Mohon tunggu...
Kadek Anngi Taradita
Kadek Anngi Taradita Mohon Tunggu... Juara 3 Debat Ilmiah Tahun 2019

Hobi membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Realisme sebagai Landasan Pendidikan Objektif: Meninjau Peran Filsafat Empiris dalam Membentuk Kognisi Faktual

15 Oktober 2025   06:00 Diperbarui: 13 Oktober 2025   19:49 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

1. Epistemologi Melalui Indra dan Akal: Realisme menegaskan bahwa proses belajar dimulai dari pengalaman indrawi (sensing). Pikiran adalah organ yang menerima data dari luar, menyimpannya, dan mengorganisasikannya. Namun, tidak seperti Empirisme radikal, Realisme tidak berhenti pada sensasi; ia menggunakan akal dan logika untuk menganalisis data ini, mengidentifikasi pola, dan merumuskan hukum alam yang universal. Kebenaran bukanlah apa yang kita rasakan subyektif, melainkan apa yang dapat diverifikasi oleh banyak pengamat.

2. Kebenaran Sebagai Korespondensi: Realisme menganut Teori Kebenaran Korespondensi, di mana sebuah proposisi dianggap benar jika ia bersesuaian (corresponds) dengan fakta yang ada di dunia nyata. Misalnya, pernyataan "Gravitasi menyebabkan apel jatuh" adalah benar karena ia dapat dibuktikan melalui observasi dan eksperimen yang konsisten. Implikasi pedagogisnya adalah bahwa kurikulum harus berfokus pada validasi dan verifikasi pengetahuan, bukan sekadar penerimaan pasif. Ujian dan penilaian harus mengukur penguasaan fakta dan kemampuan siswa menerapkan konsep secara objektif.

Meskipun Realisme merupakan fondasi yang kuat bagi sains dan teknologi, ia juga menghadapi kritik signifikan di era modern:

1. Reduksi Nilai dan Etika: Kritik utama Realisme adalah kecenderungannya untuk mereduksi nilai-nilai (values) menjadi hasil dari kondisi sosial atau psikologis, bukan sebagai kebenaran abadi. Realisme sulit memberikan landasan yang kuat untuk etika dan moralitas transendental. Jika kebenaran hanya faktual, bagaimana kita mengajarkan siswa tentang Kebaikan Mutlak atau Keadilan Sejati yang melampaui data empiris? Pendidikan yang terlalu realis berisiko melahirkan lulusan yang cerdas secara teknis tetapi miskin secara etika.

2. Pengabaian Dimensi Subjektif dan Kreativitas: Realisme cenderung mengabaikan atau memandang rendah dimensi pengalaman subjektif, intuisi, dan imajinasi kreatif. Karena fokus pada fakta terverifikasi, seni dan sastra seringkali direduksi fungsinya sebagai alat rekreasi, bukan sebagai subjek inti yang mengembangkan kedalaman spiritual. Pendidikan realis berisiko mematikan potensi kreatif siswa.

3. Bahaya Dogmatisme Ilmiah: Meskipun Realisme menjunjung tinggi metode ilmiah, implementasi yang kaku dapat berubah menjadi dogmatisme ilmiah (Scientism), di mana hanya apa yang dapat diukur dan diobservasi yang dianggap nyata atau bernilai. Hal ini bertentangan dengan sifat sains yang seharusnya terbuka terhadap revisi dan penemuan baru.

Realisme tetap relevan dan vital, terutama sebagai penyeimbang terhadap idealisme yang terlalu ekstrem. Revitalisasi Realisme berarti mengintegrasikan kembali filosofi ini secara substantif dengan menyelaraskannya dengan kebutuhan manusia utuh:

1. Pendidikan Sains Humanistik: Realisme harus mengajarkan sains dan teknologi tidak hanya sebagai seperangkat fakta, tetapi sebagai alat untuk peningkatan kualitas hidup manusia. Ilmu pengetahuan harus selalu disajikan dalam konteks implikasi etis dan sosialnya. Misalnya, pelajaran Biologi harus mencakup etika lingkungan, dan pelajaran Fisika harus mencakup tanggung jawab teknologi.

2. Metode Pembelajaran Berbasis Disiplin: Menguatkan kembali penggunaan metode induktif-deduktif dan pembelajaran berbasis laboratorium. Siswa harus didorong untuk menemukan kebenaran sendiri melalui eksperimen dan observasi, daripada sekadar menerima ceramah. Kurikulum harus disusun secara disiplin (disciplined curriculum), di mana setiap subjek diajarkan secara terstruktur untuk membangun fondasi kognitif yang kokoh.

3. Penekanan pada Keterampilan Kritis: Realisme modern sangat mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis dan literasi data. Di era post-truth dan disinformasi, kemampuan siswa untuk membedakan fakta objektif dari opini subyektif---memverifikasi klaim melalui bukti empiris adalah keterampilan realis yang paling mendesak.

Realisme adalah filosofi yang mengajarkan bahwa dunia adalah arena nyata tempat pikiran dan tindakan kita diuji oleh fakta yang tak terhindarkan. Tugas mulia para pendidik saat ini adalah memastikan bahwa siswa dilengkapi dengan pengetahuan objektif dan keterampilan ilmiah untuk berinteraksi secara efektif dan bertanggung jawab dengan realitas ini. Realisme adalah cetak biru untuk sebuah pendidikan yang tidak hanya mengasah pikiran untuk berpikir, tetapi juga melatih tangan untuk bertindak, menghasilkan individu yang kompeten, disiplin, dan terikat pada kebenaran faktual.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun