Anam, 15/1/24, Di Dusun Lagur, Desa Bulan Manggarai NTTÂ yang asri, berita duka menyebar seperti angin sore yang lembut tapi penuh arti: Ibu Lusia Jeliut, sosok yang selalu membuat dunia lebih berwarna, telah pergi menghadap Tuhan.
Ibu Lusi, begitu ia disapa, adalah perempuan yang tak hanya hadir, tapi hidup di setiap pertemuan. Kalau ada Dasa Wisma, dia yang paling heboh. Kalau ada rapat Koperasi Soverdia, dia yang paling duluan angkat tangan. Tapi, bukan untuk protes---melainkan untuk melemparkan lelucon segar yang sering kali membuat rapat berubah jadi stand-up comedy.
"Kalau hidup terlalu serius, siapa yang mau betah?" katanya suatu ketika, sambil tertawa renyah.
Namun kali ini, suasana di rumah Ibu Lusi begitu hening. Kursi-kursi plastik tertata rapi di halaman rumah, tempat tetangga, kerabat, dan sahabat berkumpul untuk mengucapkan salam perpisahan. Bahkan alam seperti turut berduka: burung-burung yang biasanya bersiul riang di pohon depan rumah Ibu Lusi seolah menundukkan kepala.
Senyum di Tengah Air Mata
Kehadiran tim dari Koperasi Soverdia Keuskupan Ruteng melalui Manajer KSP Kopdit Spirit Soverdia, Yuliana Nelci  memberi sentuhan haru yang mendalam. Santunan dukacita diserahkan langsung kepada ahli waris oleh tim sekretariat koperasi bersama Kepala Desa Bulan. Momen ini penuh rasa syukur, meski diselimuti duka.
"Kami tahu, kami tak bisa menggantikan Ibu Lusi. Tapi ini adalah wujud cinta kami untuk seorang anggota yang tak tergantikan," kata salah satu petugas koperasi, suaranya bergetar namun penuh wibawa.
Di balik air mata, ada senyuman kecil dari keluarga Ibu Lusi. Santunan ini bukan sekadar bantuan materi, tapi simbol bahwa Ibu Lusi tidak pernah berjalan sendirian.
Bpk. Hubertus Nomot sebagai perwakilan keluarga menyambut baik kehadiran Koperasi Soverdi Keukupan Ruteng dan berterima kasih atas empati, simpati dan sumbangan dukacita berupa Santunan kepada almarhumah.
Kenangan Ibu Lusi yang Tak Akan Hilang
Seorang teman Dasa Wisma Lagur  yang hadir, Bu Lia, menceritakan sebuah kisah kecil. "Ingat waktu kita tanam bambu di sepanjang Kali Wae Mese bersama? Ibu Lusi malah sibuk memetik jambu sambil bilang, 'Kalau bambu tidak tumbuh, setidaknya kita bisa makan jambu sampai puas!'" Semua yang hadir tertawa kecil, mengenang sifatnya yang selalu punya cara melihat sisi ceria dalam hidup.
Kepala Desa Bulan menambahkan, "Ibu Lusi adalah pilar komunitas. Meski kecil tubuhnya, semangatnya lebih besar dari siapa pun. Ketika pertandingan bola Volley dalam rangka Hut Desa Bulan ke 52 tahun 2024, dasa wisma lagur menjadi tim yang paling heboh meskipun kalah  karena dia yang teriak-teriak memberikan semangat kepada pemain dan peononton!"
Langkah Terakhir yang Menginspirasi
Ketika petugas koperasi berpamitan, salah satu dari mereka berbisik, "Rasanya seperti kehilangan pelawak, motivator, sekaligus seorang ibu."
Ahli waris Ibu Lusi menyambut mereka dengan pelukan hangat. "Terima kasih sudah peduli dengan mama kami. Santunan ini bukan hanya meringankan beban, tapi juga menunjukkan betapa banyaknya orang yang mencintai beliau," kata salah satu anaknya.
Kepergian Ibu Lusi memang meninggalkan duka yang mendalam. Namun, seperti yang sering ia katakan, "Kita boleh sedih, tapi jangan lupa hidup itu singkat. Kalau bisa tertawa hari ini, kenapa ditunda untuk besok?"
Dusun Lagur kehilangan tawa Ibu Lusi, tapi kenangannya akan terus menjadi obor kecil yang menghangatkan hati setiap orang yang pernah mengenalnya.
Catatan Humor di Akhir:
Seorang tetangga, sambil tertawa kecil, berkomentar, "Mungkin sekarang Tuhan lagi tersenyum lebih lebar di surga. Kalau Ibu Lusi sudah sampai sana, pasti surga jadi lebih seru!"
Begitulah Ibu Lusi. Perginya memang meninggalkan lubang di hati, tapi juga meninggalkan tawa yang tak akan pernah hilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI