Kami juga melewati rumah berarsitektur Melayu terapung hingga puskesmas terapung sebelum tiba di dermaga Kampung Kapitan. Kami memasuki gang sempit sejauh 100 meter dengan kiri kanan rumah berarsitektur Melayu dari kayu.
Tujuan kami adalah rumah Kapitan Tjoa semua rumah panggung hibrida antara Budaya Melayu dan Tiongkok. Denahnya serupa dengan pola rumah berdinding keliling khas warga Tionghoa, sementara atap dan bahan bangunan tipe lokal Melayu. Hiasan dan ornament interior rumah jelas perpaduan dua budaya ini.
Menurut Johannes Widodo dalam artikelnya "Morfologi dan Arsitektur Komuniats diaspora Cina di Indonesia"dalam buku Masa lalu dan Masa Kini dalam Arsitektur Indonesia yang disunting Van Leur, 2009 unsur Tionghoanya adalah dari Tiongkok Selatan.
Saya melihat bangunan ini memiliki area terbuka di bagian tengahnya yang berguna untuk jalur masuk udara dan cahaya matahari.Di bagian dalamnya, ada meja altar yang berguna untuk beribadah.
Selain itu terdapat foto-foto keluarga Tjoa dan suasana sepertinya Sungai Musi masa lalu. Tinggi panggung sekitar 2 meter dan tinggi trumahnya sendiri dari lantai kayu lebih dari 3 meter. Tampaknya juga ada unsur Rumah Limas.
Keterangan di dalam rumah menunjukkan bahwa rumah ini dibangun Tjoa Haihim pada 1844. Diperkirakan Tjoa yang pertama datang dari era Diansti Ming dari Tiongkok sekitar abad ke 15 bersamaan dengan era Cheng Ho.
Rombongan kami disambut oleh Mulyadi keturunan ke 13 dari Tjoa. Sayang banyak bangunan yang bernilai arsitektur tinggi terbengkalai dalam areal ini yang lebih mirip sisa Pecinan.
Benteng Kuto Besak
Satu bangunan bersejarah yang jadi ikon Kota Palembang dan Sungai Musi adalah Benteng Kuto Besak. Â Benteng ini, mungkin hanya sedikit bangunan benteng yang dibangun bukan oleh penjajah Belanda.
Benteng yang berlokasi  tak jauh dari Jembatan Ampera dibangun oleh Sultan Badaruddin pertama (1724-1758), kemudian dilanjutkan oleh Mahmud Badaruddin II (1776-1803). Benteng ini dibangun selama 17 tahun, yaitu sejak 1780 hingga selesai pada 1797.