Sebagai orang Amerika dia tahu di negerinya usaha menjahit sudah didukung mesin yang lebih kecil dan efesien. Namun penjahit di Tasikmalaya menurut Eliza mengungkapkan kekagumannya pada para penjahit itu yang matanya seperti burung hantu. Pelanggan membawa pakaian, penjahit menggunakan matanya dan mengukur, akhirnya melakukan pekerjaan sesuai kehendak pelanggannya.
Pendakian Papandayan
Sepulang dari Jawa Tengah Eliza Ruhamah Scidmore mengunjungiGarut. Dalam bukunya dia menceritakan bahwamembutuhkan setengahjam perjalanan dari Cibatu (stasiun kereta api masa itu ada di sini). Waktu dia tiba bersamaan dengan hujan yang lebat membuat dia kehilangan panorama pegunungan hijau yang indah mengelilingi Garut.Dia menceritakan melihat persawahan, anak laki-laki mengembala kawanan angsa dan ada anak laki-lakiyang menaiki kerbau, terdapat burung-burung.Eliza menginap di Hotel Hork (nama pemiliknya Van Hork), hotel yang terbaik di tengah Kabupaten Priangan.
Hotel ini mempunyai teras menghadap pemandangan yang bagus. tempat tidur dengan bunga, dipadu batu dan kerang. Dalam bukunya Eliza melihat hotel itu punya hiasanseperti patung Mozart,meja panjang tempat orang-orang bercakap-cakap.Sekalipuncukup dingin wanita-wanita Belanda ini memakai kain sarung yang dipadu dengan dress.Kaki mereka kerap dibiarkan telanjang.Mereka baik dan mampu berbicara berbahasa Inggris.
Alun-alun kota hijau asri di mana terdapat rumah bupati pribumi (pada waktu itu diperintah R. Adipati Aria Wiratanudar memerintah 1871 hingga 1915)), rumah warga Belanda, serta sebuah mesjid. Mufti mesjid sebelumnya sebetulnya seorang pria yang cerdas dan berpandangan bebas. Dia hanya memiliki seorang istri . Dia mengizinkan istrinya –dengan wajah terbuka- belajar Bahasa Belanda dan bertemu dengan tamu-tamu asingnya, baik laki-laki maupun perempuan. Para pelancong kerap membawa surat kepada mufti ini dan mengutip perkataannya pada buku-bukunya. Namun sejak kematiannya ulama yang lebih konservatif memerintah.
[caption id="attachment_331212" align="aligncenter" width="300" caption="Mesjid Agung Garut masa Hindia Belanda (kredit foto www.garutkab.go.id)"]

Para wisatawan masa itu menganggap pesiar besar di kawasan Garut ialah mengunjungi Kawah Papandayan.Gunung yang dilukiskan dalam buku itu memiliki panjang 15 mil dan lebar 6 mil menjadi tujuanEliza dan rombongannya (tidak dilukiskan dengan detail siapa saja yang ikut).Gunung itupernah meletus sekitar seratus tahun ketika penulis buku itu berkunjung.Pada waktu itu (akhir abad ke 19)Papandayan masih beruap, bergemuruh seperti petir dan setiap saat bisa meledak.
Dalam bukunya Eliza mendapatkan informasi bahwa Papandayan meletus pada 1772, massa padat gunung itu terlontar keluar ke udara, aliran lava tercurah, abu tumpah menutupi area seluas 7 mil persegi dan sekitar dengan lapisan lima kaki tebal. Letusan menghancurkan empat puluh desa dan menewaskan tiga ribu jiwa dalam satu hari. Wisatawan bisa melihat bekas letusan di dekat gunung dan uap panas kerap ke luar. Eliza menceritakan dalam bukunya:
“Kami memulai perjalanan pada suatu pagi di bawah hujan dan melaju dua belas mil di dataran yang keras, jalan berpasir putih, terus perbatasan putih dengan naungan pohon. Kami melewati desa-desa yang basah dan tampak muram. Kami melalui dangau-dangau yang berada di antara sawah di mana anak laki-laki dengan katapel mengusir gagak yang menganggu sawah. Pemandangan ini mirip yang kami lihat di Hizen,Jepang” (halaman 314)
Di Cisurupan masing-masing rombongan diangkut dengan kursi yang ditandu empat kuli disebut Julis (djoelis) –seperti yang dilihatnya di lembang- serupa dengantransportasi tandu di Cina Selatan. Rombongan melihat tanaman kopi di dasar gunung, kemudian memlewati perubahan tanaman tropis ke tanaman sedang. Pohon-pohon kopi yang tua terbengkalai. Bagian atas Papandayan masa itu digambarkan ada bagian yang berhutan lebat mirip hutan purba dengan pohon-pohon yang merambat. Di antara tanaman yang ditemukan terdapat tanaman seperti rotan, anggrek dengan daun-daun hijau menyejukan mata.