Oleh: Elne Vieke Rambi
Mahasiswa Program Studi S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin Makassar
Mungkin Anda pernah mengalami batuk lama, atau mengenal seseorang yang tak kunjung sembuh. Mungkin pula Anda pernah membeli antibiotik tanpa resep dokter, sekadar "biar cepat sembuh." Kebiasaan kecil yang tampak sepele ini sebenarnya menyalakan api dalam sekam: krisis kesehatan global yang merayap perlahan, tanpa suara, tapi mematikan. Dua ancaman terbesar dalam krisis ini adalah Tuberkulosis (TBC) dan Resistensi Antimikroba (AMR)---dua epidemi senyap yang saling menguatkan dan kini menjadi momok kesehatan dunia.
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, bakteri yang menyerang paru-paru dan dapat menyebar ke organ tubuh lain. Penyakit ini menular melalui udara, lewat percikan dahak ketika penderita batuk, bersin, atau bahkan berbicara terlalu dekat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia mencatat sekitar 845 ribu kasus TBC setiap tahun, tertinggi kedua di dunia setelah India. Artinya, hampir setiap orang di negeri ini kemungkinan memiliki teman, rekan kerja, atau tetangga yang pernah terinfeksi TBC---disadari atau tidak.
Sementara itu, resistensi antimikroba adalah kondisi ketika bakteri menjadi kebal terhadap obat yang seharusnya membunuhnya. Bayangkan Anda mengejar maling dengan tongkat dan senter (antibiotik). Pada awalnya mudah. Tapi lama-lama maling ini belajar bersembunyi, melawan, dan membuat alat Anda tak lagi berguna. Itulah yang terjadi pada bakteri yang kebal antibiotik. Kita tidak kalah karena kehabisan obat, tetapi karena obat yang kita miliki tidak lagi mampu bekerja.
Ketika TBC bertemu resistensi obat, hasilnya adalah kombinasi yang mematikan. Penyakit yang seharusnya dapat disembuhkan dalam enam bulan berubah menjadi perjuangan panjang yang melelahkan. Pasien TBC resisten obat (TBC-RO) harus menelan belasan hingga puluhan pil setiap minggu, dengan efek samping yang sering kali berat. Lebih berbahaya lagi, bakteri TBC yang resisten dapat menular ke orang lain. Satu pasien yang tidak menuntaskan pengobatan bisa menularkan penyakit ini ke beberapa individu lain, dan setiap penularan baru berpotensi menciptakan kasus yang lebih sulit disembuhkan.
Namun krisis ini bukan semata persoalan medis. Ia adalah refleksi dari tanggung jawab sosial yang belum dijalankan dengan sungguh-sungguh. Di banyak tempat, membeli antibiotik tanpa resep sudah dianggap lumrah. Begitu gejala mulai mereda, obat dihentikan. Padahal, tindakan itu sama saja dengan memberi kesempatan bagi kuman untuk belajar bertahan. Bakteri yang tersisa tidak mati, melainkan beradaptasi dan menjadi kebal. Di sisi lain, stigma sosial terhadap penderita TBC juga masih kuat. Banyak pasien memilih diam, bukan karena tidak tahu bahayanya, tetapi karena takut dijauhi oleh tetangga, rekan kerja, bahkan keluarga.
Ketakutan sosial ini sering lebih menyesakkan daripada penyakitnya sendiri. Akibatnya, banyak penderita terlambat berobat. Ketika akhirnya datang ke fasilitas kesehatan, penyakitnya sudah parah, dan pengobatan menjadi lebih sulit. Kondisi ini semakin diperburuk oleh ketimpangan layanan kesehatan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Di kota besar, masyarakat dapat dengan mudah melakukan pemeriksaan dan mendapat obat yang tepat. Di daerah terpencil, banyak yang bahkan tidak tahu bahwa batuk lama adalah tanda TBC. Jurang ketimpangan inilah yang membuat "bom waktu" kesehatan ini terus berdetak pelan, tapi pasti.
Dari sudut pandang etika kesehatan masyarakat, fenomena ini menunjukkan adanya krisis keadilan. Setiap individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pengobatan yang layak dan bermartabat. Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas. Ketimpangan akses, lemahnya pengawasan distribusi antibiotik, serta rendahnya literasi kesehatan menunjukkan bahwa sistem kita belum menempatkan kesehatan sebagai tanggung jawab kolektif. Ini bukan semata soal penyakit, tetapi soal kemanusiaan.
Meski begitu, kita belum terlambat. Bom waktu kesehatan masyarakat ini memang terus berdetak, tetapi masih bisa dijinakkan jika ada kemauan bersama. Langkah pertama adalah menghentikan kebiasaan membeli antibiotik tanpa resep dokter. Antibiotik bukan permen yang bisa diminum sesuka hati; ia adalah senjata yang bila disalahgunakan, akan berbalik menyerang. Kedua, dukung pasien TBC untuk menuntaskan pengobatan. Dukungan sosial sering kali lebih kuat dari obat itu sendiri. Lingkungan yang peduli dan tidak menghakimi dapat membantu pasien bertahan hingga sembuh.
Ketiga, pengawasan penggunaan antibiotik perlu diperketat. Klinik, apotek, dan rumah sakit harus tegas memastikan bahwa antibiotik hanya diberikan sesuai aturan. Pemerintah harus memperkuat kebijakan antimicrobial stewardship---pengawasan terpadu untuk memastikan setiap penggunaan antibiotik tepat sasaran, dosis, dan durasi. Keempat, masyarakat perlu aktif bersuara dan berpartisipasi. Dorongan publik sangat penting agar pembuat kebijakan memastikan layanan kesehatan yang adil, terjangkau, dan dapat diakses oleh semua, baik di kota maupun pelosok.