Mereka duduk di atas rumput di atas batu antara dua buah pohon. Walaupun terasa basah karena embun. Kelompok semut dan tawon berada di antara mereka berjarak seratus meteran.
“Berarti pesawat Archipelago jatuh di sana?” Alif menunjuk serimbunan pohon kelapa.
“Kak Alif dulu IPS ya? Secara logika kalau pesawat itu jatuh ke laut pasti berkeping-keping tidak ada yang selamat. Tetapi Kak Alif dan delapan orang yang Kak Alif dari berita selamat,” papar Anis.
“Jadi? “
Anis mengeluarkan teropong. Alif tidak terlalu ingin. Dia meneguk sebagian minumannya.
Tiba-tiba dia rindu dipelukan Zahra. Antara rindu dengan Zahra dan keluarga serta teman-temannya di Bandung. Jadinya ia melamun. Seperti apa ibunya sekarang dan seperti Frisca? Dia tidak memperhatikan Anis terpaku pada suatu obyek di pantai.
Suara tembakan yang pernah didengarnya bergema. Dari balik pepohonan kelapa sekitar sepuluh orang berpakaian bukan seperti orang koloni keluar. Alif kemudian meminjam teropong dari Anis. Ia mengenali berapa orang dari mereka sudah lama.
“Seperti kawanku Ahmady?”
“Penyusupan lagi,” gumam Anis.
Tim semut dan tawon segera berdiri. Mereka bersiaga di atas bukit dan member isyarat agar Alif dan Anis tetap di tempat.
Ahmady, Sersan Candra Kirana dan dua orang serdadu stelling di balik pohon kelapa menahan serdadu-serdadu bayaran Rezim Dhimas juga sudah keluar dari rimbunan. Dua di antara mereka berhasil ditembak jatuh. Tetapi mereka dengan cepat menyebar.