Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Banjar 1859-1862, Suksesi, Perdagangan dan Batubara

21 Februari 2021   18:28 Diperbarui: 21 Februari 2021   18:45 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertempuran sungai-Foto:SumberSumber Foto:luk.staff.ugm.ac.id

Perlawanan rakyat Banjarmasin menjadi menarik, karena ternyata bukan sekadar perlawanan terhadap kolonialisme Belanda bukan hanya karena persoalan politik, seperti suksesi di Kesultanan Banjarmasin, tetapi juga ada persoalan menyangkut ekonomi. 

Perang kolonial yang terjadi antara 1859-1862 (bahkan setelah itu dalam skala sporadis dan panjang hingga 1905), bersifat masif dan benar-benar bentrokan yang luas antara masyarakat Suku Melayu, Suku Banjar dan Suku Dayak di pedalaman Kalimantan dengan sasaran benar-benar orang berkulit putih, bukan saja berkebangsaan Belanda, tetapi Inggris, dan Jerman.

Perlawanan ini bukan saja melibatkan golongan bangsawan yang beroposisi terhadap Belanda (serta Sultan yang didukung Belanda),  tetapi juga golongan menengah seperti para pedagang, para haji, hingga kepala suku di pedalaman. 

Kalau saja tidak unggul dari segi persenjataan militer dengan penguasaan medan tempur hutan dan sungai,  dipastikan Belanda bisa terusir dan korban di pihak kulit putih sangat besar. Pada tahap pertama pertempuran korban sipil Eropa begitu banyak, hingga membuat kritikan keras dari orang Eropa di Batavia, bahwa mereka yang bertugas di Banjarmasin, tidak kompeten, tidak peka terhadap persoalan di akar rumput dan kalau pun sudah terlambat. Sumber dari pihak Belanda dan Eropa mengakui hal itu.

Di antaranya apa yang diungkapkan "Syair Perang Bandjar" ditulis oleh orang yang berpihak kepada Belanda menjadi sumber menarik dengan apa yang terjadi di kawasan Banjarmasin antara 1859 hingga 1963.

Syair tersebut diterjemahkan oleh Nikmah Sunardjo and Muhamad Fanani, Muhamad Fanani "Syair Sultan Mahmud Di lingga dan Syair Perang Banjarmasin"  yang diterbitkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada 1992. Antara lain berbunyi:

Mayor Verspyk Residen perkuasa Kepada berperang amat biasa / Menjadikan perintah amat kuasa Berandal banyak rusak binasa/Berandal kota hati melawan/ Tiada takut mati tertawan

Beberapa membuat tingkat kelakuan/Dititahkan pangeran raja bangsawan/ Kawan rajanya jadi kepala Pangeran Hidayatullah Taala/Melawan Gubememen membuat gila /Tiada sadar diberikan cela 

Pangeran Hidayatullah yang kahra/ Jadi mangkubumi memegang bicara/ Raja yang asalnya di dalam negara/Kepadanya banyak rakyat tentara Beberapa banyak orang bernama Pangeran dan Gusti Tumenggung bersama/Orang besar-besar wazir yang utama Melawan Kumpeni jadi panglima 

Saudaranya Pangeran Hidayat yang sakti Raja/Pangeran Wira namanya pasti/ berbangsa asal yang jati/ Menjadi berandal bersungguh hati  (halaman 167).

Menurut buku itu syair itu ditulis oleh  Pangeran Syarif Hasyim ini, Tengku Sayid Muhamad Zain Al-Qudsi, peranakan negeri Riau pada masanya mengangkat pekerjaan peperangan pada segala tanah sebelah selatan dan timur Pulau Kalimantan.

Dari syair itu Pangeran Hidayatullah di mata Belanda (dan orang yang pro Nusantara  terhadap kolonial) tersirat bahwa penyebab meletusnya peperangan di kawasan Kalimantan Selatan ini terkait soal tahta.

Latar Belakang

Sejak awal abad ke 17, pada 1606  sudah ada kontak Kesultanan Banjarmasin dengan pihak Barat, di melalui United East India Company. Beberapa bentrokan terjadi, sebagian karena kontrak yang disepakati  terutama kontrak pengiriman lada.  Yang paling serius bentrokan bersenjata pada 1638 di Kota Waringin yang menewaskan 64 orang Belanda dan 21 orang Jepang.

Pada 1809 Daendels memutuskan untuk meninggalkan Banjarmasin (biaya yang terlalu mahal) dan pada 1811 Inggris menetap di sini. Pada 1816 Inggris pergi, Belanda pun masuk pada Desember tahun itu  menandatangani kontrak baru dengan Sultan. Pada Januari, bendera sultan diganti dengan bendera Belanda dan sejak itu beberapa pemberontakan kecil terjadi.

Ketidakpuasan warga muslim Banjar  meningkat. Setiap kali terjadi kerusuhan sosial di Kesultanan, Sultan yang baru memanggil pasukan Belanda untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akibatnya, sentimen anti-Belanda tumbuh subur.

Ketika pewaris takhta pangeran meninggal pada1852, pemerintah Hindia Belanda mengangkat putra palsunya TamjidIllah II menjadi pewaris takhta dan gubernur kelak menjadi pemicu sebuah konflik besar.

Pada 1853,  Sultan Adam  mengirim duta ke Batavia memohon kepada pemerintah agar memperbaiki ketidakadilan ini dan untuk mengakui Hidayatullah, putra mahkota yang lebih muda namun sah, sebagai pewaris takhta.

Sayangnya, sebelum ada perubahan kebijakan, Sultan Adam wafat pada 1857 dan digantikan oleh TamjidIllah. Perebutan kekuasaan berkembang antara TamjidIllah dan Hidayatullah. Akibatnya sebagian besar masyarakat Banjar berdiri di belakang Hidayatullah sangat membenci penunjukan TamjidIllah.

Residen tidak sanggup melakukan tugas itu dan meremehkan tanda-tanda pemberontakan yang akan datang. Perlawanan penduduk segera berbalik melawan otoritas Belanda dan mulai berbentuk perang agama.

Pemerintahan TamjidIllah lemah dan kehilangan wibawa,  menyebabkan gangguan meluas, sehingga pemerintah turun tangan, mengirim Kolonel Andresen ke Banjarmasin, yang turun ke sana pada  29 April 1859 dan mengambil alih komando militer. Pada 1 Mei mengambil alih pemerintahan sipil ketika perang sudah pecah.

Motif  Ekonomi dalam Perang Banjar Belanda 

Intervensi Belanda pada urusan internal Kesultanan Banjarmasin bermotif ekonomi.  Belanda melakukan investasinya dalam pertambangan batu bara "Oranye Nassau" di Pengaron, dan "Julia Hermina" di Banyu Ireng. Kedua tambang ini mendatangkan hasil yang cukup banyak. Karena itu Belanda memerlukan sultan yang dapat mereka kendalikan.

Tambang Batu Bara Julia Hermina diusahakan oleh Hindia Belanda pada 1853. Lokasi situs ini di Kalangan dan Desa Banyu Irang, Kecamatan Bati Bati, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Ketika didirikan, lokasi tambang ini menempati wilayah milik Kesultanan Banjarmasin dan termasuk Distrik Maluka.

Daerah-daerah tempat tambang batubara tersebut baik Tambang Batu Bara Oranje Nassau maupun Tambang Batu Bara Julia Hermina merupakan tanah lungguh yang diberikan oleh Sultan Adam kepada mangkubumi bernama Ratoe Anom Mangkoe Boemi Kentjana. Namun karena diambil Belanda, maka sebagai gantinya mangkubumi mendapatkan empat puluh gulden  untuk setiap ton batubara yang dihasilkan.

Batubara pada pertengahan abad ke 19 menjadi  komoditas dan primadona baru yang sangat diperlukan untuk menggerakan berbagai mesin industri. Batubara juga menjadi bahan bakar untuk kapal-kapal yang berlayar, sehingga mahal harganya. Sementara, kapal-kapal Belanda, baik kapal dagang maupun kapal perang yang memerlukan batubara untuk bahan bakar mesin uapnya.

Di satu sisi terlalu mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk mendatangkan batubara dari negara Eropa lain. Dengan keberhasilan eksplorasi, batubara yang sangat besar potensinya di Tanah Banjar. Belanda mengabaikan bahwa batubara telah ditambang oleh rakyat secara tradisional.

Tambang Batubara Oranje Nassau di Pengaron adalah tambang batubara pertama yang didirikan oleh Belanda pada 1849. Tambang batubara ini menjadi simbol penguasaan kolonialisme.

Selain rakyat yang menjadi penambang batubara tradisional, dari pihak rakyat Banjar, kelompok haji dan pedagang juga merasa dirugikan, karena pengaruh kekuasaan, dan monopoli perdagangan Belanda yang semakin lama semakin luas, merupakan satu dari kelompok yang sangat keras melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Pangeran Tamjidlah.

Belanda mengatur harga beli dan kewajiban pedagang untuk menjual komoditas tertentu hanya kepada Belanda; sebaliknya para pedagang Banjar juga harus membeli komoditi tertentu kepada Belanda dengan harga yang telah ditetapkan oleh Belanda.

Itu sebabnya selain didorong oleh motif keagamaan, terdapat motif ekonomi. Perlawanan rakyat Banjar juga didukung  sejumlah besar pedagang Banjar.  Di antaranya terdapat nama para pedagang yang berasal dari Marabahan. 

Di antara nama-nama pedagangseperti , Datu Aling sebagai tokoh masyarakat berpengaruh di daerah Muning   H. Matarif, H. Matamin, dan Kyai Masdipati Jaya yang merupakan pedagang besar dari suku Dayak Bakumpai. Sebagai pedagang besar, mereka memiliki jaringan dagang bahkan sampai ke Singapura.

 

Pimpinan Utama Perlawanan

Selain Pangeran Hidayatullah pemimpin perlawanan utama di antaranya,

Pangeran Antasari, Pangeran Antasari memiliki nama asli Gusti Inu Kartapati yang lahir di Kayu Tangi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan pada 1797.  Antasari dibesarkan dalam lingkungan Kesultanan Banjar.  Ayahnya merupakan Pangeran Masohut (Mas'ud), sedangkan ibunya Gusti Hadijah. Pangeran Antasari memiliki adik perempuan bernama Ratu Antasari (Ratu Sultan).

Aktivitasnya sebelum Perang Banjar hanyalah pemilik tanah lungguh di Muara Mangkauk sampai daerah Wilayah dekat Rantau. Tanah miliknya menghasilkan kurang lebih 400 gulden dalam setahun. Dia berkedudukan di Antasan Senor di Martapura.

Jika dilihat dari garis keturunannya, Pangeran Antasari sebetulnya adalah pewaris Kesultanan Banjar dari garis Sultan Kuning, yang kehilangan takhta setelah kekuasaannya terputus pada pertengahan abad ke-18. Itu terjadi karena adanya konflik internal kerajaan. Akibatnya, hak atas Banjar beralih ke garis keturunan Pangeran Hidayatullah.

Diceritakan dalam Republik Indonesia: Kalimantan terbitan Kementerian Penerangan, 1953 pemerintah kolonial yang sudah mengetahui garis keturunan Pangeran Antasari, memutuskan melengserkan Sultan Tamjid dan mengangkatnya menjadi sultan baru. Namun Pangeran Antasari menolak. Dia lebih menghendaki Pangeran Hidayatullah duduk di takhta Banjar.

Pimpinan utama berikutnya ialah  Tumenggung Surapati, kepala suku Dayak Bakumpai-Siang yang memihak kepada Pangeran Antasari. Dia kemudian  menjadi panglima perang dalam Perang Barito yang merupakan bagian dari Perang Banjar.

Demang Lehman lahir di Barabai, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan pada 1832. Diceritakan Tamar Djaja dalam Pustaka Indonesia: Riwajat Hidup Orang-orang Besar Tanah Air, ia terlahir dengan nama Idis. Nama Demang Lehman sendiri didapat setelah ia masuk ke dalam lingkungan Kesultanan Banjar sebagai pengikut Pangeran Hidyatullah.

Tumenggung Abdul Jalil. Nama lahirnya Jalil, kemudian bergelar Tumenggung Macan Negara(nama populer Tumenggung Jalil),, kemudian bergelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja (lahir di Kampung Palimbangan, Hulu Sungai Utara tahun 1840. 

Jalil gugur di Benteng Tundakan, Balangan pada  24 September 1861 pada umur 21 tahun) adalah panglima perang dalam Perang Banjar dengan basis pertahanan di Banua Lima, pedalaman Kalimantan Selatan. Jalil merupakan seorang jaba (Banjar: bukan berdarah bangsawan) tepatnya seorang jawara.

Penghulu Rasyid (lahir di desa Telaga Itar tahun 1815 -- meninggal di desa Banua Lawas, 15 Desember 1861 pada umur 46 tahun) adalah salah seorang di antara sejumlah ulama Islam yang bangkit bergerak berjuang mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dalam Perang Banjar. Ayah dari Penghulu Rasyid bernama Ma'ali adalah penduduk kampung Telaga Itar. Rasyid diperkirakan lahir sekitar 1815.

 

Serangan ke  Tambang Batubara

Ketidakpekaan otoritas Belanda  menyebabkan perang pecah dan terlebih dahulu membawa korban sipil.  Pada  April 1859, massa penyerang tambang batu bara Julia Hermina, simbol keserakahan Belanda. Sejumlah pekerja tewas dan bangunannya hancur.  Di antaranya yang tewas terdapat nama James Motley (1822-1859), seorang insinyur tambang  dan ahli ilmu alam dari Inggris yang menjadi tenaga ahli di tambang itu. Motley terbunuh bersama istri dan anaknya.

Sebuah sumber menyebutkan sebetulnya sudah ada desas-desus terkait kerusuhan kerusuhan, tetapi Motley telah menulis kepada ayahnya di Pulau Man pada  18 April 1859, yang isinya tidak perlu kawatir.

Pemerintah Belanda menyalahkan perwakilan mereka di  Banjarmasin karena tidak memperingatkan mereka tepat waktu. Pemberontakan Belanda terdiri dari pengikut HIdayatullah , Orang Dayak dan penduduk asli lainnya  memberontak.

Motley  baru menyadari bahaya, setelah terjadi serangan pertama pada 28 April 1859 di Pengaron. Pengawas  berkebangsaan Belanda terbunuh, tapi pejabat Wymalen kembali ke rumahnya bersama keluarganya dan membela diri. Setelah tiga jam, rumah itu dibakar dan semuanya tewas, termasuk empat anak.

James Motley tewas  pada  1 Mei 1859, di tempat kerjanya. Awalnya, istri dan ketiga anaknya diharapkan telah melarikan diri. Bantuan militer telat.  Pasukan kecil di bawah Kolonel Anderson mencapai daerah itu tiga sampai empat hari kemudian, dia melaporkan bahwa semua orang kulit putih telah terbunuh  Di daerah lain, empat misionaris, istri, dan 19 anak mereka tewas.

Semua fasilitas milik orang Eropa hancur, rumah, tambang batu bara, dan semua harta benda mereka, termasuk koleksi Motley. Lebih dari 100 orang kulit putih  telah terbunuh . Penambangan lokal ini tidak pernah dimulai kembali (https://www.orchidstudygroup.org.uk/james-motley-the-life-story-of-a-collector-and-naturalist/) .

Aksi militer mendapat perlawanan keras. Sebuah divisi tentara Hindia Belanda yang dipimpin oleh Letnan Beeckman  malah terkepung di Pengaron dan dikepung oleh para pemberontak selama 7 April hingga 18 Juni 1859. Beeckman mencoba membentengi pos tersebut sebaik mungkin dan mampu menangkis serangan dari para pemberontak.

Situasinya menjadi mengerikan ketika para pelaut dari pemuatan moors, yang merupakan sebagian kecil dari garnisun, ditinggalkan dan para pemberontak telah membawa ternak untuk disembelih, kekurangan muncul.

Sementara serangan terhadap orang Eropa terus berlanjut. Petugas kesehatan Diepenbroek tewas  oleh seorang penjaga rantai dan seorang utusan yang dikirim ke komandan militer di Banjarmasin telah jatuh ke tangan pasukan perlawanan. Sekalipun serangan malam berhasil dipukul mundur, tetapi lebih dari enam minggu akan berlalu sebelum dia dibebaskan dari penderitaannya.

Baru pada 15 Juni, 250 tentara  dengan beberapa artileri dan insinyur datang membantu menduduki Pengaron dan orang-orang itu dibebaskan.

Peristiwa lainnya pada 1859

Pada hari-hari pertama  Juni 1859  telah tiba: 5 kompi dari batalion infanteri kesembilan, 43 artileri dengan 4 meriam perunggu, 2 howitzer, 2 mortir dan setengah kompi penyapu ranjau. Sementara itu, Kolonel Andresen telah diangkat menjadi panglima tertinggi dan komisaris pemerintah dan residen digantikan oleh Tuan Bosch.

Hidayatullah bermarkas  di Martapura dan Kolonel Andresen percaya bahwa perdamaian akan segera pulih ketika Tamjidllah  sebagai sultan memberi jalan kepada Hidayat, yang benar-benar dapat menuntut lebih banyak hak atas takhta dan didambakan oleh rakyat.

Untuk menghubungi pangeran ini Andresen memutuskan untuk bergerak ke Martapura. Tanpa menemui perlawanan apapun, kelompok terdepan dari angkatan bersenjata Belanda menguasai Kraton, sedangkan kelompok utama berkemah di dekatnya.

Andresen bersikeras agar Hidayat naik takhta ketika dia ditemukan tidak bersalah dan terlibat atas serangan terhadap orang sipil Eropa.

Pada 25 Juni, Sultan Tamjidllah yang berkuasa turun tahta tetapi gangguan terus berlanjut. Gudang garam di Pulu Petak, di sungai, sedikit lebih tinggi dari kampung, ditempati oleh Letnan Bichon dengan 60 orang dan ditempatkan di pertahanan terbaik diserang pada 23 dan 24 Agustus  di mana Letnan Bichon terluka parah oleh serangan tombak.  Perwira ini tewas karena luka itu.

Para penyerang dipukul mundur dan Letnan Komandan Clifford Kocq van Breugel untuk sementara mengambil alih komando.

Demang Lehman, musuh yang akan segera menjadi jiwa pemberontakan, mencoba menyerang markas Belanda di Martapura pada  30 Agustus, sore hari.  Belanda tidak menduga pasukan Lehman  maju dengan hampir 1.000 orang Dayak menuju Kraton dan berhasil menembus ke dalam benteng. secara kebetulan, ada pemeriksaan senjata dan karena itu pasukan sedang bergerak. Maka penyerangan itu dipukul mundur, meskipun pemberontak yang telah membuka pintu gerbang sudah masuk ke kediaman Komandan Boon van Ostade.

Keberanian para pemberontak semakin meningkat dan mereka menduduki benteng di Tabanio yang sempat dievakuasi oleh pasukan Belanda pada 1854. Untuk mengusir musuh dan juga untuk mendapatkan Demang Lehman yang berbahaya, seorang kapten-letnan di laut dari Hasselt dikirim ke sana dengan kapal uap Ardjoeno, Montrado, Celebes, Onrust dan Boni. Sementara sebuah detasemen dari 70 infanteri disediakan untuknya. Benteng itu lega tetapi para pemberontak berhasil melarikan diri.

Pada 27 September 1859 pertempuran terjadi  di benteng Gunung Lawak yang dipertahankan oleh Kiai Demang Leman dan kawan-kawan. Dalam pertempuran ini kekuatan pasukan Kiai Demang Lehman ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan musuh sehingga ia terpaksa mengundurkan diri.

Setelah rakyat berkali-kali melakukan penyerangan gerilya, Belanda setalah beberapa waktu lamanya menduduki benteng tersebut, kemudian merusak dan meninggalkannya. Sewaktu meninggalkan benteng, pasukan Belanda mendapat serangan dari pasukan  Demang Lehman yang terus  aktif melakukan perang gerilya di daerah sekitarnya.

Sementara itu, wilayah di sekitar Martapura, Belanda berhasil merebut kembali markasnya. Namun Lehman dan anak buahnya menyergap dan menembaki tempat tinggal penduduk Eropa.

Andresen masih berpegang pada kebijakan yang ditempuh hingga saat itu, menggantungkan harapan pada Hidayat. Pencopotan Sultan Tamjidllah gagal memenuhi tujuannya dan Hidayat enggan pergi ke Martapura.

Di Batavia disadari bahwa tindakan yang lebih tegas harus diambil terhadap pemimpin pemberontakan yang sebenarnya, dan itulah sebabnya Andresen digantikan oleh Mayor Verspyck, yang diangkat menjadi Panglima Tertinggi dan pejabat residen; Mr Nieuwenhuijzen ditunjuk sebagai komisaris pemerintah untuk Banjarmasin.

Jalannya perang di bawah Verspyck

Verspyck lebih menyukai aksi militer  kuat dan memutuskan untuk menaklukkan Tanah Laut dan maju lebih jauh ke pedalaman ke Amuntai untuk menangkap Hidayat. Tanpa menunggu kedatangan bala bantuan dari setengah batalion infanteri dan satu seksi artileri, dia telah memulai operasi.

Para pemberontak telah bersatu di Sungkey, dan Kapten Benschop dikirim ke sana dengan satu kolom, yang di sana disatukan dengan yang lain di bawah komando Kapten Graas.  Mereka disergap di Muning oleh sejumlah orang Dayak,  namun pasukan Dayak mengundurkan diri  Pasukan perlawanan kemudian membanun benteng yang kuat di Muning sehingga dikatakan dapat menahan serangan apapun.

Demang Lehman, Aminulah dan kepala suku lainnya dilaporkan dipersatukan dengan 2.000 orang bersenjata. Lehman akan mencegah datangnya pasukan dan sekarang seluruh penduduk telah mengangkat senjata dan bersumpah untuk menguduskannya di dalam darah musuh. Verspyck menganggap perlu untuk mengangkat senjata melawan bala bantuan yang tangguh ini dan operasi dipimpin sendiri.

Pada  28 Desember, satu kolone yang terdiri dari 200 infanteri dan penyapu ranjau, dengan 2 meriam dan 3 mortir, bergerak menuju Soenkey (sunkei?), di mana sebuah bivak didirikan. Keesokan paginya mereka tiba di sebuah benting dari sebuah bentuk benteng, yang terletak di bukit Moengoe Thayor (Munggu?), di mana di kaki sungai kecil itu mengalir.

Pasukan Deman Lehman melepaskan tembakan, yang dijawab oleh artileri. Setelah serangan dimulai oleh api ini dan artileri musuh dibungkam, Kapten Graas dan kawan-kawannya melanjutkan penyerangan, sementara Letnan Verstege dan Epke membuat gerakan memutar dengan peleton mereka, yang memaksa musuh untuk membersihkan benting.

Awalnya Moengoe Thayor ditempati oleh 200 orang; para pemimpin utama tetap tinggal di luar kampung untuk mempersenjatai penduduk melawan pasukan Belanda.

Pada 30 Agustus 1859, Verspyck melakukan pengintaian dengan 80 orang dan sepucuk senjata, tetapi hujan lebat telah membentuk anak sungai dan sungai dan membasahi tanah; medannya begitu sulit dilalui sehingga seseorang harus kembali.

Keesokan harinya, Kapten Schiff dikirim ke pengintaian dengan 100 orang dan tiga pounder, dan, terus-menerus diganggu oleh musuh, berhasil melewati Benua Padang dan mengusir pasukan Lehman.

Serangan Terhadap  Kapal Onrust, 26 Desember 1859

Para pejuang Banjarmasin mencatatkan prestasi dalam pertempuran di atas Sungai Barito pada 26 Desember 1859.  Menurut sumber Belanda, Letnan C. Bangert ditugaskan untuk membujuk seorang Tumenggung Surapati untuk mengekstradisi Pangeran Antasari yang sudah menyingkir di Amuntai. Belanda bekerja sama denan pemuka setempat Haji Mohamad Saib sebagai juru rundingnya,

Yang terjadi justru Surapati menyerang kapal  kapal uap Onrust tempat perudingan. Saib yang lolos melaporkan tetapi dia melakukan serangan berbahaya dengan para pengikutnya di atas kapal sehingga para perwira dan awak kapal yang tidak dapat melawan semuanya dibunuh.

Said lolos dari pembantaian,melaporkan;menurutnya, setelah mendapat sambutan yang ramah, tiba-tiba Surapati menampar Letnan Bangert dengan klewangnya (mandau). Dengan teriakan seruan, para pengikutnya melompat ke atas kapal dan menyerang semua serdadu dan awak kapal. Perahu lainnya berdatangan dalam sekejap 600 hingga 700 orang memasuki kapal.

Sebanyak lima perwira, seorang juru tulis dan 43 bawahan mereka tewas dalam pertempuran itu. Kapal Onrust sendiri akhirnya tenggelam ke dalam sungai. Lima orang Eropa sebetulnya sempat melompat ke sungai, namun juga tertangkap dan terbunuh.

Pertempuran ini merusak prestise dan reputasi militer Belanda. Di negerinya, terdapat kekecewaan besar  dan pertanyaan mengapa sikap bermusuhannya penduduk Banjarmasin begitu besar.

Kapal Onrust-Sumber Foto: luk.staff.ugm.ac.id
Kapal Onrust-Sumber Foto: luk.staff.ugm.ac.id
Pada awal  1860 sebuah ekspedisi angkatan laut dibentuk yang terdiri dari kompi ketiga dan keenam dari batalion ketujuh, beberapa pasukan artileri dan insinyur; kekuatan maritim terdiri dari Boni, Suriname, sebuah longboat, dan 3 kapal pemuatan besi.

"Pengkhianatan Surapati  harus dituntut dengan balas dendam berdarah. Darah teman-temanmu yang terbunuh hanya bisa dicuci dengan darah para pembunuh; hukumannya harus seperti kejahatan, berat," ujar Verspiyck  dalam sebuah sumber Belanda.

Ekspedisi pembalasan itu dikirim ke Lontontor, sebuah desa antara Muara Tewe dengan Buntok pada Februari 1860.  Namun pasukan Suropati juga siap dan  memiliki kesempatan untuk mempersiapkan  perlawanan. Dia  dan anak buahnya melakukan kerja lapangan, di mana meriam dari kapal uap Onrust  dibawa ke darat oleh orang-orang Surapati untuk digunakan.

Ketika Suriname  mendapat sambutan meriah.  Peluru meriam yang ditembakan pasukan Suropati menembus boiler (mesin uap). Begitu infanteri mendarat, Kapten Ravesteijn akhirnya memutuskan untuk menghindari posisi musuh. Musuh tidak menderita kerugian serius karena tidak bertahan di sana. Tidak ada lagi yang ditemukan dari meriam Onrust itu sendiri.

Masyarakat Banjar dan Dayak membangun benteng terapung untuk menghalau serangan kapal-kapal Belanda di perairan Sungai Barito, yang disebut sebagai Lanting Kotamara. Masyarakat Dayak memanfaatkan kayu hutan Kalimantan sebagai sumber kekuatan perang.

Dinding benteng terapung ini dibuat berlapis-lapis sehingga sukar ditembus peluru senapan, ataupun peluru meriam Belanda. Kapal itu dikemudika oleh beberapa orang Suku Dayak.

Lanting Kotamara dipersenjatai beberapa pucuk meriam dan lila atau meriam ukurannya agak kecil. Selain kapal perang Onrust yang berhasil ditenggelamkan pada 26 Desember 1859, sebelumnya yaitu pada Juli 1859 juga ditenggelamkan kapal perang Cipanas dan terlibat pertempuran jarak dekat dengan kapal perang Celebes dalam pertempuran di sepanjang Sungai Barito di sekitar Pulau Kanamit

Perang Banjar Barito karya Ahmad Barjie, disebutkan bahwa Lanting Kotamara dirancang oleh seseorang yang bernama Raden Jaya Anum dari Kapuas Tengah.

Operasi  MIliter 1860

Dengan menduduki berbagai pos, angkatan bersenjata  Mayor Verspyck terpecah-pecah; Juga karena banyaknya orang yang sakit, sehingga tidak ada lagi pasukan yang tersisa untuk melanjutkan operasi tersebut.

Demang Lehman dan Pangeran Antasari bersama Pangeran Hidayat bergeriliya di pegunungan dekat Ambawang dan mencoba melakukan perlawanan dari sana. Verspyck membagi daerah itu menjadi komando militer.

Verspyck  mengambil Banjarmasin di bawah pemerintahannya sendiri; Mayor Koch dan Kapten Van Oijen ditempatkan sebagai kepala departemen lain; kemudian administrasi sipil akan diperkenalkan.

Otoritas Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengumumkan Kerajaan Banjarmasin yang berpemerintahan sendiri telah lenyap dan selanjutnya akan jatuh di bawah wilayah langsung Hindia Belanda di Divisi Selatan dan Timur Kalimantan.

Yang terjadi justru para ulama  berhasil membawa rakyat  ke dalam perang agama dan pemberontakan menjadi perang sabil.

Setelah batalion batuan dari Jawa tiba, Verspyck maju ke Martapura yang terancam. Akibat dari tindakan tersebut adalah penyerahan senjata dan pembaruan sumpah setia kepada pemerintah.

Pada 18 September 1860 di bawah pimpinan Mayor Schuak dan dibantu Kapten Koch bergerak ke Gunung Madang. Pasukan Belanda kali ini membawa sebuah howitser, sebuah meriam berat dan mortir. Pertempuran terjadi menjelang pukul 11.00 siang, ditandai dengan tembakan dari Demang Lehman.

Mayor Schuak yang berani mendekati benteng dengan pasukannya, kena tembak oleh anak buah Tumenggung Antaluddin. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam, namun tembakan pasukan pejuang Banjar dengan jitu mengenai serdadu pembawa meriam itu. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri.

Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju, namun kemudian kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dia tewas.  Serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Akhirnya mereka dengan bergegas menggotong mayat Koch dan berlari meninggalkan medan pertempuran, langsung mengundurkan diri kembali ke Benteng Amawang.  Selain Koch tewas juga Letnan Satu  CGJ Hamming tewas  di Gunung Madang pada  23 September 1860 karena  kena tembak di dada.

Karena Haji Abdullah yang menyusun rencana ini, maka Letnan Van Emde diperintahkan untuk menangkapnya di Bukit Madang  dengan satu detasemen ke rumah haji. Letnan Verspyck dan Van der Wijck mengepung rumah tersebut, tetapi Abdullah tiba-tiba mengamuk bersama penduduk menyerbu 

Tiga tentara Belanda  tewas seketika  dan sebelas luka parah di antaranya  Letnan Van Emde luka serius dan  dibawa ke Amuntai di mana dia tewas karena luka serius.

Jika beberapa bagian telah diserahkan, sebuah pos didirikan di sana untuk mencegah mereka disita lagi. Medan pertempuran biasanya ditutupi dengan hutan rawa, berpotongan dengan banyak aliran sungai, sehingga perang membutuhkan banyak tenaga dari pasukan.

Operasi  Militer pada 1861

Pada 1861, Hidayatullah sudah dekat dengan pasukan mengejar.  Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan perjalanan pasukan Belanda gagal dan mereka harus kembali dengan tangan kosong karena menderita demam dan disentri.

Roy-van-Zuijdenwijn-Charle De Veer de Rochemont berhasil mendapatkan keuntungan besar dengan menyerbu beberapa benteng di Batu Putih.

Namun pasukan Lehman justru menyerang Tanah Laut lagi sehingga pasukan harus dikirim. Sekarang senjata diputar melawan Antassari, yang berada di Gunung Tongka. Verspyck menunjuk Kapten Van Vlot di Ampah sebagai komandan ekspedisi.

Ketika kapten De Roy van Zuijdewijn tiba di sana pada 25 September dengan pasukan dan artileri, Van Vlot maju ke Ramonia (Tandjong Allang), di mana dua pasukan perlawanan berada. Luchtmans G Van Vlot memberi perintah kepada Kapten Labaar untuk menarik benteng besar di sebelah kiri dengan penjaga depan.

Letnan satu Schade van Westrum harus menyeberangi sungai dengan 40 orang dan mengitari benteng yang lebih kecil di sebelah kanan. Pada waktu itu  Letnan van der Hoek menerima tembakan fatal di dada; dalam waktu singkat kolone memiliki 2 orang tewas, 8 serius dan 12 luka ringan, dan musuh yang terlindungi dengan baik terus mempertahankan menembak  dari celah di tembok pembatas.

Pasukan Belanda  maju ke Gunung Tongka, setelah itu pertentangan berat pertama dihadapi di kampung Pelarie. Dalam anggapan bahwa benteng di Bukit Tongka setinggi 200 meter itu belum terisi dengan kuat, Van Vleet langsung memutuskan untuk mencoba menyerbu, tetapi dihentikan oleh penanaman di punggung bukit yang lebat.

Seorang tentara Demang Lehman melepaskan tembakan dan Van Vleet terkena salah satu tembakan pertama. De Roy van Zuijdewijn diperingatkan dan menemukan Van Vleet sekarat." Katakan pada Mayor Verspyck bahwa aku merasa seperti prajurit yang baik adalah kata-kata terakhirnya," katanya. Van Vleet tewas.

Namun pasukan perlawanan mengundurkan diri dari benteng.

Jalannya Perang pada 1862

Pada 1862  secara militer Belanda menunjukan keunggulannya. Sumber Belanda menyebutkan awal 1862 Hidayat sebetulnya akan menyerah; dia menyatakan bahwa dia siap untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuknya. Tetapi pada malam  3 Februari 1862, Hidayatullah tiba-tiba meninggalkan Martapura bersama istri dan pengiringnya, di bawah pengaruh Pangeran Antasari.

Dua pasukan, dipimpin oleh Kapten Engel dan Schepens, dibentuk untuk menangkap Demang Lehman dan membawa kembali Hidayatullah. Langkah-langkah yang sekarang diambil begitu efektif sehingga Hidayat tidak mungkin melarikan diri dan penduduk tidak berani memberontak lagi.

Dalam buku "Pegustian dan Temanggung: Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti, Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (2014)" karya Helius Sjamsudin, menuturkan pihak Belanda membalas serangan Pangeran Antasari dengan menyekap keluarga Pangeran Hidayatullah II. Mereka juga meminta Pangeran Hidayatullah II untuk keluar dari persembunyiannya.

Dengan terpaksa, Pangeran Hidayatullah II harus keluar dari persembunyiannya untuk menyelamatkan keluarganya. Namun sesampainya di Istana, Pangeran Hidayatullah II ditangkap Belanda dan diasingkan menuju ke Cianjur.

Antasari, Demang Lehman, Tumegung Surapati Melawan Sampai Akhir Hayat

Kelompok Antasari telah menyebar setelah jatuhnya benteng utama, pemberontak di bawah Lehman dan kepala suku lainnya dikejar dari Allei dan Amandit ke Petap di mana mereka pindah ke pegunungan.

Sebuah kolone yang dipimpin oleh Kapten Van Bennekom dikirim ke sana dan dari 26-28 Juni 1862 memukul pasukan Antasari  di Gunung Batu dan Bukit Datap. Namun pasukan Belanda menderita kerugian perkemahan di Langkap dihancurkan tentara Antasari.

Perang Banjar mulai meredup ketika Pangeran Antasari mengidap penyakit keras yang menyerang paru-paru hingga cacar. Meskipun demikian Pangeran Antasari untuk menjadikan Kesultanan Banjar sebagai wilayah berdaulat tidak padam. Antasari meninggal pada Oktober 1862 dan menitipkan pesan kepada para pengikutnya untuk terus berjuang hingga titik darah penghabisan.

Pihak Kolonial Belanda secara resmi beranggapan perlawanan berakhir pada 1862. Sekalipun sumber kolonial masih mengakui beberapa "geng bersenjata" masih berkeliaran. Pemimpin utama rakyat seperti  Demang Lehman ditangkap oleh pengkhianatan anak buahnya sendiri dan dibawa ke Banjarmasin, dimana dia dijatuhi hukuman gantung pada 1864.

Pada 8 Maret 1863, Verspyck menyerahkan administrasi sipil dan komando pasukan kepada Kolonel Happ. Secara keseluruhan, Pihak Belanda mengakui kerugian militer sebanyak 204 perwira dan serdadu tewas dalam pertempuran di Bandjermasin, sementara 799 perwira dan serdadu  lainnya luka-luka.  Itu belum termasuk korban sipil Eropa yang berjumlah ratusan.

Perlawanan masih berlanjut. Pada 25 September 1864 Tumenggung Surapati beserta pengikutnya menyerang benteng Belanda di Muara Teweh dan membunuh dua orang penjaga benteng. Karena kejadian ini, pada Maret 1865 di Muara Teweh didirikan pertahanan yang berkekuatan 4 orang opsir, 75 serdadu yang dilengkapi dengan meriam 2 pon dan 2 mortir.

Setelah menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875 Tumenggung Surapati meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena sakit. Tumenggung Ajidan putera Tumenggung Surapati meneruskan perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari. Kalau keluarga Sultan Muhammad Seman yang tertangkap dibuang ke Bogor (Jawa Barat) maka keluarga Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke Bengkulu, Sumatra.

Para Perwira Belanda yang tewas dalam pertempuran atau sebab lain selama Perang Banjarmasin (menurut sumber Belanda).

  1. J.J. Bichon, Letnan Dua Infanteri J.J. Bichon tewas  dalam pertempuran di Poeloe Petak pada  23 Agustus 1859  setelah mendapat luka tombak di perut.
  2.  C.F. Diepenbroek, petugas kesehatan  tewas Pengaron, 3 Juli 1859, dibunuh oleh seorang pembantunya
  3. H. Gildemeester, petugas kesehatan  meninggal di Banjarrmasin, pada 2 November 1859, setelah menderita  disentri.
  4. C. Bangert, letnan satu infanteri C Bangert  tewas di Lontontoeor pada 26 Desember 1859  dalam pertempuran di atas  kapal Onrust.
  5. Letnan angkatan laut kelas satu JCH Van de Velde  tewas pada  26 Desember 1859  di atas kapal Onrust
  6. Letnan angkatan laut kelas dua F.L.F.K. von Pestel tewas pada 26 Desember 1859 -- di atas kapal Onrust
  7. Letnan angkatan laut kelas dua Van der Kop tewas pada  26 Desember 1859  di atas kapal  Onrust
  8. Letnan komandan, kelas dua J.J. Burr  tewas dalam pertempuran di kapal Onrust. 26 Desember 1859,
  9. Dilg, petugas kesehatan tewas di Onrust, pada 26 Desember 1859
  10. W.K. Waldeck, juru tulis administrasi  tewas di Onrust pada 26 Desember 1859.
  11. Letnan Satu Infanteri  P. Bloendeau  tewas akibat luka tombak di dadanya di Tambooy, pada 5 Februari 1860
  12. Letnan satu infanteri W.J. G Van Dam Van Isselt tewas di  Tabedie, 22 April 1860 karena tertembak di perut
  13.  Kapten Infanteri J. M. D.T. de Jong tewas di Tana Abang, 1 Mei 1860 - meninggal karena dua luka di dada
  14. Letnan infanteri pertama V. L Schwarts  tewas Banjarmasin, 15 Juli 1860 - meninggal karena sebab tak diketahui.
  15. Stammler, petugas kesehatan  hilang di Banjarmasin, 27 Agustus 1860, kemungkinan dibunuh)
  16. Letnan satu infanteri  J.T. A. Van Ende tewas di Sungai Madang pada 15 September 1860  karena berbagai luka dalam pertempuran
  17.  Kapten infanteri J. Koch tewas di Gunung Madang pada  18 September 1860 - meninggal karena luka tembak di dada)
  18.  Letnan Satu  CGJ Hamming tewas di Gunung Madang, pada  23 September 1860 - meninggal karena tembak di dada
  19. Kapten Infanteri H. M. D Schift tewas di Tameang Layang, 29 November 1860  karena sebab tak diketahui
  20. Kapten infanteri S. Meijers tewas di  Amuntai, 10 April 1861 karena penyakit jantung)
  21. Letnan dua infanteri  J. Van de Wijck tewas di Amuntai, pada 4 Mei 1861 karena sebab tidak diketahui
  22. Letnan Dua Infanteri  J.H. Hojel  tewas di  Boven Lampehon, pada  11 Agustus 1861 setelah tertembak di wajahnya
  23. Kapten Infanteri T. C. H Van Fleet tewas di  Tongka, 8 November 1861 - karena luka tembak di dada
  24. Koch, aide-de-camp officer  tewas di Djatoh, 6 Desember 1861  karena berbagai luka tembak
  25. Letnan satu infanteri W. F. H. Voogt  tewas di  Bepinto, 15 Desember 1861, setelah tertembak di rahang)
  26.  Letnan dua infanteri M. W Croes tewas di Margasarie, 20 Desember 1861 setelah mendapat luka di jantung karena pertempuran
  27.  J. van Halderen, ajudan perwira non-komisioner tewas di  Djatoh, 26 Desember 1861 - karena berbagai luka dalam pertempuran
  28. A. Kiezer, adjutant commissioned officer tewas di Barabei-ie, 8 April 1862  karena penyakit liver
  29. S. van Puffelen, ajudan non-commissioned officer tewas di  Sumba, 10 Juli 1862, penyebab  mungkin keracunan
  30. E. Engelhard, ajudan bintara  tewas di Banjarmasin, 25 Juli 1862  karena disentri
  31. HM Vink, letnan dua infanteri HM Vink tewas di Sungai Mantallat pada  6 Desember 1862  karena tenggelam
  32. JC Penning, letnan satu infanteri JC Penning  tewas di Pengaron, 29 Januari 1863  karena sebab tak diketahui

Belanda Lebih Banyak Rugi

Sejarawan  Ricklef menyebut perang antara koalisi Melayu-Dayak dengan Kerajaan Belanda  secara militer dimenangkan Belanda memiliki persenjataan dan kekuatan yang lebih unggul.  Pemerintah Kolonial Belanda menghapus Kesultanan Banjarmasin sama sekali dan mengambil alih kendali langsung.

Perang mengambil banyak korban dari keuangan dan tenaga Belanda. Pemimpin Islam pedesaan memimpin perlawanan yang berani dan teguh. Perjuangan menyebabkan banyak nyawa dan kerusakan besar pada harta benda di banyak bagian Kalimantan bagian selatan bagi Belanda dan orang-orang Eropa. Bahkan tambang batu bara yang jadi alasan untuk perang mengalami kerusakan berat. 

Meskipun pada 1862 pasukan Belanda menunjukan keunggulannya,  namun 'keadaan perang' di Banjarmasin tidak secara resmi berakhir sampai1867. Bahkan kemudian, "perdamaian dipulihkan hanya di wilayah pesisir. Perlawanan sporadis berlanjut hingga 1905.

Irvan Sjafari

 

Sumber daring
attoriolong.com
historia.id
historia.id
kompas.com
nederlandsekrijgsmacht.nl
haruai-wirang.blogspot.com

OVEREENKOMST MET DEN SULTHAN VAN BANDJERMASIN, TOT BEPALING DER GRENZEN VAN DE CONCESSIE TOT ONTGINNING STEENKOLENMIJNEN GENd BANJOEERANG, VAN 30 APRIL 1856. ( Besluit 19 Augustus 1856 No. 6.

orchidstudygroup.org.uk

Bohmer, Karl , "Violence begets violence: Anticolonial mobilisation of ressentiment in 19th Century Borneo"  dalam scielo.org.za

Sumber Buku:

Hendraswati dan Jamalie, Zulfa "Pedagangan dan Gerakan Perlawanan pada masa Perang Banjar (1859-1905)", Yogyakarta: Kepel Press, 2017

Ricklef, MC, "A History of Modern Indonesia", 2008

Sunardjo, Nikmah and Fanani, Muhamad "Syair Sultan Mahmud Di lingga dan Syair Perang Banjarmasin"  yang diterbitkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada 1992

Why, John Van dan  Rooksmaker, Krees, "Alfred Russel Wallace: Letters from Malay Archipelago", Oxford University, 2013

Sumber Foto: luk.staff.ugm.ac.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun