Penulis: Juanda Volo Sinaga
Analis Kebijakan, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara
Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya dalam pengelolaan sumber daya mineralnya. Di tengah ambisi hilirisasi dan transisi energi, salah satu produk samping yang lama terabaikan adalah red mud atau lumpur merah hasil pengolahan dan atau pemurnian bauksit justru menyimpan potensi besar sebagai bahan baku industri strategis. Alih-alih menjadi beban lingkungan, red mud justru dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi aset berharga bagi ekonomi nasional.
Red mud merupakan residu dari proses Bayer, yakni metode umum dalam pengolahan dan atau pemurnian bijih bauksit menjadi alumina. Dalam proses ini, setiap satu ton alumina yang dihasilkan, rata-rata akan menyisakan sekitar 1,5 ton red mud. Dengan kapasitas produksi alumina Indonesia saat ini mencapai 4,3 juta ton per tahun, potensi red mud yang dihasilkan pun tak tanggung-tanggung sekitar 4,3 juta ton  lebih per tahun pula.
Sayangnya red masih dianggap limbah , sehingga sebagian besar red mud ini hanya ditimbun dalam kolam-kolam penampungan tanpa pemanfaatan berarti. Ini bukan hanya menciptakan masalah lingkungan, tetapi juga menyia-nyiakan potensi ekonomi dari kandungan mineral berharga yang masih tersisa, seperti besi (Fe), aluminium (Al), titanium (Ti), hingga logam tanah jarang seperti skandium (Sc) dan neodimium (Nd).
Padahal, sejumlah negara seperti China, Rusia, hingga Yunani sudah selangkah lebih maju. Misalnya, Aluminium of Greece telah memanfaatkan red mud untuk menghasilkan besi kasar, semen, hingga mineral wool, sementara CHALCO di Tiongkok bahkan telah mengembangkan teknologi ekstraksi logam tanah jarang dari red mud sebagai bahan baku industri berteknologi tinggi.
Di Indonesia, PT Well Harvest Winning misalnya, menghasilkan lebih dari 2 juta ton red mud per tahun. Namun saat ini baru tersedia dua landfill aktif untuk menampung limbah tersebut, dengan kapasitas sisa yang diperkirakan hanya mampu menampung red mud selama 4--6 tahun ke depan. Ini menandakan bahwa solusi pemanfaatan bukan lagi opsi, melainkan keniscayaan.
Lantas, apa saja potensi pemanfaatan red mud bagi Indonesia?
Pertama, sektor konstruksi. Red mud dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bata ringan, paving block, hingga campuran semen. Kandungan silika dan kalsium dalam red mud berkontribusi terhadap ketahanan dan kekuatan struktur bangunan. PT Aneka Tambang bahkan sudah memanfaatkan red mud sebagai bahan baku batako bersama kelompok masyarakat lokal di Kalimantan Barat.
Kedua, industri baja. Kandungan oksida besi yang tinggi pada red mud dapat diolah kembali untuk menghasilkan besi mentah (pig iron) melalui proses peletisasi dan peleburan. Dalam proyek percontohan yang dilakukan oleh AoG (Aluminium of Greece), red mud berhasil dimanfaatkan untuk mendukung produksi green steel, baja ramah lingkungan.
Ketiga, industri kimia dan logam strategis. Red mud menyimpan potensi sebagai sumber alternatif bagi produksi titanium oksida, pigmen besi, serta bahan koagulan seperti polyaluminium chloride (PAC). Tak kalah penting, kandungan skandium dan lantanida dalam red mud juga menjadi peluang besar bagi pengembangan teknologi tinggi dalam negeri, terutama untuk baterai, kendaraan listrik, dan pertahanan.