Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pejabat Desa Korupsi Ingin Jadi "Sultan", Dipicu Media?

10 Desember 2021   11:06 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:22 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://www.lapd-id.com/berita/diduga-korupsi-dana-desa-16-kades-di-pandeglang-dipanggil-kejaksaan/

Saya tidak heran kalau  fenomena korupsi menjalar ke desa-desa, walaupun seperti kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, walau jumlahnya kecil.   Korupsi memang bukan budaya tetapi tindak kejahatan, seperti yang dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam jumpa pers, 6 Desember 2021.

Namun korupsi terkait dengan apa yang disebut Soemarsaid Moertono (1985)yaitu "kultus kemegahan".  Raja-raja di Jawa untuk meningkatkan kewibawaannya menunjukan keunggulan spiritual dan keunggulan material atau kesempurnaan batin dan kelimpahan harta.

Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar menuturkan guru korupsi di Indonesia sebetulnya adalah penjajah Belanda. Menurut dia, apa yang terjadi di zaman Belanda dahulu itu mengajarkan Indonesia untuk melakukan praktik korupsi.

Belanda itu untuk mendapatkan konsensi, mendapatkan tanah, itu memberikan upeti kepada raja-raja. Praktik tersebut kemudian diikuti oleh orang-orang Indonesia pascamerdeka.

Sebetulnya dengan adanya reformasi 1998 dengan salah satu agendanya pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme seharusnya perilaku seperti itu bisa dikikis, tetapi pertanyaannya semakin menjadi, bahkan menjalar sampai ke desa-desa? 

Karena para pejabat hingga anggota parlemen  masih ada beranggapan bahwa untuk tampil berwibawa di mata masyarakatnya tetap sama: kultus kemegahan.

Saya setuju dengan apa yang diucapkan Jurnalis senior sekaligus CEO rumah produksi Watchdog, Dandhy Dwi Laksono dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di Museum Nasional pada Minggu, 14 Desember 2014 dengan tajuk "Demokrasi Tanpa Korupsi".

Dandi mengatakan bahwa sinetron yang kini ramai ditayangkan di stasiun televisi bisa memicu publik melakukan tindak korupsi. Menurut pria yang juga berprofesi sebagai sutradara film dokumenter itu, sinetron kerap hanya menampilkan kemewahan dan gaya hidup konsumtif. 

Sebagian besar sinetron bahkan film layar lebar masih menampilkan tokoh utamanya naik mobil mewah, punya rumah gedung, pelesir ke luar negeri atau pun dalam negeri premium seperti Bali, Lombok, Labuan Bajo, tanpa banyak penjelasan prosesnya mengapa bisa menjadi kaya. Bahkan remaja pun "diajarkan" ke sekolah naik mobil mewah.

Saya menambahkan bukan hanya sinetron, tetapi infotainment hingga saat ini kerap menampilkan gaya hidup selebritis dengan mobil mewah,  rumah seperti istana, makan di restoran premium, berlibur ke luar negeri, memakai tas branded yang harganya puluhan juta ikut memicu publik untuk kaya dengan cepat, yaitu korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun