Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Juara 2 Blog Competition Kemendikdasmen RI 2025 (Aspirasi Pendidikan Bermutu) | Juara Favorit Blog Competition Badan Bank Tanah 2025 (Badan Bank Tanah sebagai Instrumen untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat di Indonesia) | Salah Satu Pemenang Terpilih Lomba Menulis KPB 2025 (Siswa Nakal Dikirim ke Barak Militer) | Nomine Penulis Opini Terbaik Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tukang Cukur Tradisional Tetap Eksis di Metro

24 Januari 2025   20:54 Diperbarui: 25 Januari 2025   04:14 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tukang cukur tradisional (Sumber: KOMPAS.com/Verryana Novita Ningrum) 

Barbershop hadir membawa tren baru, tapi tukang cukur tradisional tetap tak tergantikan di Metro. 

Sekitar tahun 2016, barbershop pertama kali hadir di Kota Metro (CMIIW, ya, warga Metro). Barbershop tersebut menempati lokasi strategis, tepatnya di belakang salah satu swalayan lokal di Kota Metro. Saya mungkin termasuk salah satu pelanggan pertama yang mencoba layanan mereka saat awal buka.

Jangan tanya, beda atau tidak antara barbershop dan pangkas rambut biasa, tentunya sangat berbeda. Di barbershop ini, ruangan ber-AC, membuat pengalaman menunggu terasa nyaman.

Bukan hanya ruangannya yang bikin betah, pelayanannya juga istimewa. Mulai dari keramas hingga pijat kepala menjadi menu andalan yang sudah termasuk dalam paket sekali potong rambut.

Atmosfer kekinian juga sangat terasa. Dari kostum pegawai, gaya rambut yang ditawarkan, hingga berbagai pernak-pernik menarik, semuanya tidak akan Anda temukan di pangkas rambut biasa.

Namun, layanan eksklusif ini tentu sebanding dengan harga yang harus dibayar. Jika pangkas rambut biasa hanya merogoh kocek sekitar Rp10.000, di barbershop Anda harus merelakan Rp25.000 untuk sekadar memotong rambut.

Perlu diingat, ini harga di Metro. Mungkin di kota-kota lain lebih mahal, sehingga uang segitu dianggap murah dengan fasilitas premium yang ditawarkan barbershop.

Sejak kemunculan perdananya pada 2016, barbershop ini menjadi pionir bagi barbershop-barbershop lain. Satu per satu mulai bermunculan dan digandrungi oleh remaja pria saat itu.

Barbershop menjadi disruptive innovation dalam pasar pangkas rambut tradisional, yang pada saat itu eksistensinya masih kuat dan belum tergantikan. 

Konsep baru yang dibawa oleh barbershop sempat mengganggu pasar tukang cukur tradisional, karena menawarkan pengalaman berbeda yang lebih premium dan sesuai dengan tren konsumen yang menginginkan kenyamanan serta pelayanan eksklusif.

Menjamurnya barbershop di Metro bahkan terjadi jauh sebelum para konten kreator pangkas rambut ramai hilir mudik di beranda media sosial.

Pada masanya, barbershop cukup menyedot perhatian masyarakat Metro, terutama anak-anak SMA dan mahasiswa. Bahkan saya, yang kala itu sudah menjadi bapak-bapak, juga cukup tertarik dengan kehadiran barbershop di Metro.

Namun sayangnya, realita tidak selalu sejalan dengan ekspektasi publik. Saya kira, di awal kehadirannya, barbershop akan cepat booming dan menggantikan pangkas rambut biasa. Nyatanya, itu tidak sepenuhnya terjadi di Kota Metro.

Value for Money

Paling hanya sekitar enam kali saya memilih barbershop untuk memangkas rambut pada tahun 2016. Setelah itu, saya kembali ke pilihan awal pangkas rambut di tukang cukur tradisional.

Ada peran besar istri dalam keputusan ini (hehehe). Istri selalu bilang, “Sama saja lo Kak, potongannya ya gitu-gitu aja.” Sampai akhirnya, biaya pangkas rambut pun mulai jadi bahan perbandingan antara barbershop dan tukang cukur tradisional.

Sebenarnya, dengan kalimat sederhana itu, istri hanya ingin mengatakan, “Eman, kalau hasilnya sama, ngapain pilih yang mahal.” Maklum, kami adalah keluarga menengah ke bawah. Jadi, uang lebih dari pangkas rambut di barbershop itu lumayan bisa dipakai untuk jajan yang lain. Minimal, bisa beli mi ayam, haha.

Setelah dipikir-pikir, apa yang dikatakan istri memang benar. Hasil akhirnya sama saja. Bedanya hanya di fitur pelayanannya.

Sepertinya istri saya cukup kritis, sehingga sampai cukur rambut saja sampai menggunakan pendekatan value for money yang mendasarkan setiap uang yang dikeluarkan dipastikan bijak, hasil maksimal dan tentu saja targetnya tercapai, hasil potongannya bagus, wkwk, sampe-sampe nya istri sampe pake evaluasi dengan pendekatan value for money, cakep dah!

Di tukang cukur tradisional, tidak ada acara pijat-pijat kepala. Tidak ada juga sesi keramas setelah rambut dipotong. Apalagi taburan bedak di rambut sesaat setelah pangkas selesai.

Jadi, wajar saja kalau barbershop lebih mahal dibandingkan tukang cukur tradisional. Tapi ini memang soal selera. Sayangnya, tampaknya selera istri saya mewakili selera sebagian besar penduduk Metro.

Mereka lebih mementingkan efisiensi dibandingkan sekadar mengejar kenyamanan atau tren. Halah, bilang aja ngirit! Wkwkwk.

Kelekatan

Akrab! Inilah yang terasa hilang saat saya berada di barbershop. Dibandingkan barbershop, tukang cukur tradisional terasa lebih “ngakrab” dan, tentu saja, lebih murah. Hal ini lah yang membuat tumbuhnya emotional attachment pada tukang cukur tradisional. 

Wajar sih kalau tukang cukur tradisional lebih akrab. Keakraban ini adalah salah satu hal yang akan diingat oleh pelanggan. Bukan soal seberapa premium fitur pelayanan yang ditawarkan, tetapi saya dan banyak teman lain menganggap keakraban sebagai hal penting yang membuat kami terus kembali untuk mencukur rambut.

Ada rasa memiliki yang mendalam dari tukang cukur tradisional. Mereka bekerja dengan senang hati, bahagia, dan penuh keramahan, sehingga menciptakan suasana yang menyenangkan bagi pelanggan.

Selain itu, jasanya pun lebih murah karena mereka bekerja untuk diri mereka sendiri. Berbeda dengan barbershop yang harus menggaji karyawan, perbedaan ini tentu berimbas pada harga jasa pangkas rambutnya.

Sebenarnya, yang pertama kali merekomendasikan barbershop kepada saya adalah murid-murid di sekolah. Mereka bilang, “Mantap, Pak, potong di barbershop itu! Adem dan nyaman, Pak.”

Namun, tidak lama setelah itu, mereka juga yang merekomendasikan tukang cukur tradisional, yang akhirnya menjadi langganan saya.

Mereka bilang, “Lebih murah, Pak. Orangnya ramah, potongannya bagus.” Saya pun mencoba, dan ternyata benar sesuai dengan yang mereka katakan. Meski tukang cukur tradisional, hasil potongannya sama saja dengan barbershop.

Akhirnya, rekomendasi mereka membuat saya jadi pelanggan tetap tukang cukur tradisional. Selain hasil potongannya yang memuaskan, hal yang paling “menjual” adalah akrab atau kelekatan mereka terhadap pelanggan. Kelekatan inilah yang membuat saya terjebak dalam customer loyalty.

Tukang Cukur VS Barbershop

Ini seperti memilih menu makan, tinggal sesuaikan selera. Bagi yang hanya mementingkan hasil potongannya saja, tukang cukur tradisional sudah cukup. Namun, bagi yang ingin kenyamanan ekstra, barbershop jelas menjadi pilihan utama.

Dari pengamatan kecil-kecilan yang saya lakukan, bisnis pangkas rambut memang mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, secara statistik, tukang cukur tradisional tampaknya lebih mendominasi dibandingkan barbershop.

Sama seperti kita yang melalui berbagai fase dalam tumbuh kembang, barbershop pun mengalami hal yang serupa, mengalami Product Life Cycle.

Saat pertama kali hadir di kota Metro, barbershop sempat menjadi primadona. Antrian panjang sering terlihat, terutama di barbershop yang menjadi pionir di kota ini. Namun, sayangnya, masa kejayaannya tidak bertahan lama.

Barbershop pertama yang saya ceritakan bahkan sekarang sudah gulung tikar. Barbershop-barbershop lain yang muncul setelahnya juga banyak yang tutup. Meski demikian, ada beberapa yang masih bertahan, walau tidak sepopuler saat awal kemunculannya.

Di sisi lain, tukang cukur tradisional justru semakin menjamur. Dalam radius 1 kilometer dari rumah saya saja, ada setidaknya tiga tukang cukur tradisional. Barbershop? Nihil.

Kemungkinan besar, menjamurnya tukang cukur tradisional ini karena biaya operasionalnya jauh lebih rendah. Mereka hanya membutuhkan peralatan seadanya untuk melayani pelanggan, sehingga lebih hemat.

Berbeda dengan barbershop yang mengutamakan kenyamanan. Mulai dari AC, kursi canggih yang bisa diatur posisi kepala, tempat keramas, hingga powder "penambah ketampanan" yang ditaburkan setelah selesai pangkas rambut. Semua fasilitas ini membuat biaya operasional barbershop menjadi lebih tinggi.

Menariknya, tukang cukur tradisional kini juga mulai mengikuti perkembangan zaman. Dengan referensi gaya rambut dari media sosial, mereka mampu menghasilkan potongan rambut yang kekinian. Tren potongan rambut modern kini bisa didapatkan tanpa harus pergi ke barbershop.

Hal ini membuat tukang cukur tradisional tetap menjadi pilihan utama, bahkan bagi anak-anak dan remaja. Meski disebut "tradisional," mereka bukan lagi tukang cukur biasa. Tren dari kreator konten pangkas rambut kini menjadi inspirasi yang memperkaya layanan mereka.

Pada akhirnya, pilihan antara tukang cukur tradisional dan barbershop kembali ke selera masing-masing. Namun yang pasti, di kota Metro, tukang cukur tradisional tetap belum tergantikan!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun