Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Koloni (47)

23 Juni 2017   15:02 Diperbarui: 23 Juni 2017   15:05 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi koloni oleh Irvan Sjafari

Segmen Empat

Persaudaraan Serangga: Pertarungan Mempertahankan Koloni

EMPAT PULUH TUJUH

Waktu dan Tempat Tidak Diketahui

Kalau di masanya dulu di dunia Alif Muharram pergi ke sebuah factory outlet atau distro di Kota Bandung untuk berbelanja pakaian atau sebetulnya sekadar hang out. Alif kurang menyukai mal, kecuali kalau harus menemani adiknya Frisca berbelanja atau menonton film bersama teman-temannya. Kalau makan di luar dia lebih suka makan di warung tenda atau rumah makan yang bukan mal, baik di Bandung maupun Jakarta.

Tetapi di Koloni kegiatan itu diganti makan berkelompok di blok masing-masing atau di blok lain. Kalau menonton hiburan sudah ada pertunjukan dua purnama atau atraksi di pantai peragaan keterampilan. Warga koloni juga mengenal musik mereka ciptakan sendiri.

Atau diam-diam ada para tetua memperdengarkan penyanyi-penyanyi dari Bandung kesayangan Karena mereka kebanyakan dari Bandung- di tempat makan bersama, area tempat duduk-duduk dengan pengeras suara. Alif senyum-senyum sendiri, lagu dari penyanyi Bandung sejak 1960-an komplit di koloni, juga.

Setidaknya dia pernah mendengar Bimbo, Harry Roesli, Giant Step, Kahitna, KSP, RSD, Gigi, Cokelat, Mocca, Burgerkill, Yura hingga penyanyi zamannya. Ada juga sejumlah lagu dari penyanyi luar, namun warga koloni tidak kenal mereka.  Alif tahu lagu ciptaan anak-anak koloni terinspirasi dari penyanyi mereka dengar, mereka gubah  dan dimainkan dengan alat musik ciptaan mereka.

Alif kerap bertandang ke studio musik milik Grup Rayap atau Grup Kunang-kunang bersama Andro, Anis, tentu juga Zahra. Akhir-akhir ini dia diajak Lepi dan Giri ke sanggar baru milik Komunitas Undur-undur. Tentunya insiatif Giri yang ingin lebih dekat dengannya. Sudah sejak kecil mereka jalan bersama, tampaknya mereka menjadi pasangan. Di masanya disebut pedekate dengan mertua. Alif setuju saja dan tampaknya Harum juga setuju.

Nah, kalau sudah begini Zahra bernisiatif mengorbitkan Iffah menjadi penyanyi. Karena sering berlatih akhirnya dia punya pertunjukkan. Tentu saja Zahra meminta Alif ikut menonton. Ada pertunjukkan film tentang warga Koloni, dimainkan warga koloni juga, ceritanya Harum, kadang-kadang anak koloni lain.

Sekali-kali diputar film video koleksi para tetua juga, tentunya terbatas. Terutama film yang mengajarkan betapa kejamnya dunia luar. Penanaman ideologi efektif.

Kegiatan lain tentunya memilih pakaian ketika sudah usang. Kalau selama ini bersama Zahra, digantikan Lepidoptera. Kalau begini Harum kurang suka, seolah faksi Kupu-kupu personifikasi perempuan di dunia yang lama, perempuan itu di dapur, perempuan lebih pandai berdandan, sekalipun anggota faksi Kupu-kupu banyak yang mahir teknik, seni dan terakhir jurnalistik. Harum diam karena Giri bergabung dengan kupu-kupu. Bagi dia tidak salahnya laki-laki belajar keperempuanan, menurut terminologi dunia sana.

Gedung tempat pakaian ada di Blok Rayap, dekat pembuatannya. Hanya saja setiap warga koloni dibatasi membawa pakaian.

Itu rutinitas Alif di Koloni sejak dia menikah dengan Zahra hingga Lepidoptera yang ditaksirnya sudah berusia 17 atau 18 tahun, di luar pekerjaannya di Rumah Mahkota, perpustakaan, mengajar, hingga penerbitan Insekta.

Kalau ingin sendirian mendaki bukit atau jalan di pantai biasanya ada yang mengikuti, kalau tidak tentara remaja dari grup Semut, tentara dari Grup Tawon. Modusnya pura-pura kebetulan. Dia jadi kenal Adolf biasanya bersama pacarnya Agatha pura-pura kencan dengan kendaraan semut atau berganti Ristia dan Fatin Yunita pura-pura naik tawon bersama pasangannya.

Pokoknya Alif jangan sampai keluar dari areal. Percobaan Alif dalam berapa tahun ini mendapatkan perhatian dari para sesepuh (karena usia mereka menurut Alif sudah di atas 60 tahun). Entah perintah siapa.

***

Pagi ini Alif ingin jalan kaki dari Blok satu ke Blok empat yang sebetulnya berhadapan. Hari itu dia libur. Dia merencanakan hiking yang mengingatkannya ketika masa muda di Bandung dulu, trekking dari Patrol Sasakbereum, Lembang ke Ujungberung. Rekornya delapan jam jalan kaki. Tetapi dia perkirakan separuh jalan, maka ia akan teruskan ke bukit tempat jalan antara Blok IV hingga Blok V. Tempat latihan Tentara Semut.

Alif berangkat subuh. Zarah membekalinya makanan steak sepotong ikan kakap, cumi goreng yang keduanya dipotong dadu dengan campuran kentang goreng diletakan di ransum berbentuk segi enam dari almunium dengan tinggi 30 cm dan garis tengah 10 cm. bagian pertama. Bagian keduanya potongan buncis, wortel rebus dan jagung rebus manis, serta bagian ketiganya potongan buah mangga dan nanas seperti dadu. Terdapat sendok dan botor air minum hexagonal berisi satu liter air.

Cara orang koloni membekali orang bandel seperti dia. Sebetulnya rangsum serdadu semut. Andro yang memberikannya kepada Zahra untuk suaminya.

Alif mengenakan celana katun tebal dengan empat kantung mengingatkan dia sewaktu hiking. Celana berwarna biru tua itu didesain khusus atas permintaan dia. Baju atasnya juga kemeja lengan panjang empat kantong berwarna serupa, hanya tutup kepalanya biru muda.

Sepatunya murni kulit tebal dengan alas campuran karet, sebetulnya sepatu serdadu semut berwarna hitam. Yang memberikan Evan Sektian karena dia pernah bertahan tujuh menit berkelahi. Subuh tadi Zahra agak cemberut Alif memakainya. Namun dia membiarkan karena tahu itu melindungi Alif.

Alif melintasi ladang jagung dan kebun buah sebelum masuk hutan sebelum turun ke sungai. Untuk memandunya di hari yang masih gelap, ia menggunakan lampu fosfor yang diberikan teman-teman dair komunitas kunang-kunang. Ketika sampai di tepi sungai dia bertemu Anis mengenakan baju dan celana, hingga penutup kepala serba abu-abu. Hanya saja Anis mengenakan sepatu gunung yang masih ia simpan rupanya.

Anjeunpikir, hanya anjeun yang rindu hiking?” sapanya.

“Tahu dari mana Bro?” Alif menyambutnya. Sebetulnya ia ingin sendiri. Tetapi adanya Anis mengingatkannya pada masa lalunya juga.

“Biasanya sama Harum?”

“Di bukit selatan, tetapi di jalur ini baru bersama Aa,” kata Anis. “Ayo kita harus sampai bukit persis saat matahari terbit, panoramanya bagus.”

Mereka berjalan cepat menelusuri sungai, sebelum mulai mendaki. Di seberang sungai dua remaja tampak mengikuti mereka. Pakaian mereka berwarna hitam-hitam dengan garis ungu muda. Serdadu tawon. Penguntit lagi? Kan sudah ada Anis? Lagipula Alif sudah mengumumkan rencana perjalananya di Majalah Insekta karena dia ingin mengajarkan bagaimana membuat repotase perjalanan.

“Kak Alif, Kak Anis, saya Elsa dan ini Dealova,” seru salah seorang dari mereka.

Remaja putri. Usia mereka sekitar 18 tahun. Tetapi Alif tahu itu dua di antara penembak sengat terbaik dari pasukan perempuan tawon pimpinan Ristia. Tentu ada remaja putranya juga. Dugaan Alif benar ada seorang lagi lari tergopoh-gopoh.

“Salazar! Kamu telat!” Dea tampak cemberut.

“iya!”

Alif memperhatikan, mereka tidak mengendarai tawon tetapi membawa senjata pelontar sengat yang pernah ia lihat di panggung hiburan dan film buatan Harum. Standar, sekalipun tidak pernah ada musuh yang masuk ke areal koloni. Tetapi anak buah Irwan Prayitna yang melatih mereka mengharuskan tetap demikian, mengingat berapa kali penyusupan.

Di sisinya ada tiga serdadu semut berbaju merah hitam juga masih remaja. Rupanya mereka berjalan cepat.

“Maaf kakak, kita ingin ikut? Aku Nyoman Astra, ini Hamid dan itu Astari?”

Komplit, total tiga remaja putra dan tiga remaja putrid mengawalnya. Alif menggeleng kepala. Tetapi mereka tidak menggunakan kendaraannya.

“Kami disuruh latihan oleh Kak Evan dan Kak Ristia jalan kaki yang jauh!”.

Mereka sudah mendaki bukit. Dua hari ini hujan. Jalan setapak agak licin walau sudah ditata seperti tangga dengan lebar anak tangga cukup untuk 3-4 orang dengan pohon-pohon di sekelilingnya. Semacam pohon sukun dikombinasi dengan pohon eucalyptus, serta pohon asli yang mungkin asli pulau itu. Alif jadi teringat nama salah satu anaknya.

Namun tim semut dan tawon memberikan keduanya privasi menjaga jarak sekitar dua ratus meter. Sekitar satu setengah jam mendaki, mereka tiba di puncak bukit hingga mereka bisa melihat Blok IV dan tepi pantai yang dibatasi tembok yang pernah ia lihat. Tidak ada yang aneh. Hanya ada berapa kelompok hutan kelapa dan biasa itu di pulau. Sepi. Lalu mengapa warga koloni dilarang melewati tembok?

Matahari terbit dari salah satu sudut pentai. Panorama yang indah. Mereka beristirahat sejenak.

“Mengapa tempat ini terlarang Bro Anis?”

“Perbatasan. Dugaan Kak Alif ini batas portal dan hutan kelapa itu samarannya. Waktu Kak Alif bertemu Harum, kami membawa ke Alif melewati hutan kelapa itu, Ok? Saya jawab semua pertanyaan Kak Alif selama ini. Kak Alif juga dari sana ketika dibawa kemari.”

“Sebetulnya warga koloni boleh, kecuali saya kan?”

“Zahra juga pernah, tetapi seizin para tetua kita dan dikawal mantan tentara dan polisi anak buah Kak Irwan dan Kak Widy. Tetapi waktu mereka masih muda. Kini mereka sudah menua dan tidak bisa lagi mengawal kami seperti dulu. Makanya sebagian anak-anak koloni dilatih dengan senjata yang dirancang untuk kami dan tidak akan ada di dunia sana, “ papar Anis.

Mereka duduk di atas rumput di atas batu antara dua buah pohon. Walaupun terasa basah karena embun. Kelompok semut dan tawon berada di antara mereka berjarak seratus meteran.

“Berarti pesawat Archipelago jatuh di sana?” Alif menunjuk serimbunan pohon kelapa.

“Kak Alif dulu IPS ya? Secara logika kalau pesawat itu jatuh ke laut pasti berkeping-keping tidak ada yang selamat. Tetapi Kak Alif dan delapan orang yang Kak Alif dari berita selamat,” papar Anis.

“Jadi? “

Anis mengeluarkan teropong. Alif tidak terlalu ingin. Dia meneguk sebagian minumannya.

Tiba-tiba dia rindu dipelukan Zahra. Antara rindu dengan Zahra dan keluarga serta teman-temannya di Bandung. Jadinya ia melamun. Seperti apa ibunya sekarang dan seperti Frisca? Dia tidak memperhatikan Anis terpaku pada suatu obyek di pantai.

Suara tembakan yang pernah didengarnya bergema. Dari balik pepohonan kelapa sekitar sepuluh orang berpakaian bukan seperti orang koloni keluar. Alif kemudian meminjam teropong dari Anis. Ia mengenali berapa orang dari mereka sudah lama.

“Seperti kawanku Ahmady?”

“Penyusupan lagi,” gumam Anis.

Tim semut dan tawon segera berdiri. Mereka bersiaga di atas bukit dan member isyarat agar Alif dan Anis tetap di tempat.

Ahmady, Sersan Candra Kirana dan dua orang serdadu stelling di balik pohon kelapa menahan serdadu-serdadu bayaran Rezim Dhimas juga sudah keluar dari rimbunan. Dua di antara mereka berhasil ditembak jatuh. Tetapi mereka dengan cepat menyebar.

Subhanaallah! Itu Yuyi! “ seru Anis.

Yuyi kemudian mengajak rombongan terus berlari menuju tembok. Dari arah lain tampak beberapa serdadu anak buah Irwan yang rambutnya sudah memutih berlari menahan pasukan lawan. Rupanya di situ ada pondok yang tersembunyi.

Seorang serdadu lawan terjengkang. Tetapi seorang serdadu membawa peluncur granat menghancurkan pondok itu dan yang lain menembak.

Dari atas bukit dua serdadu semut menembakan senjata seperti kilat berwana jingga serempak. Begitu kena di tubuh seorang serdadu berwajah bule, dia tertengun. Merasakan sesuatu di dalam tubuhnya. Lalu dia menggelepar merasakan ada yang mengalir dalam tubuhnya dan kemudian tubuh itu menjadi debu dan pecah. Made Astra yang menembak telak.

Fuck!!” terdengar teriakan nyaring serdadu itu. Mereka kemudian menembak ke atas bukit. Tetapi tidak kena.

Giliran Elsa dan Dea melepas tembakan seperti besi berpijar meluncur kencang dan kena menembus seorang serdadu berwajah bule juga. Tidak jadi debu. Tetapi serdadu bertubuh besar itu rubuh. Peluncur roket segera bekerja ke arah bukit.

Astra terkena pecahan ia jatuh terkapar. Tetapi dua semut lainnya Astari dan Hamid tetap menembak. Seorang seradu lawan berwajah Asia kakinya sebatas paha menjadi debu. Dia beteriak kesakitan dan seorang lagi yang menembakan roketnya terkena sepihan jingga membuat roketnya meledak di mukanya. Tubuhnya berkeping dan melukai seorang rekannya hingga putus tangannya.

Sementara Dea dan Salazar menembak pijar merah yang mengenai tumit seorang serdadu yang langsung terlontar berguling kesakitan. Serdadu bayaran dari Afrika. Seorang lagi tampaknya berwajah Indonesia terkena di bahunya. Alif melihat tulang bahunya terlontar keluar saking kencangnya dibawa besi seperti kaitan.

“Bangsat!!” teriaknya. Yang jelas dia tidak bisa lagi menembak , Elsa membuat lutut kirinya pecah. Tembakan berikutnya mengenai paha kirinya, membuatnya tak berdaya. Senapan mesin otomatisnya terlepas.

Tiga di pihak penyerang tewas, tiga luka-luka. Alif dan Anis betiarap. Para serdadu tawon dan semut hanya bersembunyi di balik pohon terus menembak. Tampaknya mereka menang jangkauan. Alif melihat seorang serdadu bule lagi tekena tembakan jingga dan merah sekalian dan dia jadi debu. Empat.

Seorang serdadu stelling di balik pohon dan menembak. Sniper. Alif melihat Elsa terjatuh terkena tembakan di kepala. Serdadu semut dan tawon belum berpengalaman. Tetapi Ahmady berhasil menembak mati sniper itu. Lima. Seorang lagi dilukai di badan, parah. Setidaknya sembilan sudah lumpuh. Lima mati dan empat luka. Bagi tentara profesional kerugian besar. Tak lama kemudian siniper yang lain menjatuhkan Hamid. Tetapi Dealova dan Astari tak bergeming.

Seorang serdadu berwajah bule lainnya rubuh dengan tubuh pecah. Tewas. Seorang lagi berwajah Asia tengah terkena di dada luka. Enam mati, lima luka.

Tahu-tahu Yuyi dan rombongannya sudah memasuki Blok empat dari sebuah gerbang tak jauh dari makam. Mereka tak menutup gerbang, karena serdadu tua yang membukanya terkapar. Para serdadu lawan yang terlatih mengejar Yuyi, Ahmady, Nanda dan rombongannya.

Dea dan Astari bersama-sama menjatuhkan seorang serdadu berwajah bule luka parah dan seorang lagi berwajah Asia tengah tewas. Sersan Candra Kirana berbalik menembak seorang serdadu lawan hingga terpental dan jatuh. Delapan mati, tujuh luka. Sayangnya Sersan Candra Kirana juga tertembak.

Ahmady terkepung. Alif mengambil senjata dari Elsa menembak sekenanya sambil turun dari bukit. Seorang serdadu berwajah Indonesia dan seorang lagi berwajah bule terkena di tangan dan pahanya. Tentu saja dia juga dibidik. Namun Astari dan Dealova menyelematkan nyawanya, serdadu berwajah latin terkena kepalanya dan mati. Setidaknya sudah sembilan tewas dan sembilan luka parah.

Ahmady terkejut melihat Alif berlari ke arah dia.

“Alif !!” teriak Nanda dan Yola serentak.

Sebetulnya Alif sudah dibidik. Tetapi sesosok menyambarnya dari atas. Andro menumpang tawon. Dia menembak mati serdadu bule di lehernya dengan senapan semutnya. Hanya terserempet, tetapi sobekannya membuat maut.

“Maaf, kami terlambat!” kata Andro. Alif memegang erat-erat pinggang Andro. Tetapi dia mencoba menembak sekenanya. Setidaknya dia mengenai seorang serdadu. Sayangnya tawon terkena tembakan dan Alif ingin menjerit Andro kena. Namun ia sempat mendorong Alif ke balik sebuah bangunan tempat Ahmady dan Nanda berlindung. Kemudian Andro terjatuh namun sempat mengarahkan tawonnya menabrak seorang serdadu berwajah Asia tengah dan membuatnya tertusuk lalu terdorong dan menabrak sebuah bangunan dan meledak.

More Ten Died Ser, More Ten Injured, Shit!” seorang serdadu bule harus menyeret seorang serdadu berwajah Indonesia berlindung, karena kakinya terkena pecahan kendaraan tawon.

“Lama tak jumpa Bro!” kata Ahmady.

Nanda dan Yola berebut memeluknya. “Alif kamu masih hidup!” Tangan Yola yang melindungi Dhini.

Evan Sektian dan sepuluhan anak buahnya bermunculan dari jalan dengan semut. Mereka berhamburan dan menyebar, baku tembak terjadi.

“Perempuan-perempuan pemberan, Dani!” seru Sersan Candra kirana memegang erat pinggangnya terluka.

“Saya ingat Inong balee!!”

Alif melihat para serdadu semut laki-laki dan perempuan tangkas memanjat bangunan dan pohon mencari tempat menembak. Dua serdadu semut terkapar di jalan dan sebuah kendaraan semut terbakar terkena roket.

Tetapi pihak serdadu lawan juga kehilangan dua serdadu menjadi debu dan dua lagi terjatuh.

Hanya lima menit kemudian Ristia dan pasukan tawonnya datang. Jumlahnya selusin menembak peluru besi panas yang begitu menembus tubuh kembali menjadi. Tubuh seperti mentega terkena besi panas. Alif menyadari itu maksud pertunjukkan Harum.

Hasilnya tiga serdadu lawan terkapar dalam sapuan pertama. Sebuah tembakan berhasil menjatukan pengendara tawon. Tetapi serdadu itu terkena tembakan semut hingga jadi debu, seorang lagi yang terluka mencoba menembak tapi dia jadi debu.

Hanya dalam lima belas menit justru tentara bayaran Dhimas Harris terkepung. Tentara Irwan Priyatna yang lain datang.

Dengan tertengun, dua serdadu bule dan dua serdadu berwajah Indonesia melempar senjata menyerah. Hanya mereka yang tersisa dan tak terluka. Mereka menyadari hanya tinggal tunggu waktu untuk tumpas.

Irwan Prayitna kemudian meninjau lokasi. Alif masih shock. Ia memangku tubuh Andro yang sudah beku. Ahmady duduk di sampingnya.

“Mereka mempertahankan tempat mereka Dy,!” Alif menangis.

Yuyi kemudian bertemu Nanang Sumarna yang memakai tongkat dan juga seniornya. “Selamat datang di koloni!”

“Maaf membawa musuh!”

“Kami sudah menduga mereka akan datang juga!”

Ahmady kemudian membantu Alif berdiri, sementara tubuh Andro di bawah dengan kendaraan semut. Kemudian dia berbincang-bincang dengan Irwan Priyatna.

“Kerugian mereka besar dari hitungan militer, Lif. Hanya empat yang selamat dan empat yang luka bisa hidup. Puluhan tewas, termasuk para perwira. Bro, mereka semua mantan marinir, Navy Seal, Green Barets dan Delta Force AS, pasukan SAS Inggris serta Sherpa Nepal. Tetapi yang membuat aku bangga, kau juga bisa menembak walau ngawur!”

Zahra kemudian datang dengan kupu-kupunya bersama Lepidoptera. Mereka menghambur ke arah Alif. Rupanya kabar koloni disusupi menyebar.

Dia melirik ke tubuh Andro yang sudah terbujur kaku.

“Aku kehilangan kawan,” bisik Alif sambil menangis.

Zahra memeluknya. “Kami sudah biasa kehilangan. Kakanda juga tahu kan asalnya kami juga dari kehilangan.”

Ahmady melihat perempuan itu memeluk sahabatnya dengan takjub.

“Ahmady, ini istriku Zahra dan anakku Lepi!!”

Nanda memperhatikannya dengan takjub. Alif memberikannya minumannya. Dia langsung meneguknya. Ahmady dan anak buahnya juga dapat minuman.

“Nanda ini ..”

Tetapi Zahra sudah menyambarnya. “Zahra bidadarinya Alif!”

Nanda ingin pingsan. Namun ia lebih ingin merasa pingsan lagi ketika melihat Harum Mawar turun dari kendaraan semut dan langsung bersalaman dengan Rahmi.

“Akhirnya kita kumpul,” cetusnya berpelukan. “Sayangnya Vita, nggak di sini.”

“Perhatian! Para tamu nanti kumpul ke rumah mahkota. Di sana akan ditentukan tinggal di mana. Yang gugur akan diurus . Para tahanan akan dibawa ke luar portal bersama para penyusup hidup lainnya. Segera!” Irwan Prayitna berwibawa.

Ahmady dan anak buahnya tercengang dengan santainya empat serdadu semut meniupkan serbuk ke wajah serdadu lawan yang menyerah dan mereka rubuh tertidur. Begitu juga yang luka-luka.

“Tenang kolega, mereka yang luka tetap dirawat. Tetapi tidak diterima di tempat ini,” bisik Irwan.

(BERSAMBUNG)

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun