti pecahan atau bentuk ruang.
Filsafat pendidikan konstruktivisme digital menegaskan bahwa teknologi seharusnya tidak menggantikan pengalaman nyata, tetapi memperluas ruang belajar. Dalam kerangka filsafat humanistik, guru menjadi fasilitator yang menuntun siswa agar mampu belajar secara mandiri, reflektif, dan bermakna, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Kesimpulan