Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Memaksa Kerbau untuk Mencintaimu

28 Desember 2019   08:24 Diperbarui: 28 Desember 2019   08:29 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: cjip.jatengprov.go.id

Lain halnya dengan Zulkarnain. Keluar dari pondoknya karena tidak sesuainya antara perjanjian awal antara wali santri dan kenyataannya. "Katanya makan tiga kali, ternyata Cuma dua kali. Itu pun kami sudah tiga bulan ini hanya lauk kerupuk dan sambel. Kalau kami gratis, masih mending. Ayah saya kan bayar terus. Tapi ndak tahu kok seperti itu, makanya kami keluar dari sana," tukasnya.

Kisah lain juga disampaikan Pak Syam, teman Gus Pri di Lampung. Pak Syam menemukan kenyataan buruk diantara perilaku pengelola pondok pesantren. Uang SPP santri dan yayasan berbalik menjadi asset pribadi ketua yayasan. Sementara santri-santrinya kepalaran.

"Ada di tempat kami. Ustadznya ndak salah-salah. Keluar masuk pondok dengan mobil inova. Isterinya pakai Avansa. Tapi santrinya kelaparan, gedungnya dari sepuluh tahun lalu sampai sekarang itu-itu saja. Sementara bayar SPP jalan terus. Bantuan dari donator datang tak terhitung. Aku sedih melihatnya, kok begitu?" tutur Pak Syam ketika mengunjungi Gus Pri di Palembang.

Melihat dan mendengar kisah-kisah itu, meyakinkan Nyai Hayat bila di sejumlah pondok ada peristiwa pilu. Sekilas, Nyai Hayat sangat takut kalau dalam lembaga yang akan dididirikan bersama suaminya itu, muncul tuduhan miring seperti itu.

"Bah, gimana kalau ada orang yang menuduh buruk terhadap rencana kita?" tanya Nyai Hayat ingin meyakinkan hatinya.

"Satu tandan pisang, itu tidak akan semuanya bagus," ujar Gus Pri membuat perumpamaan. "Sekarang tinggal kita, mau jadi pisang bagus yang enak dimakan, atau jadi pisang busuk yang dibuang pemiliknya. Masih mending kalau jadi makanan burung Kutilang, namanya masih bermanfaat. Lha, kalau dibuang? kan masuk kotak sampah?" jawaban Gus Pri pagi itu mengaduk-aduk batin dan logika Nyai Hayat.

"Terus ada lagi, yang bilang, Gus Pri itu kan orang tarekat, kok malah mendirikan pondok. Mestinya Gus Pri itu buat majelis suluk saja, ndak usah sibuk ngurusi pondok, apalagi mau buat pendidikan formal dan perguruan tinggi segala," ujar Nyai Hayat mengutip nada sinis dari sebagian orang terhadap rencana Gus Pri dan isterinya.

"Lalu?" Gus Pri mencoba memancing jawaban Nyai Hayat, yang sudah mendampinginya 30 tahun.

Meskipun dalam hatinya banyak jawaban yang hendak disampaikan, namun Nyai Hayat membenamkan untaian kata itu dalam-dalam.

Beberapa detik mata Nyai Hayat melihat mata suaminya. Tapi sebentar kemudian mengalihkan pandanganya ke arah lain. Bagi Nyai Hayat, lebih dari lima detik menatap mata Gus Pri, menjadi bagian perlawanan terhadap suami. Hanya napas gundah di dadanya yang kemudian ditangkap Gus Pri. Masih ada gejolak Tanya di hati Nyai Hayat.

Meskipun, dengan berbagai pengalamnnya di pondok,  Nyai Hayat bisa saja menerka-nerka jawaban dari suaminya. Tapi ia hanya diam. Menunggu jawaban dari orang yang ia hormati, dunia dan akhirat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun