Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Ekonomi Pesantren dan Etos Kerja Wirausahawan Santri

28 Oktober 2021   23:47 Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:00 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Wirausahawan Santri. (sumber: SHUTTERSTOCK/Odua Images via kompas.com)

Akhir-akhir ini sejumlah kepala daerah menjadikan ekonomi berbasis pesantren sebagai salah satu progamnya. Di antaranya yang paling gencar, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat meluncurkan program "One Pesantren One Product" (OPOP) tahun 2018 lalu.

Program ini dijalankan di tengah  pandemi Covid-19 hingga butuh perjuangan keras. Meskipun demikian  Setelah dua tahun berjalan Gubernur Jabar Ridwan Kamil melaporkan sekitar 1.500 pesantren mengikuti program ini. 

Sementara itu Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (KUK) Provinsi Jabar Kusmana Hartadji melaporkan, total transaksi dalam temu bisnis OPOP senilai Rp21 miliar.

Kang Emil, demikian sapaannya menargetkan sekira lima pesantren hingga akhir masa jabatannya mengakses program OPOP.  Target ini cukup ambisius karena  Jawa Barat memiliki jumlah paling banyak, yakni 8.343 pondok pesantren dan jumlah yang terbesar di Indonesia dari 26.973 pondok pesantren yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menurut Kementerian Agama.

Pada September 2021 Pemprov Jabar mengumumkan, pada tahun ketiga program ini  sebanyak 1.000 pondok pesantren mendapatkan bantuan modal OPOP setelah lolos audisi tahap pertama. Artinya kalau dijumlahkan dan tidak ada aral melintang program ini mencapai 2.500 pesantren atau 50 persen dari target.

Di tingkat pusat sendiri, Kementerian Perindustrian berkomitmen terus melaksanakan proyek percontohan dalam program Santripreneur, termasuk untuk mewujudkan kemandirian industri nasional yang bebasis ekonomi syariah. Santripreneur adalah program pengembangan industri kecil dan menengah (IKM) di lingkungan pondok pesantren

Program Santripreneur yang digulirkan sejak tahun 2013 ini telah membina sebanyak 84 pondok pesantren di berbagai wilayah Indonesia, dengan melibatkan 10.149 santri. Jumlah santri di Indonesia yang cukup besar, yaitu tercatat hingga 4,3 juta santri.

"Jumlah merupakan aset potensial yang dapat mewujudkan kemandirian bangsa khususnya dalam membangun wirausaha," kata Plt. Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Reni Yanita di Jakarta, pada 24 September lalu.

Akar Sejarah

Catatatan saya jauh  sebelum adanya program ini  sudah ada pondok pesantren di Jawa Barat  yang menjalankan santripreneur. Pondol Pesantren Al-Ittifaq berdiri di tanah Ciwidey, Bandung, Jawa Barat adalah contoh yang baik.  Pesantren yang fokusnya dengan kegiatan pertanian atau agribisnis ini telah berdiri lebih dari 50 tahun.

Pimpinan Pesantren Al-Ittifaq, Dandan M Falah pada April lalu pernah mengatakan hasil agribisnis para santri dan pengasuh di pondok pesantren, banyak komoditas pertanian yang didapatkan, di antaranya sayuran dataran tinggi tomat, wortel, dan kentang, sayuran spesifik (kale, daun-daunan, pakcoy, dan jenis sayuran lainnya yang ada di restoran Chinese Food dengan total 120 komoditas. 

Terdapat juga produksi Jeruk Dekopon, Stroberi, Golden Berry. Di bawah pengelolaan koperasi di pesantren itu, mampu meraih omzet ratusan juta rupiah per bulan dan aset sekitar Rp49 miliar.

Kunjungan Menkop UKM di Pesantren Al Ittifaq | Foto: Rakyat Merdeka Online.
Kunjungan Menkop UKM di Pesantren Al Ittifaq | Foto: Rakyat Merdeka Online.

Semua sayuran yang didapatkan dari hasil agribisnis di jual ke pasar tradisional, supermarket maupun rumah sakit. 

Hasil dari bisnis agribisnis, bilang dia, akan digunakan untuk operasional pesantren, biaya kehidupan santri, dan sebagainya.  Bahkan terdapat santri yang tidak dipungut biaya sama sekali, baik kesehatan dan pendidikan mereka ditanggung oleh pesantren.

Lebih jauh sebelum itu kalau definisi santri diperluas menurut terminologi klasik yang diungkapkan Cliford Greetz maka santripreneur sudah lama ada. 

Greetz mengidetifikasikan santri sebagai dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur ritual-ritual pokok agama Islam, seperti salat lima kali sehari, salat Jumat, berpuasa selama Ramadan, dan menunaikan ibadah haji, juga dimanifestasikan dalam kompleks organisasi-organisasi sosial, amal dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi dan Nahdhatul Ulama.

Nilai-nilai bersifat antibirokratik, bebas dan egaliter. Varian santri diasosiasikan dengan pasar. Ini mengandung arti adanya analogi varian agama santri di Jawa dan semangat Protestanisme di Eropa menurut Max Weber.

Selain itu sudah ada beberapa penelitian ilmiah dari para sejarawan seperti Kutowidjojo, Christen Dobbin yang bisa dijadikan referensi, tentang para pengrajin batik, perak dan usaha lain di sejumlah kota di Jawa pada Hindia Belanda. Mereka punya etos kerja.

Sejarawan Kuntowidjojo misalnya menelaah bahwa sejak awal abad ke 20 terjadi kebangkitan borjuis pribumi di 102 daerah perkotaan di Jawa tempat 8,51% penduduk Jawa dan Madura tinggal. Kelas baru ini terdiri dari kaum pengusaha dan cendikiawan yang menguasai cakrawala kehidupan kota.

Mereka menggeser pengaruh kaum bangsawan dan pangreh praja yang disebut sebagai golongan priyayi-kecuali di Surakarta dan Yogyakarta. Sejarah mencatat kemunculan Sarekat Dagang Islam pada 1911 (ada sejarawan yang menyebut sejak 1905) didorong semangat kewirausahaan santri.

Saya sendiri pernah menemui dan wawancara dengan sejumlah mantan pedagang atau istrinya yang melanjutkan usaha sejak masa Hindia Belanda di Kota Malang pada Desember 1994 untuk suatu penelitian kecil.  

Usaha mereka bukan perajin batik seperti rekan-rekan mereka di Yogykarta dan Solo, tetapi lebih beragam mulai dari hotel, toko kelontong, toko kasur, perajin sepatu dan sebagainya. 

Sumber: jernih.co
Sumber: jernih.co

Mereka juga terlibat dalam kegiatan ormas Islam seperti Muhammadyah dan Nadathul Ulama sebagai aktivis.  Usaha mereka bertahan sejak 1910-an hingga setidaknya 1990-an. Hasil riset ini sudah saya tulis untuk Majalah Sinar 2 April 1994 dan di Kompasiana 

Etos Kerja Wirausahawan "Santri"

Pertanyaannya seperti etos kerja wirausahawan santri itu? Saya mewawancarai pegawai salah satu Yayasan Lembaga Islam di Jakarta Pusat Siti Rahmaniyah yang punya usaha kuliner masakan Jepang di rumahnya di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan pada 27 Oktober 2021 ini.

Perempuan yang juga berprofesi sebagai pembaca saritilawah ini mempunyai latar belakang pendidikan di pesantren selama 6 tahun setelah lulus SD langsung sekolah (MTS & MA) Di Pondok Pesantren Daarul uluum Bogor dan pendidikan sarjana Fakultas Komunikasi dan Dakwah dari UIN Syarif Hidyatullah  dan Magister Dakwah dan Pemikiran Islam dari Universitas Islam Jakarta.

Menurut perempuan kelahiran 1983 ini, pesnatren tempatnya mengenyam ilmu memiliki  koperasi atau biasa disebut dengan "makshob" / kantin santri. Di kantin ini, secara tidak langsung para santri sudah diajarkannya bagaimana cara melakukan usaha.

"Yang menjadi penjaga kantin sekaligus koperasi itu sendiri adalah santri juga. Dalam keseharian ketika menjaga makhsob itu sudah diajarkan bagaimana menjadi seorang pedagang yang baik, pedagang yang  berakhlak, jujur, sopan dan ramah dan etos kerja," tutur Siti.

Lanjut dia, etos kerja santri sebagai pengusaha sudah dimiliki secara dasar. Terkait tentang hal usaha/perniagaan ini, Siti  merujuk pada QS. Annisa ayat 29. Ada banyak pemahaman makna dan kesimpulan dari makna ayat ini.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."

Tutur Siti, dari ayat ini jelas bahwa Allah SWT memerintahkan kepada  hambanya yang beriman untuk selalu berbuat baik dalam segala aspek kehidupan, terutama dijelaskan dalam ayat ini tentang hal perniagaan.

Ada 3 hal prinsip dalam berniaga yang bisa diambil dari hikmah ayat tersebut, tegas Siti.

1. Prinsip Berdagang/jual beli yang tidak bathil adalah Berdagang yang sesuai dengan syariat Islam, misal penjual tidaklah boleh berlaku curang terhadap pembelinya, yaitu dengan mempermainkan berat timbangan jualannya, menipu dengan berjualan barang yang cacat dan sebagainya.

2. Prinsip Berdagang harus suka sama suka, adanya ijab dan kabul dalam jual beli. Asal tidak menjual barang terlarang dan haram

3. Prinsip Berdagang Tidak saling membunuh diri. siapa saja yang melakukan transaksi bisnis dengan cara-cara yang jahat dan keji, sesungguhnya ia tidak hanya membunuh dirinya sendiri tetapi juga dapat membunuh orang lain.

"Dan dari doa yang selalu kita panjatkan robbanaa aatinaa fiduniyah hasanah... Yang bermakna menurut saya, memohon kepada Allah atas kebaikan di dunia, dan kebaikan akhirat. Kejarlah akhiratmu maka dunia akan kau dapat," ucap Siti, seraya mengatakan memegang kejujuran dalam berwirausaha sesuai syariat Islam.

"Kalau kita berbuat jujur dan kebaikan di dunia ini Insha Allah akan mendaptkan kebaikan di akhirat dan senantiasa dijauhkan dari azab api neraka," tambahnya.

Pada 2018 saya juga pernah mewawancarai Fathia Pratiwi, seorang desainer busana muslimah di Bandung untuk sebuah media online wirausaha dan koperasi. Latar belakangnya pendidikannya adalah Sarjana Plannologi ITB. Dia menjalankan prinsip bisnis kalau soal materi tidak akan ada habisnya untuk dikejar.

"Konsep desain dan bisnisnya sangat cocok dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam berbisnis, bukanlah kuntungan semata yang saya cari. Lebih dari itu, benefit apa yang dapat saya rasakan dari bisnis ini, dunia akhirat, " ujar pemilik usaha bisnis mulismah brand bernama Thia

Staf pengajar Al Ahwal Al Syakhsiyah, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Ariadi mengatakan hakikat dari bisnis dalam agama Islam selain mencari keuntungan materi juga mencari keuntungan yang bersifat immaterial. Keuntungan yang bersifat immaterial yang dimaksud adalah keuntungan dan kebahagiaan ukhrawi.

Dalam konteks ini menurut Ariadi dalam tulisannya di sebuah jurnal,  al-Qur*an menawarkan keuntungan dengan suatu bisnis yang tidak pernah mengenal kerugian yang oleh al-Qur*an diistilahkan dengan tijaratan lan tabura.

Karena walaupun seandainya secara material pelaku bisnis Muslim merugi, tetapi pada hakikatnya ia tetap beruntung karena mendapatkan pahala atas komitmenya dalam menjalankan bisnis yang sesuai dengan syariah.

Saya sendiri berharap baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mampu mendorong pesatren mencetak wirausaha dan menjadi basis ekonomi kerakyatan untuk tumbuh lebih pesat.

Irvan Sjafari

Tulisan Terkait: 1 dan 2.

Sumber:

Ariyadi. 2018. "Bisnis dalam Islam" dalam Jurnal Hadratul Madaniyah, Volume 5 Issue 1, June 2018, Page 13 26

Dobbin, Christine, "Accounting for The Failure of The Muslim Javanese business Class Examples from Ponorogo and Tulung Agung 1880-1940". dalam Archipel No. 48, 1994.

Kuntowidjojo (1985) "Muslim kelas menengah Indonesia dalam mencari identitas, 19101950", Prisma 11:35-51.

jabarprov.go.id | liputan6.com | databoks.katadata.co.id | kompas.com | muslimpoliticians.blogspot.com | majalahpeluang.com | majalahpeluang.com | kemenperin.go.id | rm.id.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun