Mohon tunggu...
Just Pensies
Just Pensies Mohon Tunggu... Swasta -

apa iya ini aku???

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[KCV] Mas Jimmy, Apakah Karena Jilbabku?

15 Februari 2012   14:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:36 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13293143201333441104

(Just Pensies dan Pieter Dolle, No. 170)

[caption id="attachment_171331" align="aligncenter" width="300" caption="http://inisajamo.multiply.com"][/caption]

“Bapak tidak melarang kamu bergaul dengan dia. Tapi, pikirkanlah lebih matang jika ingin membangun rumah tangga dengannya. Bapak yakin kamu sudah kenal dia dan tahu latar belakang keluarganya. Kenapa kamu masih meneruskan niatmu? Apa kamu tidak kasihan dengan Bapak dan Ibu yang sudah mendidikmu dari kecil untuk menjadi wanita solehah? Semata-mata karena kamu adalah titipan Allah pada kami. Kamu itu berjilbab. Apa gak malu? Bapak sama Ibu pengen kamu membangun keluarga yang sakinahmawadah, dan warohmah dengan pria yang soleh juga, taat dan paham tentang agama.”

Mendengar uraian panjang lebar Bapak, batinku meronta. Pikiran berpencaran tak karuan. Sebenarnya aku ingin membantah kata-kata Bapak. Namun, suaraku tercekat sehingga tersisa bisu. Air mata masih membanjir di pelupuk mata, mengalir ke pipi. Dadaku sesak. Nyaris tak mampu bernafas. Jilbabku ikut basah karena keringat dingin. Sedih, bingung, gelisah, dan marah menyergapku silih berganti. Perasaan saling membaur dalam diriku. Kata-kata Bapak begitu mengena dan tajam. Apalagi, aku melihat Ibu hanya duduk diam di bangku tua, di sudut meja makan. Tidak ada pembelaan atau sanggahan untuk anak gadisnya yang beranjak dewasa. Tidak ada nada setuju pula dari Ibu. Aku hanya berdiri, mengusap pelan air mataku, dan diam.

Bapak tidak mengerti apa yang hidup dalam hatiku. Beliau hanya tahu Mas Jimmy sebatas dua jam, ketika Mas Jimmy kuajak ke rumah dan kuperkenalkan dengan keluargaku. Bapak bertanya banyak hal tentang diri dan keluarganya. Awalnya, senyum hangat dan ramah Bapak tersungging tak henti. Sampai akhirnya, beliau mengetahui Mas Jimmy beragama Katolik. Bapak langsung terdiam. Senyum ditarik dari bibir. Kelihatan sekali bahwa Bapak tidak berkenan. Wajahnya yang berubah kusut tidak dapat disembunyikan cepat. Beliau langsung masuk ke dalam, pura-pura menonton televisi di ruang tengah, dan meninggalkan kami di ruang tamu. Pada detik itu, aku segera menangkap jelas ketidaksetujuan Bapak.

“Bapakmu kenapa tuh Sa?” tanya Mas Jimmy setelah Bapak masuk ke ruang keluarga.

“Hmm...hnggmm...mungkin lelah mas...perlu istirahat...” jawabku terbata-bata menanggapi pertanyaan Mas Jimmy.

Aku merasa kesal juga dengan tingkah Bapak. Padahal aku sudah berusaha mengajak Mas Jimmy ke rumah untuk mengenalkannya pada keluarga. Namun, tanggapan Bapak terlalu buruk. Melihat sikap Bapak, ibu hanya diam dan menatap dalam kearahku.

“Fyuh...” aku menghela napas panjang. Posisi diriku ini memang tidak mudah. Cinta datang begitu saja tanpa kuminta dan pergulatan menyertai di belakangnya.

“Raisa...aku pamit pulang dulu ya. Kapan-kapan aku akan main lagi ke sini. Mana Bapak dan Ibumu? Aku mau pamitan juga...” kata Jimmy halus ketika mau beranjak pulang.

“Tunggu sebentar ya, Mas. Aku panggilin Bapak dulu.” Balasku sambil melangkah masuk ke dalam rumah.

“Pak...Bu...Mas Jimmy mau pamit pulang tuh...” seruku pada kedua orang tuaku.

“Ya...silahkan saja kalau mau pulang...ada baiknya tidak perlu ke sini lagi!” jawab bapak dengan ketus dan nada tinggi.

“Iya, tunggu sebentar Sa, ibu ke depan...” teduh jawaban ibuku dari dapur.

“Ayolah Pak, masak tamu mau pamit dibiarkan begitu saja sih...kan ga’ sopan, Pak...” aku mencoba merayu bapak pelan-pelan.

“Oh...kamu sekarang malah mengajari Bapak sopan santun dengan tamu, begitu ya...kalau mau pulang ya biarkan pulang, kalau mau pergi ya biarkan pergi...yang penting anak Bapak tetap tinggal di rumah.” Kata-kata bapak terasa amat keras dan penuh emosi.

“Ayo...ayo...Sa...kita ke depan...biar pamitan sama ibu saja ndak masalah.” Sambil memegang pundakku, ibu mengajakku ke teras rumah.

Rasanya ingin tumpah perasaan sedihku saat itu juga. Namun, aku masih bisa menahan diri karena Mas Jimmy belum pulang. Aku tidak ingin, dia melihat kesedihan di wajahku. Di teras, ibu bercakap-cakap sebentar dengan Mas Jimmy.

“Bu...saya pamit pulang dulu ya! Eh...bapak mana, Bu?” tanya Mas Jimmy.

“Ya...ngger, hati-hati kalau naik kendaraan di jalan ya. Pelan-pelan saja, ndak usah ngebut ya. Oh, bapak sedang istirahat di dalam, kecapaian mungkin...” balas ibu disertai dengan kalem dan merdu.

“Ya udah Bu, salam dan pamit saya untuk bapak ya. Sa,...balik dulu ya...” Lalu Mas Jimmy berlalu pergi.

Aku memilih duduk di beranda depan rumah, melihat kendaraan Mas Jimmy yang berlalu menjauh. Aku menutupi mulut dengan ujung jilbab, menahan isak. Pikiranku melayang-layang merenungkan sikap bapak yang begitu tidak setuju dengan hubunganku. Memang, bapak memiliki latar belakang keluarga muslim yang begitu kuat. Bapak dan enam saudaranya adalah lulusan pesantren di Jawa Timur. Pengetahuan agama bapak patut diakui. Apalagi, warga di kampung Rumpak ini menghargai dan menghormati bapak. Seringkali mereka mengundang bapak untuk memberi ceramah atau dakwah ketika ada pengajian atau kegiatan lingkungan. Mereka memandang bapak sebagai tokoh masyarakat yang patut diteladan dan jadi panutan. Keadaan ini kadang membuatku merasa tidak nyaman. Apalagi sekarang aku jatuh cinta pada seorang lelaki non-muslim. Namun, sekali lagi, semua berawal tanpa kusengaja. Semua berlangsung cepat begitu saja.  Cinta menyelimutiku tanpa kenal posisi, waktu, atau latar belakang keluarga.

sembilan bulan yang lalu...

Aku mengenal Mas Jimmy dalam sebuah kegiatan bersama. Saat itu, Mas Jimmy baru saja keluar dari pendidikan calon pastor. Dulu dia tinggal di sebuah asrama yang disebut seminari. Tempat persemaian benih panggilan imamat, katanya. Sedangkan aku adalah mahasiswa Ilmu Perbandingan Agama di sebuah universitas kotaku. Kami bertemu di sebuah acara forum komunikasi umat beriman. Mas Jimmy menjadi salah satu pembicara. Sebagai peserta, aku kagum akan argumentasinya mengenai Sejarah Hubungan Islam-Kristen.

Di akhir acara, aku menemuinya untuk berkenalan dan berdiskusi sejenak.

“Mas Jimmy kuliah di mana? Kok sepertinya menguasai bahan yang tadidisampaikan.”, tanyaku ketika kami beriringan menuju tempat parkir.

“Hehehehe...masa sih, Raisa?! Aku kuliah di Fakultas Teologi. Kami juga memperlajari agama-agama lain. Salah satunya ya...mengenai Hubungan Islam-Kristen tadi. Aku juga banyak menghubungi tokoh masing-masing bidang dan agama kok. Makanya sedikit meyakinkan. Hahahaha....”, tawanya renyah.

Sejak itu, kami sering berkomunikasi. Kami berdiskusi bersama dan saling mengenal pribadi masing-masing. Aku semakin yakin bahwa pengetahuannya tentang agama tak diragukan. Hingga, dia menyatakan perasaan cintanya padaku dan aku menyambutnya hangat. Kami berpacaran hingga kini.

Sembilan bulan telah berjalan. Kami dapat melalui hari-hari bersama. Matahari berganti bulan. Daun-daun menguning dan berguguran. Berganti tunas-tunas muda. Angin semi mengalun indah. Jilbabku berkibar, seolah menggambarkan aliran kebersamaan kami. Senyum merekah mengiringi langkah-langkah kami. Janji setia terucap sebagai ikatan manis. Semua terasa dapat tertanggungkan.

Hingga tibalah hari ini. Ternyata, cobaan itu datang juga. Aku tidak tahu harus bicara apa. Bapak tidak mengerti apa yang hidup dalam hatiku. Beliau hanya tahu Mas Jimmy sebatas dua jam, ketika Mas Jimmy kuajak ke rumah dan kuperkenalkan dengan keluargaku.Tangisku belum reda meskipun ibu sudah berkali-kali mengusap punggungku dan memberikan nasehat yang baik-baik. Jilbabku terasa berat. Ujungnya basah oleh air mata dan keringat yang mengalir tak henti di wajahku. Relasi kami terasa sia-sia karena sikap Bapak, sesepuh kampung Rumpak lulusan pesantren Jawa Timur yang fasih dalam ilmu agama.

Ya Allah, Ya Rabb...karena jilbabku kah???

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Cinta Fiksi dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Kolaborasi Cerpen Valentine

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun