Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Platform Politik Lingkungan Hidup Mengamputasi Kemiskinan

26 Desember 2017   12:00 Diperbarui: 26 Desember 2017   12:12 1469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di sela-sela arena konferensi aktivis Walhi dan perwakilan masyarakat dari daerah menyuarakan penolakan terhadap tambang laut di Belitong (Dok. Panpel)

Desa merupakan kantong-kantong kemiskinan. Per Maret 2017, BPS mencatat sebanyak 22,77 juta orang miskin di Indonesia ada di desa. Kenyataan tersebut menempatkan masyarakat miskin di desa lebih besar dari perkotaan. Persentase kemiskinan di desa juga jauh di atas angka kemiskinan nasional di level 10,64 persen.

Tak heran bila kemudian Menteri Keuangan, Sri Mulyani berkali-kali menyoroti efektivitas penggunaan dana desa dalam memangkas kemiskinan. Menkeu mengakui, anggaran dana desa yang dimulai sejak tiga tahun lalu belum optimal dalam mengentaskan kemsikinan.

Selama tiga tahun sejak dianggarkan pada APBN 2015, sebesar Rp 127,74 triliun uang negara digelontorkan ke pelosok melalui dana desa. Kendati demikian, angka kemsikinan di desa tidak berkurang seperti diharapkan. Indeks bahkan kemiskinan kian dalam.

Diantara penyebab kemiskinan di desa adalah penguasaan lahan pertanian yang semakin terkikis oleh industrialisasi. Bayangkan, sebanyak 55,33 persen petani di desa hanya menggarap lahan seluas 0,25 hektar. 

Jika lahan secuil itu ditanami secara musiman, dua sampai tiga kali panen dalam setahun, tentu saja tidak cukup menghidupi keluarga yang beranggotakan empat orang.

Untuk menyelesaikan problem kemiskinan di pedesaan ini, perlu pendekatan keadilan ekologis. Masyarakat desa, saat ini kian tersisih oleh industrialisasi. 

Lahan-lahan pertanian dikonversi menjadi wilayah industri. Lahan-lahan produktif untuk memproduksi beras dan aneka palawija, disulap jadi pabrik-pabrik.

Di sela-sela arena konferensi aktivis Walhi dan perwakilan masyarakat dari daerah menyuarakan penolakan terhadap tambang laut di Belitong (Dok. Panpel)
Di sela-sela arena konferensi aktivis Walhi dan perwakilan masyarakat dari daerah menyuarakan penolakan terhadap tambang laut di Belitong (Dok. Panpel)
Dampaknya, lahan pertanian kian menipis, dan ancaman berkurangnya suplai basis produksi pangan mengintai. Petani di kampung-kampung juga kehilangan sumber mata pencaharian sehingga harus kerja serabutan.

Kenyataan pahit kian terasa karena minat generasi muda untuk bertani semakin merosot. Generasi muda tentu berupaya rasional melihat prospek pertanian ketika harus berhadapan dengan gurita kapitalisme yang menguasai sumber daya di desa-desa.

Salah satu amanat pendekatan keadilan ekologis adalah menegakkan aturan yang menjadi barrier penyerobotan lahan pertanian oleh industri yang kerap menimbulkan konflik agraria hingga menelan korban jiwa. Untuk itu, perlu komitmen pemerintah menegakkan aturan.

Namun sayang, kesadaran politik lingkungan hidup yang belum jadi acuan dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Hal ini yang kemudian mendasari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggelar Temu Rakyat dan Konferensi Lingkungan Hidup. Dari forum rembuk nasional tersebut lahirlah Platform Politik Lingkungan Hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun