Kita perlu duduk bersama, islah, tabayun, dan saling memahami, karena setiap luka yang terjadi bukan sekadar luka pribadi, melainkan luka bagi seluruh ekosistem pendidikan.
Dan mungkin, daripada sibuk mencari siapa yang salah, kita bisa mulai dengan bertanya, bagaimana agar ini tidak terulang lagi?
Karena kalau tidak, yang hancur bukan hanya hubungan guru dan murid, tapi juga masa depan pendidikan bangsa yang kita cintai bersama.
Sejenak Merenung
Menutup tulisan ini, izinkan saya mengajak rekan-rekan guru untuk sejenak berhenti, bukan untuk menyerah, tapi untuk merenung.Â
Mendidik, pada akhirnya, bukan tentang seberapa keras kita menegakkan aturan, melainkan seberapa dalam kita memahami jiwa anak yang sedang tumbuh di hadapan kita.
Karena di balik setiap pelanggaran, selalu ada permintaan tolong yang belum terucap. Dan di balik setiap kemarahan guru, selalu ada cinta yang sedang mencari cara untuk sampai.
Selama sepuluh tahun saya bergulat di dunia kesiswaan dan tim pencegahan kekerasan di sekolah, saya belajar bahwa setiap peristiwa selalu menyimpan pesan, bukan sekadar kesalahan.Â
Kekerasan, dalam bentuk apa pun, hanyalah tanda bahwa komunikasi kita terputus. Dan setiap kali komunikasi terputus, cinta pun kehilangan jalannya.
Saya masih ingat satu kasus yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan, seorang murid yang menyimpan dendam hingga mengakhiri hidup gurunya. Tidak ada yang menang dari peristiwa itu. Yang tertinggal hanya luka panjang, dan penyesalan yang tak sempat disampaikan.
Guru, murid, dan orang tua sejatinya sedang berjalan di jalan yang sama, jalan menuju kedewasaan bersama. Kadang kita tersandung, kadang kita saling menyakiti, tapi sejatinya kita semua ingin hal yang sama, anak-anak yang tumbuh dengan budi dan bahagia!