Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Rudy Habibie: Kisah Cinta atau Pencarian Jati Diri Sang Visioner?

1 Juli 2016   14:40 Diperbarui: 23 Desember 2016   18:43 8029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Rudy Habibie (kredit foto www.marnerskliker.com)

"Rudy bagaimana kamu  bisa fasih  berbahasa Jerman dan Prancis?” 

Kira-kira begitu pertanyaan dua orang wanita begitu antusias. Rudymerasa pertanyaan itu nyinyir seperti pertanyaan orang-orang Jerman mengapa dia begitu fasih berbicara bahasa Jerman. Rudy selalu menjawab: Bapak saya kanibal, pernah makan orang Jerman hingga anak-anaknya berbahasa Jerman.  

Tetapi wanita-wanita pelajar asal Indonesia itu masih terus mengganggu Rudy. Padahal dia hadir di acara pesta dansa yang diselenggarakan perkumpulan pelajar Indonesia dengan menghadirkan Tielman Brother untuk mengusir sekadar hiburan.  

Tiba-tiba muncul seorang gadis bule menyela: “Sayangnya Bapak saya gagu, hingga dia tidak bisa berbahasa Polandia!” Rudy pun merasa diselamatkan oleh Nona Bule itu dan bisa menyingkir dari kepungan.

Pemuda bernama Rudy itu tak lain Bacharudin Jusuf Habibie atau karib disapa Rudy ketika masih menjadi mahasiswa teknik di Aachen, Jerman Barat pada paruh akhir dasawarsa 1950-an. Nona Polandia itu bernama Ilona juga mahasiswa teknik. Mereka jadi akrab dan bisa ditebak saling jatuh cinta.   Ilona ternyata fasih berbahasa Indonesia karena pernah diasuh perawat asal Ambon. Dia pun mengagumi visi dan mimpi Rudy. 

Adegan di pesta dansa di Aachen dengan iringan lagu “Nona Manis” itu merupakan salah satu adegan manis yang menarik dalam film Rudy Habibie. Cara berkenalannya begitu natural sepertinya keduanya memang ditakdirkan untuk bertemu.  


Musik rock n roll, berikut dansanya yang energik, gaya rambut dan mode busananya benar-benar membuat saya dibawa ke suasana 1950-an. Rudy Habibie adalah prekuel dari Habibie dan Ainun yang dirilis empat tahun lalu. Reza Rahadian kembali memerankan Rudy Habibie dengan baik. Sementara Chelsea Islan cukup menarik memerankan Ilona.

“Saya ingin menjadi mata air untuk negara saya, seperti yang ayah saya inginkan,” kata Habibie (Reza Rahadian) pada Ilona (Chelsea Islan) ketika mereka sudah semakin dekat.  

Rudy Habibie Prekuel memancing rasa ingin tahu saya bagaimana kehidupan masa muda mantan Presiden RI, Menteri Riset dan Teknologi era Orde Baru dan perintis industri dirgantara Indonesia ini.       

Sejak Kecil cinta Pesawat

Prolog film ini menarik melalui animasi dikertas teknik tentang perkawinan campuran seorang laki-laki Gorontalo, Alwie Habibie (Donny Damara) dan Tuti Marini Puspowardoyo (Dian Nitami) asal Jawa yang pada masa itu masih langka dan berbenturan adat.  

Pada 1936 lahir Bacharudin Jusuf Habibie atau Rudy. Cerita bergulir pada 1942 puluhan pesawat tempur Jepang Zero berterbangan di atas Pare-pare. Dua bocah laki-laki Rudy dan Fanny mulanya mengagumi ketangkasan para penerbang membawa pesawat terbang rendah. 

Namun kekaguman berubah ketakutan ketika pesawat Jepang melepaskan bom menghajar beberapa bangunan dan bukit tempat mereka berdua berdiri, Fanny tergelincir ke jurang, namun Rudy sempat meraihnya dan menariknya.  

Sang ayah kemudian membawa anak-anaknya mengungsi ke Gorontalo. Dalam sebuah adegan, Rudy sempat-sempatnya membawa Mecanno (pesawat mainan rakitan). Untungnya Sang Ayah menerima kembali Alwie dan keluarganya. 

Ayahnya mengajarkan Rudy bahwa burung terbang karena dorongan angin dari bawah. Adegan-adegan awal ini untuk menggiring penonton untuk memahami bagaimana seorang Rudy sudah jatuh hati pada pesawat terbang sejak kecil.    

“Kamu jangan bikin pesawat tempur, tetapi bikin pesawat yang bisa membawa Papa, Mama terbang,” demikian salah satu dialog antara ayah dan anak itu. Sayangnya Sang Ayah ketika Rudy dan tujuh saudaranya masih kecil pada waktu perang kemerdekaan. Sang Ayah meninggal ketika sujud dan Rudy sempat menggantikannya menjadi imam. Adegan simbolik yang bagus.  

Sutradara Hanung Bramantyo bertutur teknik flashback itu, dari 1945 melompat ke 1955 ketika Rudy muda diantar seorang pastor untuk mencari tempat tinggal (home stay).  

Pemilik rumah pertama menolak karena tidak kenal negara Indonesia. Tetapi pemilik rumah lainnya menerima karena Rudy dengan cerdas mampu memperbaiki mesin pemanas dengan logika ilmu teknik. Demikian petualangan Rudy meraih mimpinya dimulai sebagai mahasiswa di RWTH Aachen, Jerman Barat.

Rudy berteman dengan mahasiswa asal Indonesia yang juga berkuliah di sana seperti Liem Keng Kie (Ernest Prakasa), Ayu (Indah Permatasari) dan Peter Manumasa (Pandji Pragiwaksono).  

Tetapi tidak semua mahasiswa Indonesia di sana menyukai Rudy karena selain tergolong muda, Rudy pemegang paspor hijau kuliah dari biaya ibunya bukan pemegang paspor biru, mahasiswa dibiayai pemerintah. Pemegang paspor hijau diolok-olok sebagai Anak Mami.   

Salah seorang mahasiswa  yang tidak suka Habibie adalah Pantja (Conerlio Sunny) dan gengnya seperti Mario (GPH Paundrakarna) berlatar belakang mantan Tentara Pelajar. Kelompok ini digambarkan arogan karena mereka merasa berjasa dalam Perang Kemerdekaan.  

Pantja dan kawan-kawannya tak segan-segannya membully Habibie. Konflik antara kedua kelompok ini bergeser ketika terjadi pembentukan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), Rudy menginginkan SeminarPembangunan Dirgantara Indonesia, sementara kelompok Pantja ingin  mahasiswa ikut arus politik, misalnya mendukung Front Nasional.  

Pembebasan Irian Barat menjadi isu penting bagi kelompok ini. Habibie menjadi Ketua PPI Jerman Barat. Dialog Rudy dengan Mangunwijaya di sebuah gereja menarik “Mata air yang baik selalu muncul di tanah yang bergolak,” cetus Mangunwijaya.

Rudy tidak saja  bersitegang dengan kawan-kawannya, tetapi juga dengan Duta Besar RI untuk Jerman barat, Zairin Zain (Leroy Usmani) karena visinya.   

Fakta sejarah Zairin Zain adalah tokoh asal Sumatera Barat dan juga perintis kemerdekaan. Rudy Habibie bercerita tentang dua hal, pertama hubungan cinta Rudy dengan Ilona dan kedua hubungan Rudy dengan mahasiswa lain sehubungan bagaimana dia memperjuangkan mimpinya untuk membangun industri pesawat di Indonesia. Konflik antar mahasiswa Indonesia kental dengan situasi politik masa itu.

Reza Rahadian sebagai habibie dan Chelsea islan sebagai Ilona (kredit foto http://id.bookmyshow.com/blog-hiburan)
Reza Rahadian sebagai habibie dan Chelsea islan sebagai Ilona (kredit foto http://id.bookmyshow.com/blog-hiburan)
Plus dan Minus

Dari segi setting sejarah, Rudy Habibie tergarap baik, mulai dari masa pendudukan Jepang di Pare-pare dan Gorontalo, lengkap dengan adat istiadat sunatan hingga gaya hidup anak muda di Aachen, Jerman Barat pada 1950-an, termasuk koreografi dansanya, termasuk juga surat kabar masa itu. 

Front Nasional itu isu 1959, jadi konflik dalam tubuh PPI Jerman Barat antara kubu Aachen dan Hamburg punya akarnya. Bagi saya ini film pertama Indonesia mengungkapkan kehidupan mahasiswa Indonesia pada 1950-an. 

Satu adegan yang menjadi catatan saya, yaitu ketika Rancangan Habibie diambil paksa aparat pemerintah Jerman Barat karena Indonesia bukan anggota NATO latar belakang perang dingin  merupakan hal yang baru saya ketahui.   

Nasionalisme Habibie diuji di sini, ketika ia ditawarkan paspor Jerman alias pindah kewarganegaraan. Artinya Jerman Barat di satu sisi mengakui kejeniusan seorang Habibie sementara negerinya sendiri masih memperdebatkan visi dan mimpinya. 

Hanya saja saya mengingatkan bahwa nama Institut Teknologi Bandung baru muncul pada 1959, sementara pada 1955 namanya Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Kalau dialog antara Liem Kie King dan Rudy terjadi pada 1955 bahwa Habibie sempat kuliah di ITB  merupakan keteledoran.    

Rudy Habibie lahirpada 1936. Antara 1955 hingga 1965 Rudy menjadi mahasiswa di Jerman. Pada 1962 Rudy menikah dengan Hasri Ainun Besari. Keberadaan Ainun hanya disinggung dalam satu adegan di rumah Habibie.  

Jadi Rudy Habibie ini berkisar antara tahun 1955-1960-an tahun-tahun pernuh pergolakan. Soal elite politik yang mementingkan partainya disinggung dalam dialog. Begitu juga kehidupan sulit di Indonesia, digambarkan dalam sebuah adegan ibunya Habibie tidak bisa membeli daging. Saya suka ada setting Toko Delima Jalan Dipati Ukur Bandung pas dengan suasana masa 1950-an.

Karakter Habibie dalam berapa percakapan banyak menggunakan kata faktanya, masalahnya dan solusinya bukan saja dalam presentasi di depan para dosennya, tetapi juga dalam interaksinya dengan kawan-kawannya.  

Bagamana Habibie mendapat inspirasi dari makanan karena saran Ilona adalah hal menarik lain dalam film ini. Hanya saja konflik Habibie dengan gengnya Pantja harusnya bisa digarap lebih dalam.  \

Catatan lain saya memang ada sisi manusiawi, seperti Habibie merasakan kelaparan karena wesel dari ibunya lupa dikirim, Habibie jatuh sakit, Habibie dan temannya mahasiwa Turki salat di bawah tangga perpustakaan menjadi tontonan mahasiswa bule menarik, namun keseluruhan tetap saja tokoh Habibie dalam film ini terlalu sempurna dan menjadi kebenaran. Selain itu falasafah mata air kerap berulang seperti menggurui, walau mungkin pesan moral film ini.

Saya juga tertarik pada karakter mahasiswa yang ada di sekitar Habibie dan bagaimana kiprah selanjutnya. Dari media bisa diketahui Liem King Kie tetap tinggal di luar negeri karena perubahan politik pada 1965 membuatnya sulit pulang merupakan tokoh nyata.   

Saya jadi ingin tahu  Raden Ayu Puspitasari, Peter Manumasa, hingga Pantja, bahkan Ilona sendiri bagaimana selanjutnya? Sebetulnya saya suka dengan karakter mereka beraneka ragam.  

Menarik bagaimana Sugeng anak abdi dalem di Solo begitu ewuh pakewuh, masih menunjukan sikap melayani Ayu anak putri keraton Solo di luar negeri, padahal harusnya mereka sama-sama mahasiswa bersikap egaliter. Tetapi pada waktu itu feodalisme memang masih kuat.

Dari departemen kasting Reza Rahadian tidak mengherankan mampu menghidupkan kembali Habibie termasuk cara bicara dan gestur tubuhnya. Reza memang aktor kawakan.  

Chelsea Islan juga cukup baik memerankan Ilona. Chemistry keduanya terjaga. Namun yang paling kuat aktingnya sebetulnya adalah aktor-aktor berlatar belakang  stand up comedy seperti Ernest Prakarsa dan Pandji Pragiwakso yang bisa tampil serius.  

Indah Permatasari pemeran Ayu juga saya acungi jempol terutama bagaimana getur tubuhnya dari orang yang kepincut Habibie, cemburu karena hadirnya Ilona hingga berbalik menjadi seteru Habibie karena hal pribadi justru manusiawi sekali.  

Ada peran kecil, yaitu anggota geng Pantja bernama Mario diperankan GPH Paundrakarna nyaris tidak saya kenali sebagai pemeran Galih dalam sinetron Gita Cinta dari SMA 2000-an di sebuah stasiun televisi swasta. 

Quote  dari Ilona  kepada Habibie “faktanya  Kamu mencintai Indonesia, Masalahnya kamu Mencintai Indonesia, Solusinya Kamu mencintai Indonesia!”   

Bagi saya faktanya Rudy Habibie adalah Film Indonesia yang patut ditonton.

  • Judul Film : Rudy Habibie
  • Sutradara  : Hanung ramantyo
  • Pemain        : Reza Rahadian, Chelsea Islan, Dian Nitami, Ernest prakarsa, Indah Permatasari.
  • Rated            :   ****

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun