Di tengah arus globalisasi yang kian deras, bahasa daerah kerap terpinggirkan, kehilangan ruang di hati generasi muda. Namun, Panjebar Semangat membuktikan bahwa bahasa Jawa tetap hidup dan berkembang melalui media. Majalah ini bukan sekadar saksi perjalanan literasi, tetapi juga penjaga warisan budaya yang terus menginspirasi.Â
Majalah Panjebar Semangat telah menjadi bagian penting dalam kehidupan keluarga kami sejak era 1980-an hingga sekitar tahun 1998.Â
Majalah ini dikenal karena konsistensinya dalam menggunakan bahasa Jawa ngoko-madya, yang memperkaya pemahaman pembacanya terhadap bahasa ibu.
Saya mungkin tidak bisa menghadirkan ingatan secara utuh. Namun, yang jelas, Panjebar Semangat pernah mengisi hari-hari keluarga kami dengan berbagai rubrik menarik yang selalu kami nantikan.
Belakangan, saya mencari tahu perkembangan Panjebar Semangat setelah membaca artikel di Kompas.id tentang perjalanannya menjelang satu abad.
Melalui mesin pencarian, saya menemukan bahwa beberapa perguruan tinggi negeri pernah mengkaji Panjebar Semangat baik dari kumpulan rubriknya maupun dari perannya sebagai salah satu media pelestari budaya melalui bahasa Jawa.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan di Universitas Airlangga, yang mengkaji sejarah dan perkembangan majalah ini dari tahun 1933 hingga 1966.Â
Penelitian tersebut menyoroti berbagai rubrik yang disajikan oleh Panjebar Semangat, seperti "Pergerakan" yang membahas perkembangan gerakan kebangsaan, dan "Taman Poetri" yang berisi tulisan tentang pemikiran perempuan.Â
Selain itu, Universitas Sebelas Maret juga melakukan analisis wacana terhadap rubrik "Obrolan Rujak Cingur" dan "Warung Tegal" dalam Panjebar Semangat, dengan fokus pada aspek kohesi dalam bahasa Jawa.Â
Konsistensi Panjebar Semangat dalam menggunakan bahasa Jawa ngoko-madya telah menjadikannya sebagai media penting dalam pelestarian bahasa dan budaya Jawa.Â