Mohon tunggu...
juniarman lawolo
juniarman lawolo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Sepak bola, musik, bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Di Balik Layar: Hidup Nyata vs Hidup Sosmed

31 Juli 2025   14:06 Diperbarui: 31 Juli 2025   14:06 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Pria sedang menggunakan smartphone (Sumber: Pexels)

Di era digital saat ini, kehidupan manusia seakan tidak bisa dilepaskan dari media sosial. Instagram, TikTok, Facebook, Twitter semuanya menjadi bagian dari rutinitas harian. 

Setiap momen yang dianggap penting bahkan yang sepele pun, kerap dibagikan ke publik. Dari sarapan pagi, outfit hari ini, hingga perasaan terdalam, semua berpindah dari realitas ke layar kaca. 

Tanpa disadari, batas antara dunia nyata dan dunia maya mulai kabur. Hidup di media sosial tampak begitu sempurna. 

Senyum yang terpajang, pasangan yang romantis, pencapaian yang membanggakan, semuanya dikemas rapi dalam bingkai estetika. 

Namun, tidak sedikit yang terjebak dalam ilusi ini. Banyak dari kita mulai membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain di feed. 

Kita lupa bahwa yang tampak di layar hanyalah "cuplikan terbaik", bukan keseluruhan cerita.

Fakta yang menyedihkan, banyak orang merasa tidak cukup baik hanya karena jumlah "likes"-nya sedikit. 

Ada yang merasa hidupnya kurang berwarna hanya karena tak mampu tampil semenarik influencer. 

Bahkan, ada yang merasa sendiri padahal dikelilingi banyak orang, hanya karena tidak seaktif teman-temannya di sosmed. 

Media sosial, yang awalnya diciptakan untuk mendekatkan, justru kadang menciptakan jurang antara kenyataan dan harapan semu.

Pertanyaannya, apakah kita benar-benar hidup, atau hanya sedang tampil? Kita bangun pagi bukan lagi untuk bersyukur, tapi untuk mengecek notifikasi.

Kita jalan-jalan bukan untuk menikmati suasana, tapi untuk mengambil gambar terbaik. Kita tertawa bukan karena bahagia, tapi karena ingin menunjukkan pada dunia bahwa kita bahagia. 

Semua serba "untuk dilihat", bukan "untuk dirasakan". Di balik layar yang terang, ada hati yang gelap. 

Di balik senyuman yang dibagikan ke publik, ada tangis yang tersembunyi di balik kamar. Banyak dari kita kehilangan momen-momen tulus karena sibuk membagikannya. 

Kita lupa, bahwa kebahagiaan sejati sering kali hadir tanpa kamera, tanpa filter, tanpa penonton.

Kehidupan sejati bukan tentang apa yang kita tampilkan di media sosial, tapi tentang apa yang kita rasakan saat tidak ada yang menonton.
Mungkin sudah saatnya kita mengurangi waktu melihat layar, dan mulai menatap wajah orang-orang yang benar-benar peduli. 

Mungkin sudah saatnya kita berhenti berlomba menjadi versi terbaik di feed, dan mulai berdamai dengan diri kita sendiri di dunia nyata.

Kesimpulannya media sosial tidak salah. Yang perlu kita ubah adalah cara kita memaknai dan menggunakannya. Karena pada akhirnya, bukan jumlah followers yang menentukan kualitas hidup kita, tapi seberapa jujur dan damai hati kita ketika tidak ada yang menilai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun