Selamat Tinggal Zonasi
Saya percaya, sistem yang sekarang jauh lebih berkeadilan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya jalur zonasi menempatkan jarak sebagai satu-satunya indikator seleksi awal, maka pada sistem domisili ini, pemerintah telah menetapkan kemampuan akademik sebagai indikator pertama dan utama.
Sistem ini bahkan mengingatkan kita pada mekanisme lama, semacam DANEM, yang pernah diberlakukan lebih dari satu dekade silam.
Bedanya, jalur domisili tidak bisa diakses oleh semua siswa dari berbagai wilayah. Hanya siswa yang berdomisili sesuai dengan ketetapan pemerintah sajalah yang berhak mendaftarkan diri melalui jalur ini.
Tentu saja ini kabar baik, terutama bagi para orang tua, siswa, dan masyarakat yang pernah merasa kecewa dengan sistem zonasi sebelumnya.
Terlalu banyak kisah tentang anak-anak yang tersisih bukan karena kurangnya semangat atau prestasi, tapi semata karena jarak rumah yang kalah dekat.
Salah satunya adalah keponakan saya sendiri, yang harus tereliminasi dari PPDB hanya karena selisih beberapa meter dari pendaftar lain yang kebetulan lebih dekat ke sekolah.
Dengan sistem domisili ini, saya melihat ada semangat baru yang ditanamkan, sebuah penghargaan terhadap jerih payah belajar. Anak-anak akan lebih terpacu untuk tetap berusaha meraih nilai terbaik, meskipun rumah mereka hanya berjarak selemparan batu dari pagar sekolah.
Sangat berbeda dengan sistem zonasi yang pernah berlaku. Ibarat kata, dulu siswa bisa bersantai-santai tanpa perlu belajar keras, asal alamatnya sudah cukup “strategis”, di balik pagar sekolah, misalnya. Lolosnya tinggal menunggu waktu. Tapi sekarang? Jangan harap.
Meski seorang siswa berada di dalam radius terdekat, bahkan seandainya rumahnya menempel langsung pada tembok sekolah, jika nilai akademiknya tak kompetitif, maka dia tetap berpeluang besar untuk tergeser oleh mereka yang punya nilai lebih tinggi.
Dengan sistem ini, setidaknya kita mulai bisa mengikis satu kalimat asal-asalan yang sering kita dengar dan, ironisnya, sering terbukti benar, “Untuk apa belajar? Rumah kita kan di belakang sekolah, pasti masuk.” Nah, sekarang, jangan harap!