Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengenal DKPP dan Perannya Selama Sengketa Pilpres

23 Agustus 2014   18:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:46 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14087693862111777620

[caption id="attachment_339391" align="alignleft" width="620" caption="Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP) terkait pelanggaran Pilpres (Foto : Kompas.com)"][/caption]

Rangkaian Pilpres memang telah usai. Mahkamah Konsitusi juga sudah menyampaikan putusannya terkait gugatan sengketa hasil Pilpres yang ditengarai banyak dibumbui kecurangan. Selain MK, lembaga lain yang barangkali juga punya peran tidak langsung mengevaluasi penyelenggaraan Pilpres namun kurang mendapat sorotan adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP yang diketuai oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH yang juga merupakan mantan Ketua MK. Esensi tugas DKPP adalah sebagai pengendali etika penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum.

Dikutip dari makalah Jimly Asshiddiqie berjudul “Pengenalan Tentang DKPP Untuk Penegak Hukum”, Berdasarkan ketentuan UU tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPPbukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum” (dengan huruf kecil), tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan Umum” (dengan huruf Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).

Tugas dan kewenangan DKPP berkaitandengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslutingkatpusat dan Bawaslu tingkat provinsi.Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para petugas yang bekerja secara tetap atau pun yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc.

Dalam melaksanakan tugasnya, DKPP mendapat laporan dari Bawaslu ataupun laporan dari masyarakat, khususnya pihak-pihak yang meras dirugikan dalam penyelenggaraan pemilu legislatif maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Undang-undang, putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak tersedia lagi upaya hukum lain atauupaya hukum yang lebih lanjut sesudah berlakunya putusan DKPP sejak ditetapkan dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka DKPP terbuka untuk umum. Mengikat artinya putusan itu langsung mengikat dan bersifat memaksa sehingga semua lembaga penyelenggara kekuasaan negara dan termasuk badan-badan peradilan terikat dan wajib melaksanakan putusan DKPP itu sebagaimana mestinya. Pelaksanaan atau eksekusi putusan DKPP itu wajib ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh KPU, Bawaslu, atau pun oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait.

Misalnya, putusan DKPP yang memberhentikan anggota KPU Provinsi, maka wajib ditindaklanjuti olehKPU Pusat dengan menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian yang bersangkutan dari kedudukannya sebagai anggota KPU Provinsi yang bersangkutan. Keputusan KPU Pusat itu hanya bersifat administratif, karena pemberhentian tersebut berlaku sejak putusan DKPP dibacakan dalam sidang pleno DKPP yang terbuka untuk umum, tulis Jimly Asshiddiqie di dalam makalahnya.

Terkait pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DKPP menerima dan memroses sebanyak tujuh laporan dugaan pelanggaran. Diantara putusan DKPP terkait laporan seputar Pilpres seperti diwartakan oleh Kompas.com, adalah memberhentikan tetap 9 penyelenggara pemilu. Mereka terbukti melanggar kode etik. Kesembilan penyelenggara pemilu tersebut adalah Ketua KPU Kabupaten Dogiyai Didimus Dogomo, beserta empat anggota KPU Dogiyai, yakni Yohanes Iyai, Ev Emanuel Keiya, Yulianus Agapa dan Palfianus Kegau. Kemudian, Ketua KPU Serang A. Lutfi Nuriman dan Anggota KPU Serang Adnan Hamsih. Lalu ada dua orang dari Panitia Pengawas Pemilu Kota Banyuwangi, yaitu Rorry Desrino Purnama dan Totok Hariyanto yang juga terbukti melanggar kode etik dan diputuskan mendapat pemberhentian tetap.

Bawaslu Provinsi Papua menemukan dugaan pelanggaran saat rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi, yakni KPU Dogiyai tidak menggunakan formulir DB-1 untuk Pilpres. Ketua dan anggota KPU Kabupaten Dogiyai tidak menindaklanjuti rekomendasi Panwaslu Kabupaten Dogiyai dan menggunakan formulir DB-1 untuk pileg, bukan formulir DB-1 pilpres.

Selain 9 orang penyelenggara pemilu yang diberhentikan, terdapat 30 orang penyelenggara pemilu yang mendapat peringatan. Diantaranya 25 orang dari KPU Provinsi DKI Jakarta yang tidak menjalankan sepenuhnya pemilihan suara ulang di 13 TPS. Sementara kroscek dokumen DPKTb sebanyak 5.802 RPS yang direkomendasikan oleh Bawaslu DKI Jakarta dan evaluasi terhadap petugas KPPS dan PPS tidak ditindaklanjuti dengan serius dan tidak digubris oleh KPU Provinsi DKI Jakarta.

Keberadaan dan ketegasan DKPP yang tanpa kompromi dan ba bi bu dalam dalam menegakkan etika penyelenggara pemilu patut diapresiasi. Walau tidak mendapat perhatian sebesar MK, namun DKPP telah turut berperan besar mengawal pesta demokrasi tetap berada pada track yang benar. Kita pun berharap, pada penyelenggaraan pemilu di tingkat daerah (Pilkada) DKPP terus melaksanakan peran. Sebab selama ini, di berbagai Pilkada banyak sarat kecurangan dan pelanggaran sehingga 90 persen Pilkada di Indonesia berakhir dengan sengketa di MK dan membuka celah korupsi Hakim MK sebagaimana dibuktikan oleh kasus bekas Ketua MK, Akil Mochtar yang kini mendekam di penjara.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun