[caption id="attachment_331202" align="aligncenter" width="603" caption="Pendopo Garut masa Hindia Belanda (kredit foto www.garutkab.go.id)"][/caption]
Penulis, seorang fotografer juga sekaligus ahli geografi bekebangsaan Amerika, Eliza Ruhamah Scidmore (1858-1928) pada 1897 menulis sebuah buku yang bertajuk Java: The Garden of The East, yang pertama kali diterbitkan di Washington pada 1897. Beberapa waktu yang lalu saya membaca buku anggota National Geographic Society wanita pertama di dunia yang versi yang sudah dicetak kembali New York: University Press, 1984.
Buku ini menceritakan perjalanan Eliza dari Batavia ke Bogor, menjelajah beberapa gunung seperti Gunung Salak, Gunung Gede,naik kereta api dari Bogor, melintasi Cianjur dan sempat singgah di Bandung untuk melihat Tangkubanparahu dan Lembang. Kemudian dia ke Surakarta, Yogyakarta, melihat Borobudur dan kembali ke Priangan singgah di Garut dan mendaki Papandayan. Perjalanan dilakukan pada 1890-an namun tidak detail diceritakan kapannya. Namun mengingat buku ini menyinggung Perang Aceh yang berkecamuk , tanam paksa yang baru dihapuskan (1870), serta setelah Perang di Lombok antara Suku Sasak dan Suku Bali yang didintervensi Belanda (dalam sejarah berlangsung pada 1894). Jadi perjalanan boleh dibilang antara 1895-1897.
Melintasi Priangan
Dalam perjalanan melintasi Priangan, Eliza Ruhamah Scidmore menumpang kereta api dari Sukabumi ke Bandung yang digambarkan jalurnya melengkung di sekitar bahu Gunung Salak. Perjalanan melalui kawasan perkebunan teh, kopi, dan perkebunan kina dan areal persawahan berada di lereng bukit seperti teras-teras hingga kereta api singgah di Stasiun Cianjur.
Setelah sejenak berhenti perjalanan dari stasiun ini pemandangan yang lebih liar. Seperti tidak ada hunian manusia. Eliza melihat bukit yang dipenuhi alang-alang , hutan bambu atau galagah di mana ternak tidak menyentuhnya. Pada masa itu masih terdapat banteng dan harimau yang berkeliaran, namun mereka melarikan diri ketika mendengar suara lokomotif.
Informasi ini menarikkarena ituartinya perjalanan Bataviake Bandung pada awalnya tidak melalui Purwakarta-Cikampek, tetapi dari timur yang pada zaman merdeka sempat tidak operasi. Menurut sejarahnya jalan kereta api Sukabumi-Bandung adalah bagian dari jalan kereta api Bogor-Sukabumi (bahkan Batavia-Bogor) yang pembangunannya lebih untuk kepentingan tanam paksa –mengangkut hasil perkebunan seperti teh, kopi dan kina- dari pada kepentingan untuk mobilitas penduduk .
Cerita yang saya dapat dari sumber lain pada 1863 berdirilah perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappiji (NIS). Melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan surat keputusan Raja Belanda maka pada 1869 dimulailah pembangunan jalur Batavia (Jakarta) – Buitenzorg (Bogor) - Bandung oleh NIS. Trek yang kini kereta api jabodetabek. Pada 31 Januari 1873, jalur kereta api rute Batavia – Buitenzorg secara resmi beroperasi. Sejumlah surat kabar yang terbit di Batavia setelah 1870-an seperti Pemberita Betawi kerap menyinggung kereta api ini. Misalnya edisi 4 Januari 1888:
Bermoela dari 1 Djanoeari ini tahoen di post kereta api Gambir soedah ada buffet segala roepa minomen dapat dengan bajaran pantes
(Dalam bukunya Elizajuga menulis soal makan siang dalam kereta api ketika menuju Cianjur. Orang-orang Eropa bisa memilih menyantap nasi masak atau roti dengan keju dengan buah-buahan tropis seperti pisang, manggis.Harga makan siang sekitar satu setengah florin (mata uang masa itu juga kerap menggunakan gulden.. hal 149).
Setelah NIS mengalami kesulitan keuangan. pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan perusahaan kereta api negara yaitu Staats Spoorwegen (SS) pada 6 April 1875 untuk melanjutkan pembangunan jalur tersebut. Pada 21 Maret 1882 telah terhubung jalur kereta api rute Bogor – Sukabumi dan kemudian diikuti pada 16 Juni 1884 jalur kereta api rute Bogor – Sukabumi - Bandung mulai beroperasi secara penuh yang ditandai dengan peresmian stasiun Bandung. Panjang jalur Jakarta - Bogor adalah 54 km, panjang jalur Bogor - Sukabumi adalah 57 km dan panjang jalur Sukabumi - Bandung adalah 83 km.1
Kembali ke buku Java The East Garden,Eliza melukiskan tempat yang menarik sekitar Bandung menurut adalah Tangkubanparahu, Lembang, sepuluh mil dari Bandung (Eliza menulisnya Bandong). Dalam bukunya disebutkan pendaki gunung meninggalkan kudanya atau kereta di lembang. Perjalanan selanjutnya dilakukan dalam djoelieatau tandu (dengan empat kuli) melalui hutan yang lebat ke tepi kawah terbuka, di mana menggelegak kolam belerang dengan dasar abu-abu. TentunyaEliza juga mengetahui adanya vila milik Junghuhn yang meneliti soal kina.
Bandung adalah ibukota Keresidenan priangan dan tempat tinggal bupati pribumi dan residen Belanda. Rumah bupati katanya terletak di tengah kota yang disebut dalem atau istana . Dia juga punya sebuah vila di pinggiran kota dengan arsitektur gaya Eropa. Dekat villa itu terdapat kandang kuda. Bupati diceritakan kerap memenangkan piala dalam beberapa kejuaraan di Bogor dan Bandung. Bila dilihat dari sejarahnya Bupati Bandung yang dimaksud oleh Eliza Scidmoore dalah R.A.A. Martanegara yang memerintah pada 1893 hingga 1918.
Eliza melukiskan para laki-laki ada yang mengenakan (seperti) pakaian jacket militer dipadu dengan kain sarung dengan keris di belakang punggungnya (kemungkina para menak atau pamongpraja). Anak-anak pribumi digendong ibunya dengan selendang. Eliza juga menyaksikan kerbau dan sapi berkubang sehabis membajak sawah dan kemudian diberi jerami. Anak-anak laki kecil bertelanjang dada kulitnya kecoklatan diterpa mataharisehingga mereka mirip seperti patung perunggu. Sayang Eliza tidak menceritakan detail suasana kota Bandung mungkin dia tidak berkeliling kota.
Eliza juga memberikan informasi yang didengarnya tentang piramid di Gunung Haruman, Garut yang diyakini dari masa lalu. Jadi sebetulnya heboh pyramid di Garut saat ini juga sudah dibicarakan pada akhir abad 19. Sayangnya Eliza lebih tertarik untuk melihat Borobudur dan Prambanan yang tidak saya lihat sekarang. Nama tempat seperti Rajamandala (Cianjur), Cijeruk, Cibeber, Ciranjang juga disinggung dalam buku ini. Namun saya hanya mengupas apa yang dilihat Eliza di Tasimalaya, Garut dan Papandayan.
[caption id="attachment_331210" align="aligncenter" width="300" caption="Eliza Ruhamah Scidmoore (kredit foto wikipedia)"]

Kerajinan Tangan di Tasikmalaya
Sebelum ke Jawa Tengah Eliza singgah di suatu kota yang ditulisnya dengan nama Tissak Malaya, nama yang disebutnya untuk Tasikmalaya. Kereta api dari Bandung melewati tempat yang disebutnya Tjihondje (Cihonje) dan Radjapolah, berhenti tetapi satu menit di Indihiang sebelum tiba di Tasikmalaya senja hari atau sekitar pukul enam. Itu artinya stasiun Cihonje, Rajapolah, Hindihiang sudah eksis setidaknya akhir abad ke 19.
Setibanya di Tasikmalaya, Eliza melukiskan perjalanan menuju tempat peningapan. Dia melalui jalan yang berputar melalui lapangan yang gelap menuju Pessangrahan (tempat menginap atau peristirahatan yang dikelola pemerintah). Biasanya para tuan tanah suka menginap di tempat ini.Transportasi utama adalah sado. Penduduk bahkan supir sado sendiri diceritakan suka berjongkok- kalau ada bangsawan yang lewat. Bagi Eliza situasi seperti itu membuat dia seperti merasa berada di negeri yang aneh.
Ketika memasuki pesanggrahan ia melihat ada ruang terbuka yang besar di bawah serambi. Ruang tamu biasa dengan meja besar dan lampu untuk membaca. Kursi-kursi dengan sandaran panjang.Dari sana ada lorong panjang menuju ruang perjamuan (makan). Kamar tidur luasnya dua puluh meter persegi, tinggi dari lantai ke langit-langit kamar 20 kaki. Kamar mempunyai tempat tidur berukuran 7 x 9 kaki.
Pagi hari ketika keluar dari passangrahan, Eliza melihat pasar setengah mingguan digelar di tempat terbuka depan Pesanggrahan. Yang dijual antara lain buah-buahan, bunga, sarung, surban, lada, selendang, kerajinan tangan. Bunga yang dijual mulai dari melati, mawar. Eliza merogoh kocek tiga sen gulden untuk bunga melati dan mawar.
Komoditi lain yang dijual adalah botol buatan sendiri berisi air mawar dan melati, selendang dan saputangan dibordir dengan warna-warna kuat merupakan kerajinan tangan setempat. Sarung kemungkinan dibawa dari Jawa Tengah. Yang menarik Eliza melihat para penjahit –sekitar 30 hingga 40 berbaris rapi di bawah naungan pohon kenari.
Sebagai orang Amerika dia tahu di negerinya usaha menjahit sudah didukung mesin yang lebih kecil dan efesien. Namun penjahit di Tasikmalaya menurut Eliza mengungkapkan kekagumannya pada para penjahit itu yang matanya seperti burung hantu. Pelanggan membawa pakaian, penjahit menggunakan matanya dan mengukur, akhirnya melakukan pekerjaan sesuai kehendak pelanggannya.
Pendakian Papandayan
Sepulang dari Jawa Tengah Eliza Ruhamah Scidmore mengunjungiGarut. Dalam bukunya dia menceritakan bahwamembutuhkan setengahjam perjalanan dari Cibatu (stasiun kereta api masa itu ada di sini). Waktu dia tiba bersamaan dengan hujan yang lebat membuat dia kehilangan panorama pegunungan hijau yang indah mengelilingi Garut.Dia menceritakan melihat persawahan, anak laki-laki mengembala kawanan angsa dan ada anak laki-lakiyang menaiki kerbau, terdapat burung-burung.Eliza menginap di Hotel Hork (nama pemiliknya Van Hork), hotel yang terbaik di tengah Kabupaten Priangan.
Hotel ini mempunyai teras menghadap pemandangan yang bagus. tempat tidur dengan bunga, dipadu batu dan kerang. Dalam bukunya Eliza melihat hotel itu punya hiasanseperti patung Mozart,meja panjang tempat orang-orang bercakap-cakap.Sekalipuncukup dingin wanita-wanita Belanda ini memakai kain sarung yang dipadu dengan dress.Kaki mereka kerap dibiarkan telanjang.Mereka baik dan mampu berbicara berbahasa Inggris.
Alun-alun kota hijau asri di mana terdapat rumah bupati pribumi (pada waktu itu diperintah R. Adipati Aria Wiratanudar memerintah 1871 hingga 1915)), rumah warga Belanda, serta sebuah mesjid. Mufti mesjid sebelumnya sebetulnya seorang pria yang cerdas dan berpandangan bebas. Dia hanya memiliki seorang istri . Dia mengizinkan istrinya –dengan wajah terbuka- belajar Bahasa Belanda dan bertemu dengan tamu-tamu asingnya, baik laki-laki maupun perempuan. Para pelancong kerap membawa surat kepada mufti ini dan mengutip perkataannya pada buku-bukunya. Namun sejak kematiannya ulama yang lebih konservatif memerintah.
[caption id="attachment_331212" align="aligncenter" width="300" caption="Mesjid Agung Garut masa Hindia Belanda (kredit foto www.garutkab.go.id)"]

Para wisatawan masa itu menganggap pesiar besar di kawasan Garut ialah mengunjungi Kawah Papandayan.Gunung yang dilukiskan dalam buku itu memiliki panjang 15 mil dan lebar 6 mil menjadi tujuanEliza dan rombongannya (tidak dilukiskan dengan detail siapa saja yang ikut).Gunung itupernah meletus sekitar seratus tahun ketika penulis buku itu berkunjung.Pada waktu itu (akhir abad ke 19)Papandayan masih beruap, bergemuruh seperti petir dan setiap saat bisa meledak.
Dalam bukunya Eliza mendapatkan informasi bahwa Papandayan meletus pada 1772, massa padat gunung itu terlontar keluar ke udara, aliran lava tercurah, abu tumpah menutupi area seluas 7 mil persegi dan sekitar dengan lapisan lima kaki tebal. Letusan menghancurkan empat puluh desa dan menewaskan tiga ribu jiwa dalam satu hari. Wisatawan bisa melihat bekas letusan di dekat gunung dan uap panas kerap ke luar. Eliza menceritakan dalam bukunya:
“Kami memulai perjalanan pada suatu pagi di bawah hujan dan melaju dua belas mil di dataran yang keras, jalan berpasir putih, terus perbatasan putih dengan naungan pohon. Kami melewati desa-desa yang basah dan tampak muram. Kami melalui dangau-dangau yang berada di antara sawah di mana anak laki-laki dengan katapel mengusir gagak yang menganggu sawah. Pemandangan ini mirip yang kami lihat di Hizen,Jepang” (halaman 314)
Di Cisurupan masing-masing rombongan diangkut dengan kursi yang ditandu empat kuli disebut Julis (djoelis) –seperti yang dilihatnya di lembang- serupa dengantransportasi tandu di Cina Selatan. Rombongan melihat tanaman kopi di dasar gunung, kemudian memlewati perubahan tanaman tropis ke tanaman sedang. Pohon-pohon kopi yang tua terbengkalai. Bagian atas Papandayan masa itu digambarkan ada bagian yang berhutan lebat mirip hutan purba dengan pohon-pohon yang merambat. Di antara tanaman yang ditemukan terdapat tanaman seperti rotan, anggrek dengan daun-daun hijau menyejukan mata.
[caption id="attachment_331205" align="aligncenter" width="300" caption="Tandu bambu atau djoelis pada 1890-an (kredit foto http://tatangmanguny.files.wordpress.com/2011/01/tandu-bambu-ca-1890-e1295398199893.jpg?w=660"]

Para wisatawan ini bertemu rombongan kuli yang membawa batu balerang berwarna kuning di keranjang pada punggungnya. Dari ketinggian rombongan melihat pemandangan dataran Garut yang hijau. Bagian atas gunung jaringan jalan putih. Rombongan melewati sisi lain dari gunung yang solid yang dibuat oleh bekas letusan.
Kami melintasi daerah berbatuan dan melihat kolam balerang yang menggelegak seluas 5 acre. Penampilannya mirip kolam emas yang mendidih. Ada kekhawatiran kalau sewaktu-waktu kolam itu meledak dan menembak ke udara. Suara bergemuruh di bawah tanah terasa aneh,seperti suara rantai besi, seperti orang yang bekerja di bengkel . Mungkin ini yang menyebabkan gunung ini dinamakan Papandayan. Kuli-kuli yang membawa balerang berjalan hati-hati di antara kolam-kolam balerang. Sepatu kami saja tidak tahan terhadap upa panas. Belum lagi resiko gas-gas beracun seperti gas karbon dan hydrogen sulfur adalah ancaman maut. (halaman 319)
Orang dapat melihat Laut Jawa dan Samudera Hindia dari puncak Papandayan yang berada sekitar 7000 kaki dari permukaan laut. Walaupun langit berawan.Kuli-kuli yang membawa djoelis tidak menemukan jalan di tepi kawah untuk bisa membawarombongan (resikonya bisa terguling karena kemiringannya). Mau tidak mau mereka harus turun berjalan kaki melewati semak-semak dan rumpun bambu. Pelayan mereka berjalan mendahului.
Para kuli Djoelis ini diceritakan sebagai orang-orang yang malas, miskin, kerap ditipu pemilik lounge, karena mereka sulit menyediakan kuda yang bisa di bawa mendaki gunung. Kuli-kuli terlihat murung, berjalan tanpa alas kaki dan enggan kalau harus melewati semak-semak berduri. Beberapa kali kuli-kuli ini mengeluh. Namun Eliza Scidmoore dan rombongan bersikeras ingin lihat Laut Hindia dari atas. Setelah emlewati hutan bamboo dan semak-semak mereka tiba di daerah berbatuan. Mereka melihat pemamdangan berawan, biru bercampur kelabu, musim hujan,
[caption id="attachment_331206" align="aligncenter" width="300" caption="Gunung Papandayan pada 1910 (kredit foto http://taselamedia.files.wordpress.com/2010/04/gunun-papandayana-garut-tahun-1910.jpg )"]

Kami kembali melihat pemandangan mosaic sawah dan dataran Garut yang kering serta kaki gunung, serta batas Laut Hindia berwarna keperakan. Kami melihat tanaman yang sudah dibudidayakan seperti teh, disusul kopi di ketinggian di atasnya dan batas tanaman kina. (halaman 320)
Seidmore teringat imajinasi dari ahli bedah dari VOC di Semarang pada 1773 bernama dr. Foersch yang memberikan cerita perjalanan menakutkan melintasi lembah maut di dataran Dieng.
Rombongan turun dan beristirahat di bangunan tempat para tamu dan batu-batu balerang diletakan. Para kuli membawa kami turun melalui jalur lain melintasi berbagai tanaman, di antara tanaman kopi yang tidak setiap waktu ada.Eliza tiba di Desa Cisurupan dan mendapat sambutan dari kepala desa. Para tamu diberikan sugguhanpertunjukan gamelandengan berbagai lagu.
Menurut cerita Eliza, dia dan rombongannya tiba di Garut sore hari dan terlambat untuk mandi.Dalam bukunya ia menulis terang bulan yang menyelimuti teras memberikan ingatan indah tentang jalan-jalan dengan pohon rindangdi Garut, serta patung Mozart seperti memandang.Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui Bogor dan kemudian lanjut ke Batavia.
Irvan Sjafari
Catatan Kaki:
1. 1. http://indonesianheritagerailway.com diakses pada 10 April 014.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI