Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dokumentasi Pribadi: Riset tentang Poso Awal 1950-an

20 April 2024   16:45 Diperbarui: 20 April 2024   16:52 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tantangan besar ialah mereka terikat oleh belenggu ijon sejak masa Hindia Belanda. Ketika coprafonds diubah, seluruh beleidnya oleh pemerintah Indonesia, kebaikannya tidak langsung menyentuh kehidupan rakyat, tetapi tengkulak asing.  Apalagi para tengkulak menyatakan  menyatakan dirinya nasional hingga sulit dilarang.

Demikian pula halnya dengan perdagangan hasil hutan, menurut keterangan kepala jawatan kehutanan daerah masa itu bernama  Sadibio dari kayu saja para pedagang mendapat keuntungan 100%.  Padahal yang mengerjakannya dan mengeluarkan dari hutan adalah penduduk setempat.

Kayu hitam  menurut harga  setempat berkisar Rp1.000.  Namun di Makassar oleh internatio dan Jacobson Van Der Berg dibeli Rp1.200. Padahal para pedagang di Poso membayar kepada penduduk yang menebang antara Rp450 hingga Rp650.  Bisa dihitung berapa keuntungan yang akan diraih pedagang dari komoditas ini.

Para pedagang yang juga tengkulak ini digambarkan sabar dan gigih.  Mereka menunggu   petani selesa mengerjakan sawah dan ladang.   Kemudian para pedagang mengajak mereka ke hutan.  Kepada para petani diberikan bantuan perbekalan selama tinggal dan keluarganya.  Bila selesai uang kelebihannya diberikan setelah dipotong perbekalan. Namun umumnya penduduk menerima saja, karena jumlah uang mereka tampaknya besar menurut mereka.

Pemerintah berusaha melawan dengan mendirikan koperasi, namun kekurangan pengalaman, keahlian dan modal. Para tengkulak bisa lebih dekat pada petani karena gampang mendapat pertolongan tanpa banyak surat.

Bgeitu hebatnya ijon menjerat petani, kebutuhan seperti minyak tanah, korek api dan sabun bisa diberikan. Boleh dibilang kebutuhan penduduk terpenuhi oleh mereka.


Sulawesi pada awal 1950-an menurut buku Propinsi Sulawesi, Kementerian Penerangan 1953 dihadapkan dengan masalah banyaknya jumlah rakyat yang masih buta haruf dan buta pengetahuan.

Pada 1952 jumlah penduduk di seluruh Sulawesi yang buta huruf sebanyak 3.649.589 orang.  Dari jumlah itu Poso mencatat 168.302 warganya yang masih buta huruf dan yang bisa membaca hanya 42.075 jiwa.

Demikian juga daerah lain di Sulawesi Tengah angka buta huruf masih tinggi. Pada 1952 jumlah penduduk di seluruh Sulawesi yang buta huruf sebanyak 3.649.589 orang.

Untuk mengurangi jumlah yang cukup besar pemerintah mengadakan kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Di Kabupaten Poso, banyaknya kursus mencapai 348 dengan 381 guru. Sementara  jumlah pesertanya mencapai  14.509 orang di mana 7.657 adalah perempuan pada semester kedua 1952.  Jumlah yang lulus ujian PBH pada enam bulan pertama 343 orang.

Capaian ini masih di bawah tetangganya Donggala dengan 562 kursus dan550 guru.  Jumlah pelajarnya 22.076 dengan 16.723 peserta perempuan.  Yang telah berhasil lulus 1.791.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun