Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bisnis dan Dakwah : Catatan Tentang Kiprah Para Pengusaha Muslim Pribumi di Kota Malang 1914-1950-an

30 Agustus 2012   12:43 Diperbarui: 4 April 2017   18:16 1775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_209605" align="aligncenter" width="300" caption="Sebuah sudut Kota Malang (Kredit Foto: Irfanesia.blogdetik."][/caption]

Sudah banyak kajian tentang jatuh bangunnya pengusaha pribumi muslim (peneliti barat menyebut mereka sebagai  Santri Businessman)  di masa Hindia Belanda. Umumnya sejumlah literature membandingkan pebisnis santri ini dengan pengusaha Cina karena mereka sama-sama punya solidarity in group yang kuat dan sebetulnya juga etos kerja yang sama kerasnya. Wouter de Joung dan Frank van Steenbergen mengutip telaah Geertz dan Castles menyebutkan bahwa pengusaha ini umumnya saleh, didorong motivasi religi yang kuat dan mereka tahu bagaimana akses ke jaringan perdagangan antar daerah. 1

Hal senada juga diungkapkan Joko Suryo2 sejak abad ke 19 terdapat tiga golongan wiraswasta  yang menonjol di Indonesia, terutama di Jawa.  Golongan swasta Barat menangani sektor perdagangan dan perusahaan dalam skala besar, misalnya sebagai importer dan eksportir komoditi perdagangan yang laku di pasaran dunia, penanganan pembukaan usaha perkebunan cash corps seperti tebu,kopi, teh, tembakau, perusahaan pelayaran , perindustrian, perbankan dan pertambangan.

Golongan wiraswastawan Cina bergerak menjadi distributor, agen dan penjualan komditi perdaganagn di dalam negeri dalam skala menengah dan kecil.  Sementara kelompok wiraswasta pribumi hidup dalam kelompok-kelompok kecil baik secara lokal maupun etnik.  Minoritas regional tercermin pada orang Minangkabau dan Jawa. Kebanyakan usaha mereka adalah industri kerajinan dan secara kebetulan perusahaan kerajinan ini tumbuh di komunitas golongan santri.  Basis-basis pengusaha santri ini tampak di Pekalongan, Garut, Tasikmalaya, Yogyakarta, Surakarta dan Kudus.

Sementara Kuntowidjojo3 menelaah bahwa sejak awal abad ke 20 terjadi kebangkitan borjuis pribumi di 102 daerah perkotaan di Jawa tempat 8,51% penduduk Jawa dan Madura tinggal.  Kelas baru ini terdiri dari kaum pengusaha dan cendikiawan yang menguasai cakrawala kehidupan kota.  Mereka menggeser pengaruh kaum bangsawan dan pangreh praja yang disebut sebagai golongan priyayi-kecuali di Surakarta dan Yogyakarta.

Sejak resmi menjadi kotapraja pada 1 April 1914  sebetulnya sudah banyak usaha bisnis yang berkembang di kota Malang.    Sektor bisnis yang berkembang awalnya berhubungan sebagai fungsi kota ini sebagai tempat peristirahatan dan pendidikan, seperti usaha tempat kost, hotel dan retoran, toko serba ada (warenhuis) untuk memenuhi kebutuhan warga kota, industri makanan dan minuman, apotik, perabotan rumah tangga. Sektor jasa yang berkembang antara lain Kleermaker (penjahit/pembuat pakaian), schoenmaker (pembuatan sepatu), Hoorlogmaker (arloji), Barbier (tukang cukur) dan salon.  Kemudian  berkembang lebih spesifik terutama setelah 1930-an.

Pada awalnya Kota Malang termasuk dalam Keresidenan Pasuruan dengan ibukota Pasuruan. Malang sendiri adalah sebuah afdeeling (kabupaten).   Pasuran menjadi kotapraja baru pada 1 Juli 1916.  Pada perkembangannya kota Malang lebih pesat dan akhirnya pada 1926 ibukota keresidenan ini dipindahkan ke Malang dan namanya menjadi Keresidenan Malang. 4

Hasil penelusuran saya pada arsip-arsip stadgemeente Kota Malang hingga pemasang iklan di beberapa surat kabar dan majalah lokal  memang sektor bisnis banyak dikuasai orang Eropa dan Tionghoa dan peranakan Arab. Terdapat juga sedikit pengusaha asal Jepang, namun terdapat juga  sejumlah pengusaha pribumi muslim yang berhasil di sejumlah sektor yang bukan sektor kerajinan batik seperti kaum santri di Yogyakarta dan Solo.

Pada masa Hindia Belanda sejumlah pengusaha muslim ini adalah motor  pergerekan politik Sarekat Islam pada 1910-an, kemudian setelah mereka apatis terhadap politik para pengusaha ini menjadi motor  terutama gerakan dakwah  Muhamadyah ( ada juga yang mendukung  NU) setempat terutama setelah 1930-an. Mereka memberikan konstribusi  membiayai kegiatan Sarekat islam hingga Muhamadyah  di Kota Malang.

Berdasarkan penelusuran terhadap sumber tertulis maupun wawancara dalam beberapa sektor memang terjadi persaingan antara  pengusaha santri pribumi  ini dengan pengusaha Tionghoa maupun Barat. Namun saya tidak menemukan adanya ketegangan wiraswatawan santri dan Tionghoa.  Paling tidak pada telaah sejumlah teks surat kabar, majalah yang terbit antara 1914-1942 maupun wawancara (oral history) dengan pelaku yang masih hidup pada Desember 1994 ketika saya berkunjung ke Kota Malang.  Saya menduga karena segmentasi para pebisnis muslim ini berbeda dengan pebisnis Tionghoa  dan sektor yang mereka kuasai tidak banyak bersinggungan.  Saya malah  menemukan bahwa dalam beberapa kegiatan sosial  ada keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam aktifitas sosial yang dilakukan Muhamadyah.

Sebagian dari para pengusaha muslim ini mampu bertahan setidaknya ketika saya temui pada Desember 1994.  Mereka bisa menghadapi  Perang Kemerdekaan 1945-1949 hingga gonjang-ganjing politik dan ekonomi 1960-an.

Periode 1914-1930 :  Para Pengusaha dan Dinamika Politik

Pengusaha muslim pada periode 1910-an  yang cukup menonjol adalah Sosroamidjojo.  Penelusuran saya paling tidak dia memulai usaha hotel di Jalan Jodipan Malang  pada 1919 yang dinamakan Hotel Slamet.  Hotel yang mempunyai 20 kamar ini  dilengkapi dengan fasilitas air ledeng, listrik serta kendaraan mobil untuk antar dan jemput tamu dari stasiun kereta api  (sumber iklan di Sri Soeropati, edisi 10 April 1919). Pihak Hotel disebutkan  juga menawarkan jasa mengantarkan tamu ke tempat wisata di luar kota Malang, seperti Batu.   Sosroamidjojo juga disebutkan memiliki sebuah toko kain dan pakaian jadi  di Kampung Temenggungan.  Dalam sebuah arsip Stadgmeente Kota Malang pada 1918 dia ditaksir mempunyai kekayaan antara F 50.000-100.000.

Pengusaha santri lain yang disebut Kleermarker (penjahit) bernama M. Sastropernoto dari Kidoel Dalam.  Dalam arsip Gementeblad van Malang No 1802/19 no 75 tertanggal 12 Juli 1923 disebutkan pengusaha  ini mempunyai mobil merek Dodge dan mendapat potongan pajak F6. Pada waktu itu tak banyak orang pribumi yang punya mobil. Jadi orang ini memiliki kekayaan yang besar.  Surat kabar Sri Soeropati yang terbit pada 1919 memberikan informasi keberadaan beberapa pengusaha santri di luar Sosroamidjojo.

Sagiman dari Klojen Lor   disebutkan punya toko yang menawarkan jasa reparasi mesin tulis, gramophone hingga sepeda.  Ada Wirjoredjo dari Kampung Temenggungan yang menawarkan jasa menjahit dan membuat pakaian (kleermaker).   Ada juga pengusaha bernama Mas Hasyim mempunyai toko di kawasan klodjen. Mas Hasyim disebutkan menjual perkakas rumah, meja, kursi, lemari hingga tempat tidur yang terbuat dari besi. Ada lagi namanya Haji Abdul Kahar yang juga seorang kleermaker dan usaha kerajinan sepatu di kawasan Bareng Lonceng.   (Sri Soeropati 10 April 1919).

Saya tak menemukan jaringan toko batik dan tesktil milik pribumi santri di Kota Malang. Sekalipun Tjahaja Timoer 1 November 1920 memuat iklan dari saudagar batik pekalongan bernama Haji Muhamad Asik yang menawarkan harga kain F3 hingga F30 per potong.   Christine Dobbin juga menyebutkan Malang tempat pasar batik  dari saudagar batik dari Tulung Agung (Dobbin, 1994). Malang juga menajdi pasar para saudagar kain dari Sawah Lunto dan Silungkang.

Dalam arsip Gementeblad van Malang No.2948/18 No 126 tertanggal 23 November 1923 disebutkan seorang bernama Haji Moehamad Noerdin yang dinyatakan mempunyai izin hak guna bangunan untuk rumah Jalan Gandean no 2 dan Jalan Kauman nomor 3 untuk merubah bangunan rumahnya di Gandean untuk menjadi sebuah hotel.  Dalam surat Kotapraja itu dinyatakan bahwa Noerdin tidak akan menjual minuman keras kepada publik, karena dia seorang muslim.   Sekalipun hotel itu dilengkapi dengan sebuah bar.

Pada masa itu penjualan minuman keras diatur dengan ketat. Walikota Malang Bussemaker pada  Maret 1921 disebutkan hanya mengizinkan empat orang pedagang Tionghoa untuk menjadi pemasok minuman keras di Kota Malang. Mereka adalah Oei Ei Yan di Wetan Pasar, Lie Thiem Sioe, Lie Kiok Siang dan seorang lagi bermarga Tjioe di kawasan Pecinan (Tjahaja Timoer, 11 Maret 1921).

Di antara mereka Sosroamidjojo ini adalah salah satu aktifis Sarekat Islam Cabang Malang yang berdiri pada 1914.  Organisasi ini mengadakan rapat umum pertamanya di Tumpang yang dihadiri 500 orang.  Seperti halnya kebanyakan organisasi Sarekat Islam lokal lainnya,  berkembang pesat pada tahun-tahu berikutnya.  Pada 1915 jumlah anggota SI Malang meningkat tajam menjadi 8000 orang yang hadir dalam rapat umum di Kota Malang atau sebanding dengan seperlima penduduk Kota Malang masa itu.  Pada 1916 dalam rapat umum di Kraksaan jumlah anggotanya menembus 15 ribu orang  (Robert Edward Elson, 1984)

Presiden SI Malang adalah R.Mochamad Said seorang pengusaha.  Tokoh lainnya R. Soediro Atmodjo seorang wartawan yang mengelola Surat Kabar Sri Soeropati. Tokoh lainnya Abdulrachim yang berprofesi sebagai makelar tanah dan rumah.   Dia juga pernah menjadi jurnalis di koran Tjahaja Timoer pada 1910-an akhir dan awal 1920-an hingga akhrinya surat kabar sendiri.   Mochamad Said ini disebutkan rela menajdikan rumahnya di Kampung Jodipan sendiri sebagai tempat rapat (Tjahaja Timoer, 6 Desember 1920)

Pada umumnya SI Malang konsen memperjuangkan  memperbaiki kesejaterahan rakyat. Mereka mengkritik sistem ekonomi kapitalisme.  Merosotnya jumlah sawah yang dikelola rakyat di Keresidenan Malang menggugah hati nurani  para tokoh SI Malang.   Begitu juga naiknya harga beras yang mereka anggap semakin sulit dijangkau rakyat kebanyakan.  Pada 1912 harga 1 karung beras di Malang  sebesar F7 dan tujuh tahun kemudian menjadi F 15.

Para tokoh SI Malang menyorot buruknya lingkungan kampung terutama perumahan rakyat dan sanitasi kesehatan. Dinding rumah rakyat terbuat dari gedeg (yang terbuat dari bambu) yang berlapis-lapis dan lantainya tanah.  Memang dinding yang berlapis membuat nyaman manusia yang tinggal di dalamnya karena udara Malang umumnya dingin, namun juga nyaman bagi tikus.  Pada 1910, 1913, 1914 Malang diamuk wabah pes.  Seperti yang dikutip dari Tjahaja Timoer edisi 15 Januari 1915 pada 1913 di seluruh Kabupaten Malang tewas 6859 orang dan pada 1914 tewas 9150.   Jumlah itu yang terbesar di seluruh Jawa Timur dalam dua tahun itu yaitu 10.488 tewas pada 1913 dan 14.504 tewas pada 1914.

Tokoh-tokoh SI Malang  mengecam pembesar lokal pribumi yang baru bekerja kalau kedatangan tamu besar dari pusat.  Kebencian terhadap pamongpraja ini meningkat ketika  terbentuknya Oranje Bond van Orde pada 1919 yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Organisasi ini beranggotakan sekitar 300 orang banyak diikuti tentara, diikuti  Bupati Malang R.A.A Soerio Adiningrat dan Mas Budiardjo.

Namun pergesekan terbuka baru terasa pada pertengahan 1919. Pada Mei 1919 Gunung  Kelud meletus dan mengakibatkan Kota Blitar rusak berat.  Korban jiwa tidak banyak. Namun isu yang menyebutkan bahwa mereka yang tidak punya tempat tinggal akan dikirim menjadi kuli kontrak di Deli, Sumatera memanaskan situasi.  Surat kabar Sri Soeropati memberitakan buruknya kondisi kuli kontrak dan berbagai peristiwa penculikan rakyat Malang oleh para calo.

Pada  Juni 1919 ketegangan antara pihak Kotapraja dan SI Malang meningkat ketika terjadi pemogokan 48 buruh percetakan (Drukerij) Jan(Jhan).  Para buruh ini menuntut perusahaan memberikan tunjangan Hari Raya dan pengurangan jam kerja pada Bulan Ramadhan.  Pemogokan berlatur-larut dan SI Malang terang-terangan berada di belakang para buruh (Sri Soeropati, 26 Juni 1919). Pada Juli 1919 SI Malang juga menunjukkan simpatinya kepada korban Insiden Garut  1919.

SI Malang juga mengecam gaya hidup para priyayi yang meniru-niru gaya hidup Barat. Sekalipun sebetulnya mereka juga mampu mengadopsi perubahan sosial yang terjadi.  Pada Juli 1919 SI Malang mendirikan Madrasah Al Islamiyah yang menggabungkan pelajaran dari Barat dengan pelajaran yang menanamkan nilai-nilai Islam.   SI Malang mendirikan rumah pondolan yang dikelola dengan tata cara Islam.  Style pondokannya serupa pondokan Eropa namun pengelolaannya Islami.

Kiprah  SI Malang berakhir sekitar 1926-1927 dengan pecahnya pemberontakan PKI di Banten dan Sumatera Barat.   SI Malang mengalami perpecahan internal.  Elemen kiri dalam tubuh SI Malang tidak akur dengan elemen yang lebih religius yang didukung para pengusaha. Perpecahan ini terasa pada 1920 dalam rapat umum di Ngantang.  Golongan kiri mendapat tantangan dari anti komunis yang menamakan dirinya Sarekat Hijau.  Pada 1925 golongan kiri berhasil mendirikan Sarekat Buruh Gula.   Pemerintah Kolonial sendiri akhirnya menangkap 32 tokoh SI Malang  yang diduga komunis di Malang dan membuangnya ke Boven Digul (Robert Edward  Elson, 1984).

Periode 1930-1942:  Catatan  Muncul dan Berkembangnya Wiraswasta Santri

Berdasarkan sumber Gemeenteblad van Malang No.1398/6 no. 6  25 April 1927 jumpah penduduk Kota Malang berdasarkan penganut agama terdiri dari sekitar 40.000 penganut Islam, 5000 penganut Tionghoa, 3000 penganut Katholik dan 3000 penganut protestan.   Sejak 1930  ini pengusaha santri bermunculan. Mereka umumnya pendukung  organisasi masa yang bersifat sosial dan keagamaan yang cukup menonjol, yaitu Muhamadyah dan juga NU.

Informasi dari Gemeentbelad van Malang no. AZ 684/18/8 No 98 tertanggal 27 Mei 1931 menyebutkan  pengusaha bernama Mas Hadji  Hasyim yang tampaknya sudah menjadi orang yang cukup kaya di Kota Malang. Dia punya hak guna bangunan (rumah) di Jalan Arjuna (daerah tempat tinggal Eropa) yang mempunyai garasi untuk mobil.

Sementara berdasarkan iklan yang ia pasang di Majalah bulan Brantas pada 1937-1938 disebutkan Hasyim  sudah punya toko di kawasan pretisius  di Jalan Kayutangan no.47 dekat alun-alun.  Di lokasi itu ada Toko Oen dan Onderling Belang yang merupakan ikon kota Malang sejak 1930.  Bahkan menurut keterangan narasumber saya Sofiah Ronodihardjo yang saya ulas di bawah toko itu berhadapan dengan Onderling Belang.

Dalam Majalah Brantas edisi Agustus 1937 ada iklan advertensi yang dipasang oleh Toko Buku A.R.C. Salim yang beralamat di Jalan Regenstraat No.11 (Sekarang Jalan Haji Agus Salim).  Dalam iklan itu disebutkan bahwa mereka menjual buku-buka pelajaran dari sekolah rendah hingga sekolah pertengahan, serta buku-buku Agama Islam.   Toko ini juga agen Kolff-Bunning yang berpusat di Yogyakarta dan Balai Pustaka.  Toko ini menjual stempel pabrik dari Kuningan dan alat-alat tulis dan kantor.

ARC Salim adalah singkatan dari Abdul Rachman Chohir  Salim.  Menurut cerita anaknya Abdul Aziz salim, Abdul Rachman ini  awalnya adalah pegawai dinas opium di pasuruan.  Setelah pensiun ia pindah ke Kota Malang persis waktu era depresi (Depresi di Hindia Belanda sekitar 1930).  Sewaktu datang ke Kota Malang, Abdul Rachman membeli rumah di Jalan Tongan. Pada 26 Desember 1994 saya berkesempatan mewawancarai putranya bernama Abdul Azis  Salim di Kota Malang.

Ayah saya memang kolektor buku. Koleksinya banyak yang membuatnya dengan mudah tukar menukar buku atau jual-beli buku-buku bekas.  Pada mulanya ia belum membuka toko tetapi masih merupakan pedagang keliling dengan berjalan kaki.  Namun kalau jarak jauh ia baru menggunakan sepeda.  Kemudian seorang kawannya bernama Hasan Ali Surati (orang keturunan India Muslim) memberikannya akses untuk membuka toko.

[caption id="attachment_209606" align="aligncenter" width="300" caption="Toko Buku ARC Salim kondisi pada Desember 1994 (dokumen Irvan Sjafari untuk Majalah Sinar edisi 2 April 1995)"]

134633036479814662
134633036479814662
[/caption]

Menurut cerita Abdul Aziznya lagi tempat toko buku ARC Salim ini mulanya di Jalan Gedekan, kemudian pindah ke Jalan Jodipan (Jalan Kyai Achmad Dachlan).  Dia menyewa dari Hasan Surati ini.  Baru  pada 1931 atau 1932 ARC Salim pindah ke Regenstraat. Pada waktu itu merupakan kawasan bergengsi karena terdapat perkantoran dan rumah milik orang Eropa dan rumah Bupati Malang.   Bisnisnya bertumpu pada menjual buku-buku bekas. Orang-orang Belanda kalau pulang ke negerinya menjual buku-bukunya paad ARC Salim.  Karena buku-buku itu berbahasa belanda, pelanggannya banyak orang Belanda.

Pada waktu itu masa Depresi. Untung tidak banyak yang jual buku hingga kami sekeluarga mampu bertahan.   Untuk makan saja pakai telur bebek. Bahkan menurut ayah saya, ia pernah berkeliling mencari beras. Memang permulaannya sulit, tetapi kami mampu bertahan.

Menurut Abdul  Azis lagi, ayahnya  berasal dari Minangkabau.  Dia menikah dengan Siti Maimunah, orang Jawa, anak seorang pedagang besar di kota Madiun.  Dia adik kandung Tokoh Pergerakan Haji Agus Salim.  Toko ARC  Salim mampu bersaing dengan toko milik orang Belanda Kolff yang berlokasi di Jalan Kayutangan, serta sebuah toko buku milik orang Tionghoa.  Relasi dengan Balai Pustaka dan sekolah-sekolah Islam membuat toko ini mendapatkan segmen pasar sendiri.

Pada masa pendudukan Jepang Toko ARC Salim sudah mapan. Buku-bukunya banyak memenuhi beberapa rak.  Menurut cerita Abdul Azis lagi, ayahnya memisahkan mana yang buku dalam Bahasa Inggris, mana yang dalam Bahasa Belanda, mana yang buku untuk konsumsi anak-anak, remaja hingga dewasa. Meskipun begitu Jepang kerap melakukan sensor.  Banayk buku disita. Tetapi keluarga ARC Salim bertahan dengan juga menjual makanan.  

Pada masa Perang Kemerdekaan  Toko ARC Salim beberapa kali diobrak-abrik Tentara Belanda hanya karena dia adalah adik kandung Haji Agus Salim.  Abdul Rachman pernah dibawa ke Jakarta dan dipenjara di Glodok.  Toko itu bertahan walau keluarga ARC Salim hidup morat-marit selama masa Perang Kemerdekaan.  Namun mereka mampu bertahan.  Abdul Azis menggantikan ayahnya yang wafat pada 1957. Dia melanjutkan usaha keluarganya.

Resep kami bertahan adalah telaten. Kami sudah terbiasa tidak bergantung pada siapa-siapa. Kami terbiasa menyumbangkan sebagian harta untuk ummat.

Pengusaha lainnya yang saya dapatkan datanya cukup lengkap  setelah 1930 ini ialah Ronodihardjo.  Orang asli Malang itu memang dilahirkan menjadi wiraswasta. Ayahnya seorang pedagang palawija meninggal ketika Ronodiharjo masih kecil.  Ia kemudian melanjutkan usahanya ayahnya berdagang palawija. Sejak 1921 ia sudah punya toko.  Usahanya berubah  ketika ia bertemu seorang desa kenalannya dari wajak bernama Pak Gadi yang mengenalkannya pada kapuk.  Di desa itu banyak Pohon Randu.

Mulanya Ronodihardjo menjual kapuk di Malang dengan harga 5 sen per kantung. Pembungkusnya kertas samak coklat. Ternyata laku. Kemudian Ronodihardjo menjual kasur. Tokonya terletak di jalan Jodipan.  Menurut cerita istrinya Sofiah Ronodihardjo  usahanya sempat jatuh bangun.  Toko yang sekaligus menjadi rumahnya sejak turun temurun pernah digadaikan, namun akhirnya dia mendapatkan toko lain di jalan yang sama sebesar  F 200.

[caption id="attachment_209607" align="aligncenter" width="300" caption="Toko Kasur Ronodihardjo kondisi pada Desember 1994 (Foto dokumen pribadi Irvan Sjafari untuk Majalah Sinar,2 April 1995)"]

1346330536964189388
1346330536964189388
[/caption]

Sofiah menikah dengan Ronodihardjo pada 1932, ketika usia Ronodihardjo 45 tahun.  Berdasarkan keterangan istrinya ini Ronodihardjo kemungkinan dilahirkan pada 1887. Sofiah adalah istri ketiganya, karena dari dua istri sebelumnya tidak dikaruniai anak.  Sofia sendiri  dari Yogyakarta datang  ke Malang untuk kepentingan Muhamadyah.

Tutur Sofiah lagi Ronodihardjo punya anak asuh bernama Subandi yang masih sepupunya. Oleh Ronodihardjo dia juga dididik jadi wiraswasta dan membuka toko di Boldistraat.  Usahanya penjualan sepeda. Namun informasi dari Sofiah tentang keberadaan Subadi ini tidak saya temui pada sumber lain.

Dalam iklannya di Majalah Brantas tentang  Toko Ronodihardjo edisi  Februari 1938 disebutkan

Dijoeal kasoer, bantal, goeling. Divan Kajoe djati besar dan ketjil serta sedia tempat tidoe besi jang baik kwalitetnja, serta koeat, persedian tjoekoep, poedjian tida perloe harap soeka mejaksikan sendiri.

Harga kasur sendiri masa itu (1930-an) bergantung ukurannya. Yang paling besar nomor   F7,5  yang ukurannya  sedang  F5 dan yang kecil F3.  Usaha Toko Kasur itu  pada masa Hindia Belanda awalnya tidak terlalu  stabil. Karyawannya hanya satu orang.   Bahkan ketika masih dalam era depresi menurut cerita sofiah keluarga Ronodihardjo sempat berada dalam kesulitan.

Kalau ditanya soal penghasilan tidak bisa ditentukan. Hanya cukup untuk makan. Nggak sempat bikin pembukuan jadi secara kuno saja terserah Tuhan kasih rejeki.  Pada awalnya ketika zaman melaise pernah satu kasur yang terjual sebesar F 3. Itu untuk makan satu keluarga.  Kita masak dadar telur untuk empat anak.      Kalau masak sop cukup banyak air dengan garam.  Anakpanak ternyata besar juga. Itu kebesaran Allah.

Peruntungan Ronodihardjo datang justru pada pendudukan Jepang.  Toko itu pernah mendapatkan order hingga 200 kasur. Dari hasil tabungan penjualan itu Keluarga Ronodihardjo membeli rumah besar di Gang Kabupaten /3 pada 1950.  Tiga tahun kemudian Ronodihardjo meninggal denagn meninggalkan dua belas anak.  Toko Ronodihardjo dan Toko ARC Salim  adalah toko-toko yang masih berdiri hingga puluhan tahun kemudian.

Majalah Brantas juga memuat iklan  Abdul Sacheh yang mempunyai toko di Jalan Kudusan nomor 25.  Menurut keterangan istrinya Badriyah, pengusaha ini lahir pada 1902.  Waktu masih jejaka mulanya ia berdagang sepatu, sandal, kopyah dan perlengkapan kuda. Tempat jualannya di Pasar Malang.  Pada masa itu masih banyak dokar.  Hingga menikah pada 1929 dengan Badriyah, Abdul Sacheh masih berdagang sepatu, sandal dan kopyah.  Rumah mereka di kawasan Kidul Dalem.

Pada pertengahan 1930-an Abdul Shaceh pindah ke Jalan Kudusan.  Sejak itu ia menjual tempat tidur besi. Dia juga menjual kasur yang dibuat sendiri.  Modalnya tidak minjam dari bank tetapi modal sendiri. Usaha kecil-kecilan kemudian menajdi besar.   Dari usahanya Abdul Shaceh sempat naik Haji pada 1927.  Toko ini dilengkapi bengkel pembuatan tempat tidur di kawasan Kidul Dalem.   Pelanggannya banyak orang Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang bengkel ditutup karena  Jepang membutuhkan bahan-bahan dari besi toko ini rugi besar.  Namun usaha Abdul Sacheh tetap berlanjut hingga 1960-an.  Ayah dari tujuh anak ini berganti usaha grosir gula dan rokok dari Pabrik Faroka.  Pada 1962  Keluarga Abdul Shaceh membeli rumah di jalan Arjuno, kawasan elite di Kota Malang.  Pengusaha ini meninggal pada 1967.

Nama pengusaha lain yang saya temukan adalah Hadisubroto.  Dalam Majalah Brantas edisi 1937-1938 dia disebutkan mempunyai toko mesin tik dan sekaligus menawarkan reparasinya di Jalan kudusan.  Harga mesin tik waktu itu merek Remington model 10 berksiar F40 dan Krela 46 cM  F60.  Orang ini juga disebut sebagai  perintis gerakan koperasi, pengelola klinik Muhamadyah dan merintis usaha Perbankan (NV Bank Surakarta di Jalan Kayutangan).  Catatan saya toko mesin tik  ini juga masih ada hingga masa revolusi fisik.

Majalah itu juga memberikan informasi tentang keberadaan  pengusaha bernama S.D.Hasan Bin Ahmad Bin Aboedan yang mempunyai toko di kawasan Klodjen Kidoel no.36. Dalam iklannya toko itu menjual juga tempat tidur besi dan aneka  perabot rumah tangga  seperti meja, kursi, lemari pakaian dan perhiasan.  Ada juga bernama M. Soehadi di Oro-oro Dowo No 70  menawarkan jasa perbaikan arloji (horlog maker) dan gramophon.

Data lain yang unik adalah seorang pengusaha restoran di Kasin Kidoel yang dikelola Moehamad Allil. Menunya adalah Sate Padang, Gado-gado Padang, Gulai Padang hingga Soto Betawi. Kleermaker (penjahit) bernama Asnan di Embong Arab, hingga penjualan barang lelangan dari besi Mat Rais di Pasar loods No.2 Malang .  Tercatat juga nama Haji Abdul Kahar di Bareng lonceng yang masa sebelumnya adalah pemasang iklan di Sri soeropati dan pendukung Sarekat Islam,  masih menjadi pengusaha pada 1930-an dan menjadi pendukung Muhamadyah.

Seorang pengusaha juga merupakan seorang Kyai.  Salah seorang Kyai yang punya bisnis ialah Haji Ridoean. Mulanya ia seorang penghulu di Belimbing pada 1925, sepuluh tahun kemudian karirnya naik sebagai penghulu di pengadilan Kota Malang.  Pada 1938 Ridoewan ketua Penghulu selutuh kota Malang.  Di bidang bisnis dai merupakan pengusaha sepatu di Embong Arab Kota Malang.

Saya juga menemukan nama Dahlan Chasan yang mempunyai toko di Jalan Kudusan, Malang. Dia juga punya toko lain di Kota Surabaya.  Usahanya berbentuk firma.  Menurut cerita Achmad Suúdi, putra ke 4-nya  Dachlan Chasan mendirikan toko bersama Sang Kakek  sekitar 1932. Bisnisnya adalah penjualan sepatu, sandal dan kopyah.  Jalan Kudusan waktu itu memang sentra bisnis kaum santri di mana untuk sepatu saja terdapat 16 toko 1930-an).  Dia bercerita:

Adik ayah, Abu Hasan juga mempunyai usaha kulit di Surabaya. Kakak saya juga punya toko kulit. Namanya Achmad Subadi.   Keluarga kami juga punya bisnis di gresik juga toko kulit.  Usaha ini sebetulnya lebih lama sebelum di Malang. Kulit untuk membuat sepatu dan sandal ini dari Gresik.

Menurut informasi Achmad Suúdi lagi toko yang dikelola Dahlan Chasan di Malang dilengkapi bengkel pembuatan sepatu. Pegawainya berjumlah lebih dari  10 orang. Pelangganya banyak kalangan pribumi.  Menurut cerita anaknya Dahlan ini aktif di organisasi Nadtahul Ulama (NU).  Toko Bumiputera yang dikelolanya bertahan hingga habis revolusi paling tidak 1990-an. Namun bengkelnya tidak lagi ada dan mereka hanya menjual sepatu yang dititipkan.  Dari 16 toko sepatu di Jalan Kudusan itu hingga 1990-an hanya tinggal 7 toko.  Meskipun demikian keterangan Achmad Suúdi memperkuat informasi dari bergbagai majalah dan surata kabar bahwa pada 1903-an Jalan Kudusan adalah pusat bisnis kaum Santri kota Malang.

Wiraswastawan Sebagai Pendukung Gerakan Dakwah

Pada 1921 Muhamadyah telah mempunyai cabang di kota Malang. Menurut Majalah Brantas edisi Oktober 1937 bermula ketika seorang guru bernama M. Kastawi mengundang dua propagandis Muhammadyah dari Yogyakarta Kyai Oesman dan M. Fanan untuk datang ke Malang.  Menurut artikel dalam majalah itu tidak terlalu mudah karena keberadaan Muhamadyah masih dianggap kontroversi waktu itu.   Sofiah Ronodihradjo juga menyebut nama Haji Ibrahim yang masih adik kandung dari Kyai Haji Achmad Dahlan pendiri Muhamadyah.

Tokoh-tokoh pendukungnya antara lain J. Ronosoedirjo, Abdoel Moechtar dan Haji Noerjasin.  Mulanya kegiatannya terbatas pada bidang pendidikan.  Namun karena dukungan para pengusaha santri mereka sudah mempunyai gedung sendiri di Kawistraat dan sebuah sekolah setara HIS ( setingkat SD sekarang).  Gedung dilengkapi sebuah aula serta sebuah perpustakaan yang mempunyai 350 buku bacaan, belum lagi surat kabar dan majalah yang disebut Kantoor Taman Poestaka.

Pada September 1927 Muhamadyah Malang meluaskan kegiatannya dengan mendirikan poliklinik di Jalan Tongan.  Pendirinya antara lain Hasan Ali Soerati  dan dr. Anwar.  Rumah sakit ini dikelola secara islam.  Pada mulanya perawatan pasien perempuan dan laki-laki dilakukan dalam ruangan terpisah oleh perawat dan dokter masing-masing.  Hingga 1930 Poliklinik ini dipimpin Hasan Ali Soerati.

Sofiah Ronodihardjo menyebutkan bahwa Hasan Ali Soerati ini seorang kaya raya di Malang.

Dia penguasaha bisokop terebsar di Kota Malang,  Hasan ini punya Bioskop Flora, Alhambra dan Globe.  Dia seorang India beragama islam dinamakan Surati karena berasal daerah surati.  Dia banyak Muhamadyah dari segi dana.  Dia punya villa di Batu.

Sebetulnya Tjahaja Timoer 1 November 1920 juga membeirkan informasi keberadaan Hasan Surati sebagai pemilik  Toko Baroe di Kulon Pasar Malang Nomor 24.  Barang yang diniagakannya adalah kain sarung batik dari Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Semarang, kain teluk Belanga Pontianak hingga minyak wangi.

Sofiah juga bercerita sekolah di Jalan Kawi  awalnya masih kecil. Anaknya yang pertama malah pernah ikut berjuang mencari dana. Pak Gurunya mempunyai inisiatif. Dia membuka pertunjukkan tonil  (semacam sandiwara)  di Bioskop Centrum di Boldistraat.  Salah satu lakon yang diingatnya berjudul Asal Batu Timbul, Asal Batu Tenggelam.  Berkat dana dari pertunjukkan tonil itu setiap tahun bisa tambah satu lokal (kelas). Sampai anak saya tamat Muhamadyah sudah punya enam kelas.

Waktu saya datang masih tanah kosong. Di situ tempat orang sholat Hari Raya Lebaran dan Hari Raya Haji.

Menurut cerita Sofiah lagi pengaturan sekolah harus ketat. Misalnya TK Pagi dari jam 7.30 sampai jam 11.00.  sorenya anak-anak yang paginya sekolah, sorenya mengaji.  Biasanya jam 2 siang hingga jam atau jam 5.  Malamnya ada kelas untuk para babu (pembantu rumah tangga). Jam 9 malam ke atas kelas anti buta huruf, pesertanya bapak-bapak yang sudah ubanan. Murid-murid HIS kebanaakan anak-anak pedagang juga dan mereka sekolah dari jam 8 pagi hingga jam satu.  Murid masa itu tidak memakai seragam.

Jaarsverslag 1940 Staadgemente Malang menyebutkan bahwa pada 1940 HIS Muhamadyah Malang (disebutkan berdiri pada 1926) mempunyai 135 murid laki-laki dan 76 murid perempuan.  Sekolah swasta yang dikelola pribumi lainnya ialah HIS Taman siswa 141 murid laki-laki dan 90 murid perempuan, Kartini School 229 murid perempuan dan Madrasah Nadhlatul Oelama (berdiri 1932) mendidik 227 murid laki-laki pada tahun yang sama.

Menarik bahwa pada 1933 Muhamadyah Malang juga mendirikan Moealimin Muhamadyah (semacam madrasah) dan disebut juga sebagai Kweekschool Muhamadyah. Berdasarkan informasi dari Jaarsverslag 1940 itu, sekolah ini pada 1940 mempunyai 16 murid laki-laki dan 12 murid perempuan.  Pada tahun yang sama berdiri Dinijah Aisyah School. Pada 1940 mempunyai 190 murid perempuan.

Muhamadyah Malang juga menawarkan pendidikan bagi pemuda-pemuda yang sudah siangnya bekerja untuk sekolah agama malam hari lewat Madrasah Woestho School yang bertempat di Gedung Muhamadyah Jalan Kawi.  Pendidikannya jam 7.30-9 malam. Pelajaran yang ditawarkan tidak saja agama dan menulis Bahasa Arab, tetapi juga belajar Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris (Brantas,  Agustus,1937.

Pada 1930 Hadisubroto  menjadi Pimpinan Poliklinik Muhamadyah.  Pada 1937  Poliklinik Muhamadyah mempunyai tiga gedung, pertama untuk umum, kedua spesial untuk kaum perempuan dan satu lagi untuk anak-anak. Tenaga perawatnya  diperkuat 4 dokter senior. Di antaranya  dr. Anwar, terdapat seorang Tionghoa  bernama dr. Tan Jen Jong.   Bagian perempuan dan anak-anak ini dibangun di Jalan Tongan dan dipimpin seorang dokter putri Indonesia.

Menurut cerita Sofiah Ronodihardjo dokter Tionghoa itu masuk islam.  Pada masa itu banyak orang Tionghoa masuk Islam. Sementara menurut informasi Brantas edisi Agustus 1937, Balai Kesehatan Muhamadyah di Jalan Tongan ini menawarkan jasa suntik cacar untuk anak-anak tiap tanggal 1 dan tanggal 15 jam 10-11 pagi.

Poliklinik Muhamdyah dipastikan dikelola secara professional. Pada Majalah Brantas edisi Februari 1938 dimuat laporan keuangan untuk tahun 1937  yang ditandatangai oleh Ketuanya S. Hadisubroto dan sekretarisnya M.Safioedin pada 15 Januari 1938.  Pada 1937 total penerimaan F5370, 34 (termasuk saldo per Desember 1936 sebesar F450,035).  Sementara pengeluaran  untuk 1937 adalah F4807, 225, hingga menyisakan saldo per Desember 1937 F562,113.

Jaarsverslag 1940 Staadgemente Malang memberikan informasi bahwa pada 1940 Poliklinik Muhamadyah mampu menangani 9126 pasien.  Sebagai bandingan pasien Poliklinik di Celaket pada 1940 menangani  3525 pasien, Poliklinik Tiong Hwa Le Sia 10.486 pasien dan Poliklinik Zending di Sukun 256.374 pasien (yang dananya lebih besar).

Sejumlah pengusaha yang terlibat dalam kepengurusan Muhamadyah adalah Haji Hasyim, Haji Abdul Sacheh, Ronodihardjo dan ARC Salim (Brantas Februari 1938, diperkuat Wawancara dengan Abdul Aziz Salim, Sofiah Ronodihardjo, Badrijah Abdul Sacheh).5 Muhamadyah Malang juga didukung Ahmad Djarhoem, seorang  tokoh Persatuan Arab Indonesia (PAI) Malang.  Sekalipun jumlah peranakan Arab ini tidak sebanyak orang Tionghoa sebagian besar di antara mereka juga pedagang. 6

Kegiatan yang melibatkan kaum pedagang lainnya adalah Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (PKO) atau Pertolongan Kepada Orang Miskin .  Yang menjadi bendaharanya adalah Abdul Sacheh yang juga menjadi pengurus poliklinik.  Rumah Miskin Muhamdyah Malang ini dibuka pada 19 juli 1932 mula-mula di kawasan  Klodjen ledok , kemudian pindah ke Klodjen lor kemudian ke Bareng, Malang. Muhamdyah juga mendirikan Rumah Yatim pada 19 Juli 1932. Lokasi awalnya di Kloedjen ledok, kemudian pindah ke Bareng, Gang Tennis bertempat sama dengan Rumah Miskin (Brantas, Desember 1937).

Muhamadyah Malang juga punya kegiatan bersifat rekreatif. Misalnya, Majalah Brantas Juni 1937 menyebutkan kegiatan openbare perayaan Pemuda Muhamadyah Cabang Malang pada Saptu 29 Mei 1937 jam 7.30 (19.30) berupa perlombaan lampion optocht berkeliling Kota Malang  yang diikuti anak-anak dari sekolah Muhamdyah, anak-anak yatim yang diasuh Muhamdyah, serta kepanduan Hizbul Wathan, KRI, KBI, Natipy, dan Soerjo Wirawan.  Al Ichtijaar edisi 1 Juli 1937 juga memberikan informasi pada 27-28 Juli 1937 akan  diadakan Jambore Hizbul Wathan di  Batu dengan program antara lain perkemahan, latihan kepemimpinan, hingga Latihan EHBO (semacam PPPK).

Kepedulian kaum wiraswastawan santri kepada umat disinggung peneliti asal Prancis, Christine Dobbin untuk kasus Ponorogo dan Tulung Agung.  Menurut dia pada 1920-an para pengusaha baitk di Ponorogo menyisihkan F10.000 untuk membangun sebuah mesjid. Di kota ini wiraswastawan pribumi ini hanya mengusahai bisnis batik skala kecil. Terdapat 75 bisnis batik milik santri menurut catatan Christine. 7

Berdasarkan sejumlah literatur ini menurut saya kemunculan bisnis santri adalah fenomena unik dalam sejarah Indonesia.   Nilai-nilai Islam ternyata memberikan semangat  membangun etos kerja keras sekaligus juga untuk memberikan konstribusi bagi masyarakat yang juga dengan bukti nyata. Para wiraswastawan santri pada masa itu tidak mengharapkan pamrih, tetapi hanya panggilan hati nurani.

Irvan Sjafari

Catatan Kaki

1Wouter de Jong dan Frank Van Steenbergen. Town dan Hinterland  in Central Java: The Banjarnegara Production Struckture in Regional Perspective. Yogyakarta: UGM Press, 1987. Hal.21-23.

2 Joko Suryo. “Sektor Swasta dalam Perspektif Sejarah” dalam Prisma edisi Oktober 1985

3 Kuntowidjojo. “Muslim Kelas Menengah Indonesia dalam mencari Identitas 1910-1950 dalam Prisma edisi November 1985.  Kuntowijoyo menyebutkan pada awal abad ke 20 memang terajdi perubahan penting dalam sejarah masyarakat Indonesia. Daerah perkotaan mengegser peranan komunitas perdesaan.  Peranan perdagangan dan industri dalam menggerakan mobilitas sosial, terutama sangat menonjol di sektor industri pertekstilan dan batik di beberapa kota di Jawa dan industri rokok di Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Meski usaha golongan menengah pribumi ini sellau terancam oleh barang import dan persainagn modal cina, mereka mampu menghadapi tantangan tersebut.  Pabrik tesktil pribumi terletak di Kabupaten Bandung, di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa tengah, antara Tegal dan Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Kediri dan Tulungagung.

4 Pada dekade 1800-an Kota Malang lebih dikenal sebagai loji militer Kolonial Belanda. VOC merebut kota ini pada 1767 dari tangan keturunan Suropati dan sekutunya. Itu sebabnya pusat Kota Malang disebut sebagai Klodjen artinya loji.  Kota ini pusat garnisun tentara Belanda untuk wilayah Jawa Timur. Loji itu berada di daerah Celaket yang pada perkembangannya menjadi rumah sakit militer.  Kota ini juga menjadi pusat pemusatan hasil produksi perkebunan terutama tebu. Pada April 1879 Jalan kereta api Surabaya-Malang selesai dibangun yang membuat jarak tempuh Surabaya malang yang sebelumnya satu hingga dua hari menjadi dua jam 40 menit.  Pada 1900 kota-kota besar di Jawa berkembang. Urbanisasi, pembangunan jaringan jalan raya, trem dan akhirnay menajdikan kota ini sebagai peristirahatan orang belanda yang jenuh hiruk pikuk Surabaya.  Pada 1914  Kota Malang hanya  memiliki 51 ribu jiwa, terdiri dari 2500 orang Eropa, Timur Asing sekitar 500 dan pribumi 44.000.  Sejarah kota Malang saya dapatkan di De Kroniek de Stadgemeente Malang over Jaren 1914-1939, 50 tahun Kotapradja Malang 1914-1964, Malang, 1964

5 http://malang.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html juga  menyebutkan kiprah beberapa pengurus yang berlatar belakang pengusaha, yaitu  ARC Salim pernah menjadi Konsul Muhamadyah pada 1932. Ronodihardjo sebagai anggota Panitia Kongres Muhamadyah 21-26 Juli 1938 di Jalan Kawi Malang. Kongres itu dihadiri 450 utusan cabang Muhamadyah.

6 Beberapa orang Arab di Malang menunjukkan mereka juga termasuk orang kaya. Misalnya saya menemukan sebuah arsip Gemeenteblad van Malang No 24, 6 Maret 1922 menyebutkan seorang bernama Sech Roebaja bin Talip.  Di arsip itu dia mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan untuk pemandian umum  dengan luas 533 M2di Roomschekerkstraat dengan biaya F1576, 50. Tjahaja Timoer 1 November 1920 juga memberikan informasi soal seorang pengusaha keturunan Arab bernama Umar Jabir dengan usaha pemotongan hewan di Jalan Jagalan, Malang.  Soal Ahmad Djarhoem ini dia Ketua PAI Malang, seorang pengusaha dan juga pemilik sebuah surat kabar 1930-an. PAI sendiri dipelopori oleh AR Baswedan, peranakan Arab asal Ampel, Surabaya (Wikipedia)

7 Christine Dobbin. “Accounting for The Failure of The Muslim Javanese business Class Examples from Ponorogo and Tulung Agung 1880-1940”. dalam Archipel No. 48, 1994.

Referensi Utama

Al Ichtijaar 1 Juli 1937

Arsip-arsip Stadgemente Malang 1923, 1928, 1932

Dobbin, Christine, “Accounting for The Failure of The Muslim Javanese business Class Examples from Ponorogo and Tulung Agung 1880-1940”. dalam Archipel No. 48, 1994.

Elson, Robert Edward. Javaneses Peasant and The Colonial Sugar Industry: Impact and Change East Java Residency  1830-1940. Oxford Unievrsity Press, 1984

Jaaverslag 1940 Stadgemente Malang

Brantas edisi Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember, 1937 dan Februari 1938

Sjafari, Irvan dan Widada, Yohanes  Suma, “Kisah Kaum Kelontong dari Malang”, artikel untuk rubric Rehat di  Majalah Sinar edisi 2 April 1995

Sri Soeropati, 1919

Tjahaja Timoer 1915-1918

Wawancara:

Abdul Azis Salim, putra ARC Salim di Toko Buku ARC Salim Malang, Siang Hari, 26 Desember 1994

Achmad Su’’udi, putra Dahlan Chasan  di Toko Bumiputera, Malang, 27 Desember 1994

Bradriyah Abdul Sacheh, istri Andul Sacheh, di rumahnya Jalan Arjuno, 16 Malang, 27 Desember 1994, sore hari’

Miftauh Romiah, putri ke 6 dari 12 bersaudara dari pasangan Ronodihardjo dan Sofiah di Jalan Candi saptoargo No 4, Malang lepas Mahgrib, 28 Desember 1994

Sofiah Ronodihardjo, istri Ronodihardjo di rumahnya di Gang kadipaten, Malang, 28 Desember 1994 malam hari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun