Jam dinding mendesah lirih , antara terdengar dan tidak suaranya sayup mendentangkan waktu, dua belas kali hitungannya. Hujan deras mendesir, nyanyiannya memekakkan telinga, air-air menjuntai jatuh bagai kaki-kaki penari kuda lumping kesurupan sesekali kilatan lidah api menelanjangi langit. Seekor cicak berjalan tertatih lesu menahan lapar. Dari mulutnya keluar umpatan kesal karena hujan telah menahan makan malamnya.
Di ruang baca sebuah rumah, seorang laki-laki terduduk menahan kantuk , tujuh puluh enam kali sudah dia menguap, dengan mata menyipit diseretnya langkah gontai menuju kamar tidur, direbahkannya badan dan ditariknya selimut dalam-dalam sambil menggulung tubuh menyerupai kaki seribu, mendekatkan lutut dengan mulut.
Diantara sadar dan tidak, diantara masih ada dan pergi, lelaki mendengar langkah-langkah terserak mendekati kamar, semakin dekat semakin nyata, dari aroma khas minyak gosok yang menyusup ke rongga-rongga selimut dia tahu bahwa itu adalah istrinya. lalu dalam satu hembusan nafas dirasakannya sesosok tubuh merebah disampingnya dan seperti biasa tempat tidur menjerit pilu menahan berat tubuh mereka, tubuh-tubuh yang setiap malam menumpangkan diri berlupa di atasnya.
Dia yang tadinya telah jelang tiada mendadak terbangun ada, seperti biasa dibiarkannya sang istri memeluk erat tubuhnya, menumpangkan tiga puluh tiga kilo kaki kanan di pinggulnya dan tujuh belas kilo lengan kanan di lingkar lehernya. Dia coba menahan tapi nadinya berteriak, dia coba mendiam tapi nafasnya tersedak, lalu dia tawarkan; “ istriku, mari aku yang memelukmu “ . Sang istri menjawab ketus; “ Hey lelaki ! biarkan aku yang memelukmu ”.
Biarkan aku yang memelukmu !. Sebuah kalimat yang sebenarnya telah lama ingin tidak didengarnya, sesuatu yang dia sudah mengharu biru menanggungkannya sampai lelah sebenar-benar lelah mengganduli hatinya, sampai yakin sebenar-benar yakin membatu di kepalanya bahwa kalimat itu tidak akan pernah hilang meluncur dari mulut istrinya. Biarkan aku yang memelukmu. Ya. Biarkan aku yang memelukmu.
Dalam sesak dadanya, dalam berat nafasnya, si lelaki sedikit menggeliat untuk sekedar meringankan beban di pinggul, melonggarkan belitan lengan di leher namun sayup didengarnya sang istri berkata; “ Jangan kau ganggu tidurku, luruskan badanmu dan biarkan aku memelukmu!.
Si lelaki tersedak, dadanya makin menyesak lalu sambil menahan nafas, dengan lembut dia berbisik ; Istriku !. Silakan kau peluk tubuhku, tumpangkanlah kakimu dipinggulku, lingkarkanlah lenganmu dileherku. Tapi tolong jangan kau suruh aku meluruskan badan, aku ingin tidur menggulung seperti kaki seribu karena aku sangat nyaman serupa itu .
Rasanya seperti di rahim bunda.
Ya . Seperti di rahim bunda.
Tiba-tiba kencang si istri setengah berteriak. Hey ! Bawel amat sich kamu. Luruskanlah badanmu, biarkan aku memelukmu.
Lelaki diam terbaring membantu.
Ia ingin tidur tapi kantuknya kabur,
Ia ingin tiada tapi dadanya menyala,
Ia ingin berlupa tapi panca inderanya bekerja
Ia sangat ingin berehat tapi hati & badannya diganduli beban berat.
Lalu diantara dengkur pulas sang istri dengan lirih ia mendesah;
Istriku tahukah kau beda memeluk dengan meremuk ?.