Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Catatan Pribadi tentang Soto Padang dan Soto Bandung

12 September 2021   23:53 Diperbarui: 13 September 2021   00:30 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Soto Padang-Foto: Detik.Food

Secara garis besar saya mengenal dua jenis soto, yaitu soto yang bening dan satu lagi yang bersantan.  Di antara dua jenis soto itu, yang paling saya sering konsumsi ialah soto bening dan hanya sekali-sekali mengkonsumsi soto santan.  Yang terakhir ini bagi saya hanya enak dimakan pas jam makan, lagi lapar dan bukan sudah telat makan. 

Lahir dan besar di keluarga campuran Minang dan Sunda terutama dari ibu membuat saya akrab terlebih dahulu dengan dua soto, yaitu Soto Padang dan Soto Bandung.  Dua kota yang terkait erat dengan sejarah keluarga saya terutama dari garis ibu. Baru kemudian favorit saya bertambah Soto Kudus dan Soto Madura.    

Saya mengenal lebih dulu Soto Padang karena kerap diajak orangtua makan di Restoran Padang dan ibu kerap membuatnya di rumah semenjak masih kanak-kanak. 

Ciri khas isinya dibagi dua, yaitu dalam kuah kaldu daging tentunya dengan dagingnya dan kemudian  disajikan terpisah  daging kering atau dendeng , tauge, bihun, perkedel, kentang yang diiris tipis, kerupuk merah, jeruk nipis  dan sambalnya.  Tentunya ada taburan saledri. 

Daging kering atau dendeng itulah akulturasi Minangnya, karena daging kering itu nggak jauh beda dari dendeng balado.  Begitu juga dengan kerupuk merahnya lazim saya temui di Ketupat Sayur Padang.   

Samba itu seingat saya ada dua versi, yaitu sambal yang agak kuning dan sambal merah yang kerap saya temui di Restoran Padang atau Warung Kaki Lima Padang.

Kalau ibu saya yang menyajikan, kekuatan soto ini menurut saya justru pada dua sajian yang terpisah itu, karena bisa diambil dari sesuai dengan selera.  Sayangnya di Restoran Padang atau warung kaki lima, umumnya sudah dicampur semua.  

Harusnya ada pelaku kuliner Soto Padang ada  yang mencoba memisahkannya. Sekalipun tentunya jatuh lebih mahal. Di Kaki Lima  saja di kawasan Pondok Labu, harga semangkuk Soto Padang sekitarRp18 ribu hingga Rp20 ribu (harga sebelum pandemi), itu pun isinya tidak selengkap ibu saya, yang kalau dijadikan kuliner pasti lebih mahal.  

Cara ibu menyajikan Soto Padang agak mirip dengan penyajian rumah makan atau Restoran yang menawarkan Soto Kudus, di mana ada materi di dalam mangkuk termasuk daging rebus dan ada yang di luar tinggal dipilih sesuai selera, seperti sate telur puyuh, perkedel, ati-ampla dan juga sambalnya. Tentunya harganya jadi beda. 

Kalau adik saya yang tinggal di Bandung, kalau ke Jakarta biasaaya mengajak makan di Restoran Soto Kudus di Blok M yang menjadi favoritnya. Rasanya memang Mak Nyus.  Masalahnya kalau makan Soto Kudus campur ini nggak bakal cukup semangkuk, pasti dua mangkuk baru pas. Santapan ini sebelum pandemi jadi rutin pada hari kedua lebaran.

Soto Bandung-Detik.Food.
Soto Bandung-Detik.Food.

Lalu kembali ke Soto Padang, mengapa bisa beda dua bentuk sambalnya?  "Warna Sambal Soto Padang ini bisa oranye karena sambalnya direbus, campuran antara cabe rawit merah dan cabe keriting ditambah kemiri," ujar ibu seraya mengatakan resepnya turun-temurun dari keluarga. Itu artinya kuliner Soto Padang punya sejarah cukup panjang.

Soto Bandung juga sudah saya kenal semenjak kecil karena sebagian keluarga di Bandung, namun hanya disantap ketika lagi makan di luar dan semenjak saya lulus kuliah, Soto Bandung jadi buruan saya, terutama yang dibuat di Restoran Ampera. Sayangnya semenjak pandemi saya sulit menemukan soto  ini karena adanya PPKM.

Seperti halnya Soto Padang, Soto Bandung juga berbahan dasar daging sapi, biasanya bagian tetelan atau has dalam (ada yang dipotong seperti dadu). Lainnya isi berbeda. Di dalamnya sudah ada lobak, tomat,  kedelai goreng, serta taburan saledri. 

Di keluarga besar, bukan hanya saya, tetapi juga adik perempuan saya dan beberapa sepupu yang berdarah Sunda menyukai Soto Bandung. Kuahnya segar dan gurih menjadi kekuatannya.  Hadirnya lobak tidak mengherankan. Jelas di Tanah Priangan sayuran melimpah dan akulturasi budaya di situ.

Nah, soto yang menggunakan daging tetelan dalam potongan kecil juga ada di Soto Mi Bogor yang juga favorit saya.  Hanya saja dalam Soto Mi Bogor, tentu saja selain mi ada risol yang dipotong-potong, tomat, sayuran kol bisa dimakan dengan nasi atau tanpa nasi. 

Sementara Soto Padang dan Soto Bandung rasanya memang teman santapnya nasi.  Harga Soto Mi Bogor  kalau yang daging hanya tetelan bisa didapat di kaki lima sekitar Rp15 ribu. Tetapi kalau daging lebih mantap, harganya bisa Rp20 ribu.

Soto yang kelima yang dekat dengan saya adalah Soto Madura yang juga soto bening. Nah yang ini berbahan dasar suwiran ayam, ada bihun dan telur,  Di dekat rumah saya warung kaki lima Soto Madura yang kerap saya singgahi untuk sarapan karena porsi campur nasinya pas untuk itu.  Namun kalau disantap dengan kerupuk bulat kampung lebih mantap.  Tambahan jeruk nipis, sambal dan kecap memang menambah cita rasa.  Harga kaki lima ya, jatuhnya rata-rata Rp15 ribu.

Bagaimana sejarah soto bermula? Hampir semua referensi mengacu pada tulisan sejarawan Prancis tentang Indonesia Denys Lombard dalam bukunya "Nusa Jawa Silang Budaya 2",  menyebut soto berasal dari makanan populer abad ke-19 yang aslinya bernama caudo atau jao to. 

Dalam dialek hokian, 'caudo' atau 'jao to' berarti 'rerumputan' jeroan atau jeroan berempah. Lombard menyebut caudo pertama kali populer di Semarang di abad ke-19 dan kemungkinan dari sini menyebar ke tempat lain.

Dari dua makna tersebut, makanan tersebut adalah makanan yang berbahan dasar utama perut binatang, jeroan yang kaya akan kaldu, lemak, berempah dan harum. Orang Tionghoa biasanya menggunakan babi.  Di tangan orang Indonesia diganti sapi dan kerbau, kemudian ayam. Pada abad ke-19, itu sebutan soto sangat populer diperuntukkan kepada penjual yang biasanya menggunakan pikulan saat menjajakan dagangannya.

Saya  setuju dengan pandangan Lombard, kalau dilihat dari lima soto favorit saya kesamaannya cukup banyak. Kalau sejarah soto ibarat sungai mengalir, mata air dan hulunya adalah Soto Semarang dan kuahnya bening lalu mengalir hingga muara melalui cabang-cabang sungai.

Soto Kudus, kalau dilihat dari komposisinya tidak terlalu beda, karena menurut sjeumlah referensi Soto Semarang juga enak dimakan dengan sate telur puyuh, perkedel  dan aneka sate lainnya. Begitu juga dengan soto lain, seperti Soto Lamongan, Soto Banjar dari bentuk penyajiannya sebetulnya tidak terlalu beda dan adaptasi dengan selera lokal masing-masing. 

Sekalipun dua soto itu jarang sekali saya santap. Tetapi penyebarannya bisa saya prediksi, perantau Minang ke Jawa membawa resepnya, juga perantau Makassar atau orang Jawa ke Banjar? Memang harus dibuktikan dengan penelitian, tetapi logikanya masuk.  Daerah-daerah yang menyajikan soto bening kalau tidak sukunya yang gemar merantau, daerah itu tempat singgah orang Jawa.  untuk soto bening akarnya sama, setidaknya seperti mengikuti alur sungai masih dalam cabang yang sama.

Nah yang saya tidak tahu bagaimana dengan alurnya bisa jadi  soto santan, tetapi kalau dilihat dari asal usulnya jeroan seperti yang diungkapkan sejarawan Denys Lombard, justru soto santan, seperti Soto Betawi, Soto Tangkar yang isinya banyak menawarkan jeroan (walau sapi)  malah lebih mendekati. Apa mungkin ada pengaruh budaya Arab dan India?  Terutama untuk orang Betawi pengaruh Tionghoa dan Arab sama kuatnya, seperti dialek ada yang menyebut ane dan gue.

Irvan Sjafari

Referensi Tambahan:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun