Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

PLN dan Mimpi Industri 4.0 di Kegelapan

7 Agustus 2019   08:33 Diperbarui: 7 Agustus 2019   08:42 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sinyal seluler menghilang, listrik padam. Dalam situasi itu, sebagian orang bingung. Entah harus melakukan apa. Mati gaya. Begitu istilahnya.

 Nah, peristiwa tersebut baru saja terjadi pada Minggu 4 Juli 2019. Pengguna gawai meradang bukan kepalang. Yang beruntung tak sekeadaan, serempak melontarkan cuitan. Media sosial bising. #MatiLampu, #ListrikPadam dan frase serupa jadi trending pembicaraan.
 
Di era super connected, internet dan daya baterai memang telah menjelma jadi kebutuhan. Di segmen non physical needs mungkin ditempatkan. Menurut teori kebutuhan Abraham Maslow yang dijadiukan acuan. Dus, struktur basic needs yang kita pelajari di bangku sekolah, berubah mengejar relevansi dengan zaman. Itu fakta dan kenyataan.
 
Sebagai manusia kota, coba saja puasa gawai dan listrik yang selama ini bikin ketergantungan. Tak perlu seharian. Dalam beberapa jam, anda akan menggelepar mati gaya karena merasa terisolasi dari 'pergaulan'.
 
Manusia masa kini memang telah candu pada informasi yang lalu lalang di genggaman. Sehingga bahkan muncul istilah fear of missing out (FOMO) dalam ilmu psikologi modern. Takut kudet alias kurang update. Begitu istilah dalam bahasa keseharian.
 
Maka ketika blackout menimpa Jakarta, Jawa Barat dan Banten pada Minggu (4/7), hanya hitungan detik teriakan menggema di sosial media. Ekspresi dilontarkan dalam aneka bentuk komunikasi multimedia. Termasuk dengan cara jenaka. Bikin tagar #TerimaKasihPLN misalnya. Sebagai sindiran dan luapan kecewa.
 
Bicara kebutuhan energi di masa kini, tak lagi soal suplai untuk gawai sebagai perangkat komunikasi. Dari bangun tidur, saat tidur, hingga akan tidur lagi, manusia modern mengandalkan listrik. Memasak di dapur menggunakan kompor listrik, mobilitas dengan kereta listrik, hingga untuk keperluan transaksi sehari-hari.
 
Secara teoritis, listrik atau energi adalah variabel ekonomi yang amat penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam situasi tertentu, listrik bahkan menjadi faktor konstan yang punya daya katrol terhadap kehidupan rumah tangga sebagai potret ekonomi terkecil suatu bangsa.
 
Hal itu terbukti setelah diuji empirik. Konsumsi listrik rumah tangga sangat peka terhadap tingkat pendapatan di segmen masyarakat berpendapatan tinggi. 

Demikian konklusi dari riset yang dilakukan oleh Xiaoping He and David Reiner (2014). Dua peneliti dari University of Cambridge yang meriset kebutuhan dan konsumsi listrik masyarakat China yang tengah mengarungi revolusi ekonomi.
 
Sorotan pemadaman listrik di tengah persiapan pemerintah menyongsong era industri 4.0 merupakan sebuah tanda waspada. Presiden hingga jajaran menteri bisa saja fasih bicara industri berbasis mesin (machine learning) hingga kecerdasan buatan (artificial intelligent). Tapi jangan lupa, tanpa suplai listrik memadai, mimpi-mimpi itu berubah jadi hayalan semata.
 
Pemerintah sebetulnya sudah menyiapkan langkah-langkah. Bahkan jauh melampaui di titik mana kita berada. Misalnya mega proyek 35.000 MW yang ditarget tuntas tahun 2019 pada mulanya. Namun cuma bisa terealisir beroperasi 8 persen per Januari 2019, menurut dokumen sahih Kementrian ESDM. Data dari pemerintah. Target dan pencapaian terlampau jomplang rupanya.
 
Target tersebut memang disiapkan paralel dengan asa pertumbuhan ekonomi yang juga tidak sesuai espektasi. Kendati demikian, kebutuhan energi yang besar tetap saja tidak bisa diajak berkompromi. Terutama karena terseret oleh gelombang digitalisasi dan revolusi ekonomi.
 
Sebagai ilustrasi, lima tahun lalu di pelosok Sulawesi, kebutuhan listrik hingga internet belum begitu tinggi. Listrik paling banter digunakan di malam hari. Sebagai penerangan saja. Tidak lebih.
 
Seiring penetrasi teknologi informasi, ketergantungan pada listrik kian sulit diajak kompromi. Untuk menyalakan televisi, hingga mengisi daya di gawai nan canggih. Termasuk untuk memasak nasi yang dulu masih pakai kompor minyak tanah atau paling banter kompor gas elpiji.
 
Peralihan gaya hidup di masyarakat yang kini serba butuh energi, adalah sebuah pertanda kemajuan. Selain karena unsur praktikaliti, juga lebih ramah lingkungan. Ketimbang misalnya memasak pakai minyak tanah atau kayu bakar, menggunakan penanak elektrik jauh lebih mudah.
 
Selain perubahan gaya hidup di level masyarakat bawah, deru revolusi industri membutuhkan suplai energi yang jauh lebih besar. Seperti disinggung di muka, bahwa struktur ekonomi kita memasuki fase yang menempatkan pasokan listrik sebagai variabel ekonomi. Mulai dari skala kecil seperti transaksi di ecommerce misalnya, hingga aktivitas perbankan dan level industri di atasnya.
 
Apalagi, kecendrungan dunia memang tengah bergeser dari energi berbasis fosil ke energi listrik ramah lingkungan (renewable energy). Bahkan industri otomotif modern pun yang dulu hanya mengenal bahan bakar minyak, kini semakin mantap beralih energi listrik.
 
Populasi mobil listrik, diperkirakan melompat tinggi dalam satu dekade kedepan. International Energy Agency (IEA) mencatat ada 3,1 juta populasi mobil listrik. Diramalkan bakal ada 220 juta mobil listrik yang beredar di jalanan pada tahun 2030. Pemerintah Indonesia termasuk yang saat ini sedang kasak kusuk menyiapkan regulasi mobil listrik karena permintaan industri dan pasar yang tak dapat lagi dihindari.
 
Persoalan suplai energi hingga stasiun pengisian daya memang selalu mengemuka dalam pembahasan soal mobil ramah lingkungan ini. Apalagi rasio kepemilikan mobil yang masih sangat rendah, 1000 : 87. Artinya pasar otomotif berbasis elektrik yang didorong pemerintah bakal mengakibatkan ledakan permintaan listrik.
 
Sebagai ilustrasi, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi, mesti ditopang tambahan daya listrik 1.400MW untuk spending dan cadangan. 

Dapat dibayangkan, besarnya kebutuhan listrik di masa depan. Ketika internet of things yang jadi arah revolusi teknologi hanya dapat beroperasi dengan sokongan listrik. Kalau masih dihantui pemadaman saat utulisasi elektrik sudah mengusai semua sektor, saya kira bicara revolusi industri 4.0 bak pepesan kosong.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun