Â
Â
[caption id="attachment_331205" align="aligncenter" width="300" caption="Tandu bambu atau djoelis pada 1890-an (kredit foto http://tatangmanguny.files.wordpress.com/2011/01/tandu-bambu-ca-1890-e1295398199893.jpg?w=660"]

Â
Â
Para wisatawan ini bertemu rombongan kuli yang membawa batu balerang berwarna kuning di keranjang pada punggungnya. Dari ketinggian rombongan melihat pemandangan dataran Garut yang hijau. Bagian atas gunung jaringan jalan putih. Rombongan melewati sisi lain dari gunung yang solid yang dibuat oleh bekas letusan.
Â
Kami melintasi daerah berbatuan dan melihat kolam balerang yang menggelegak seluas 5 acre. Penampilannya mirip kolam emas yang mendidih. Ada kekhawatiran kalau sewaktu-waktu kolam itu meledak dan menembak ke udara. Suara bergemuruh di bawah tanah terasa aneh,seperti suara rantai besi, seperti orang yang bekerja di bengkel . Mungkin ini yang menyebabkan gunung ini dinamakan Papandayan. Kuli-kuli yang membawa balerang berjalan hati-hati di antara kolam-kolam balerang. Sepatu kami saja tidak tahan terhadap upa panas. Belum lagi resiko gas-gas beracun seperti gas karbon dan hydrogen sulfur adalah ancaman maut. (halaman 319)
Â
Orang dapat melihat Laut Jawa dan Samudera Hindia dari puncak Papandayan yang berada sekitar 7000 kaki dari permukaan laut. Walaupun langit berawan.Kuli-kuli yang membawa djoelis tidak menemukan jalan di tepi kawah untuk bisa membawarombongan (resikonya bisa terguling karena kemiringannya). Mau tidak mau mereka harus turun berjalan kaki melewati semak-semak dan rumpun bambu. Pelayan mereka berjalan mendahului.
Â
Para kuli Djoelis ini diceritakan sebagai orang-orang yang malas, miskin, kerap ditipu pemilik lounge, karena mereka sulit menyediakan kuda yang bisa di bawa mendaki gunung. Kuli-kuli terlihat murung, berjalan tanpa alas kaki dan enggan kalau harus melewati semak-semak berduri. Beberapa kali kuli-kuli ini mengeluh. Namun Eliza Scidmoore dan rombongan bersikeras ingin lihat Laut Hindia dari atas. Setelah emlewati hutan bamboo dan semak-semak mereka tiba di daerah berbatuan. Mereka melihat pemamdangan berawan, biru bercampur kelabu, musim hujan,
Â
Â
[caption id="attachment_331206" align="aligncenter" width="300" caption="Gunung Papandayan pada 1910 (kredit foto http://taselamedia.files.wordpress.com/2010/04/gunun-papandayana-garut-tahun-1910.jpg )"]

Kami kembali melihat pemandangan mosaic sawah dan dataran Garut yang kering serta kaki gunung, serta batas Laut Hindia berwarna keperakan. Kami melihat tanaman yang sudah dibudidayakan seperti teh, disusul kopi di ketinggian di atasnya dan batas tanaman kina. (halaman 320)
Â
Seidmore teringat imajinasi dari ahli bedah dari VOC di Semarang pada 1773 bernama dr. Foersch yang memberikan cerita perjalanan menakutkan melintasi lembah maut di dataran Dieng.
Â
Rombongan turun dan beristirahat di bangunan tempat para tamu dan batu-batu balerang diletakan. Para kuli membawa kami turun melalui jalur lain melintasi berbagai tanaman, di antara tanaman kopi yang tidak setiap waktu ada.Eliza tiba di Desa Cisurupan dan mendapat sambutan dari kepala desa. Para tamu diberikan sugguhanpertunjukan gamelandengan berbagai lagu.
Â
Menurut cerita Eliza, dia dan rombongannya tiba di Garut sore hari dan terlambat untuk mandi.Dalam bukunya ia menulis terang bulan yang menyelimuti teras memberikan ingatan indah tentang jalan-jalan dengan pohon rindangdi Garut, serta patung Mozart seperti memandang.Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui Bogor dan kemudian lanjut ke Batavia.