Krisis TBC dan resistensi obat bukan hanya ancaman terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 3---Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan---tetapi juga mempengaruhi tujuan lain seperti pengentasan kemiskinan (SDG 1), pendidikan (SDG 4), dan pengurangan ketimpangan (SDG 10). Penyakit ini memperparah kemiskinan karena biaya pengobatan yang tinggi dan hilangnya produktivitas, serta memperlebar kesenjangan sosial akibat keterbatasan akses layanan. Penanggulangannya pun membutuhkan kemitraan lintas sektor sebagaimana ditegaskan dalam SDG 17.
Krisis TBC dan resistensi antimikroba adalah ujian bagi kemanusiaan kita. Ia menguji sejauh mana kita peduli terhadap sesama, dan seberapa serius kita menjaga masa depan generasi berikutnya. Jika kita memilih diam, maka kita sesungguhnya sedang membiarkan penyakit ini tumbuh di tengah masyarakat. Tapi jika kita bertindak---meski dari langkah kecil seperti bijak menggunakan antibiotik dan mendukung pasien untuk berobat tuntas---kita telah mengambil peran dalam menyelamatkan kehidupan.
Pertanyaannya kini sederhana tapi mendesak: berapa banyak nyawa lagi yang harus hilang sebelum kita mulai peduli?
Tentang Penulis:
Elne Vieke Rambi adalah Mahasiswa Program Studi S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin Makassar, yang menaruh perhatian pada isu kesehatan masyarakat, etika kesehatan, dan kebijakan publik di bidang penyakit menular.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI