Mohon tunggu...
Kafka
Kafka Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Jangan Membunuh Momentum Musik dengan Cara Pandang yang Keliru

17 Mei 2018   10:05 Diperbarui: 17 Mei 2018   11:13 1987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momentum meningkatnya minat pada rilisan fisik musik perlu disikapi dengan cermat (Gelut.com)

Dalam beberapa kesempatan, terjadi dua fenomena yang menarik terkait dengan dunia musik di tanah air.

Fenomena pertama adalah minimnya proses kreasi para musisi untuk menerbitkan album fisik dikarenakan pembajakan yang menggurita dan peralihan para pendengar musik kepada piranti digital.

Sedangkan fenoma kedua adalah dalam scene musik indie, meningkatnya permintaan rilisan fisik karya musik indie baik dalam bentuk CD, kaset bahkan vinyl.

Hal paradoks yang tengah terjadi ini, sedikit banyak mempunyai akar masalah yang sama dan masih sangat bisa dicarikan solusinya satu persatu.

Narasi kali ini tentunya diharapkan mampu membantu mencarikan solusi dengan tujuan terpenting yakni mendistrubusikan karya seni para artis di lingkungan masyarakat dengan lintas generasi.

Mari kita lihat apa yang terjadi dalam penjualan rilisan fisik sebuah band asal Bandung, mengunjungi salah satu toko rilisan fisik di kawasan Jakarta Selatan dan menanyakan harga rilisan fisik band tersebut (vinyl) dan didapatkan jawaban info harga dari seller yakni sebesar 1 juta. Dengan iseng saya tanyakan kenapa mahal yah, dan dijawab karena rilisannya masih disegel. 

Tidak puas dengan harga vinyl band tersebut, saya kemudian menanyakan harga vinyl band Indonesia lainnya dan dijawab harga vinyl tersebut seharga 800 rb.

Meskipun saya yakin harga tersebut masih bisa ditawar, namun pastinya penurunan harga tidak lebih dari 10 persen, saya kemudian meninggalkan toko tersebut.

Kemudian dalam beberapa kesempatan lainnya, saya mengunjungi toko lainnya dan mmeperhatikan harga rilisan fisik dalam bentuk cd untuk band yang lainnya, harga yang dibanderol, sudah mencapai 5-6 kali lipat dari harga awal cd band tersebut dirilis. Sungguh peningkatan harga yang luar biasa, atas nama kondisi dan kelangkaan barang (karena tidak mudah didapatkan lagi ), maka harga sebuah rilisan fisik seni dapat dikenakan sesuai suasana mood penjual.

Jelas ini adalah parameter harga yang absurd dan merugikan.

Keabsurdan ini kemudian dipeparah dengan perbedaan harga yang sangat besar dengan rilisan yang sama namun dijajakan via online store.

Bayangkan, harga vinyl di toko off line seharga 1 jt, ditawarkan di toko on line seharga 450 rb dengan kondisi sama2 masih disegel.

Saya kemudian tertarik mengecek lagi harga rilisan2 fisik band yang lainnya, dan benar seperti dugaan saya, disparitas harga bisa mencapai lebih dari 40% antara harga di off line dan on line. Atas hal ini, saya mempunyai keyakinan, para seller tersebut sudah mengetahui perbedaan tersebut, namun sangat meyakini strategi pricing mereka sangat tepat.

Dengan melihat perbedaan harga yang tinggi, tidak adanya acuan standar diajukan dalam harga rilisan fisik dan semangat perkulakan kelas wahid oleh para seller, maka hal ini akan merusak perkembangan musik itu sendiri. 

Para young listener akan kesulitan mendapatkan referensi musik yang baik. Meskipun saat ini, musik mudah didapatkan dalam format digital, namun para listener musik yang baik, pasti sadar dan memahami sekali bahwa rilisan fisik adalah sebuah keharusan yang harus dimiliki. Rilisan fisik bukan hanya berperan dalam bentuk merchandise, namun merupakan salah satu appresiasi tertnggi kita kepada kerja keras para artis akan karya seni.

Kembali dengan pola bisnis perkulakan rilisan fisik para seller ini, saya tidak tertarik dengan alasan mereka bahwa harga yang ditawarkan sangat tinggi dikarenakan harga modal untuk mendapatkan rilisan fisik tersebut sudah tinggi. 

Menurut saya, alasan tersebut adalah alasan retorik dan tidak dapat dibenarkan, karena sangat merugikan para pembeli dan bisnis seller ini dalam jangka pendek.

Analogi yang harusnya dijawab oleh mereka adalah bagaimana dapat mempertahankan dan meningkatkan trend pembelian rilisan fisik. Jika hanya mengedepankan keuntungan jangka pendek dan impulsif, maka bisnis mereka pastinya akan terganggu.

Disisi lain, mungkin juga sebuah kehormatan bagi artis jika harga rilisan fisik seninya melambung tinggi. Satu hal yang tidak disadari oleh para artis tersebut adalah karya seni mereka akan jauh lebih baik jika dapat diappresiasi lintas generasi.

Rasa bangga mereka akan tingginya harga rilisan fisik mereka pastinya bukan jawaban yang tepat untuk memposisikan kelanggengan karya seni mereka. Karya seni yang langgeng dan lintas generasi, pastinya memberikan pemasukan revenue bagi artis antara lain melalui tawaran tampilan offline.

Appresiasi tertinggi dari karya seni adalah kemampuannya dapat mengilhami lintas generasi. (rollingstone.com)
Appresiasi tertinggi dari karya seni adalah kemampuannya dapat mengilhami lintas generasi. (rollingstone.com)
Karya merekapun harus mampu menjadi bagian referensi pengembangan musik setelahnya, dikaji dan dibunyikan kembali untuk dapat memberikan dampak enlightment.

Jadi jelas, kebanggaan akan harga rilisan fisik oleh artis karena sudah masuk collector item, tidak mampu memberikan dampak yang baik bagi keberlangsungan karya musik tersebut dalam appresiasi pendengar musik lintas generasi.

Lantas apa yang harus dilakukan untuk hal ini. Jawaban sederhana adalah melakukan remastering dan merilis kembali rilisan fisik tersebut.

Para artispun diharuskan menampilkan live performance satu album tersebut. Dari hasil remastinng dan rilisan ulang serta live performance, maka secara jujur artis dapat melihat durabilitas karya seni tersebut, kemampuan daya jangkau lintas generasi album tersebut.

Cobalah luangkan waktu untuk dapat menjawab dengan jujur, mana yang lebih baik harga rilisan fisik yang selangit namun tidak ada tawaran live perform ; mana yang lebih baik, dapat menjual rilisan fisik dengan harga selangit namun 6 bulan kemudian toko bangkrut.

Musik adalah seni dan seni adalah rasa, jangan rusak seni dengan kepentingan semangat perkulakan. Apa yang terjadi saat ini dimana industri musik rekaman hancur dan belum menemukan format perbaikan adalah dikarenakan keserakahan para tengkulak dan sikap tegas para pendengar musik akan keserakahan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun