Dalam setiap perjalanan hidup, manusia tidak akan pernah bisa lepas dari kata cinta. Cinta bukan sekadar emosi, bukan hanya sekadar rasa suka yang datang dan pergi. Cinta adalah energi yang mampu menggerakkan hati, membentuk laku, dan mendewasakan jiwa.
Namun sayangnya, cinta sering dipersempit maknanya menjadi sekadar urusan asmara. Padahal, cinta sejatinya adalah ibadah-ibadah yang paling lembut, paling sunyi, tapi paling dalam. Ia hadir tanpa gaduh, bekerja dalam diam, dan menjelma dalam bentuk pengorbanan yang kadang tak terlihat mata.
Dalam pandangan spiritual, cinta adalah bentuk paling murni dari ketaatan. Ketika kita mencintai seseorang, seharusnya cinta itu membawa kita lebih dekat kepada Tuhan, bukan menjauh dari-Nya.Â
Maka ketika cinta hadir dengan keikhlasan, dengan niat suci, dan dengan batas-batas yang dijaga, cinta itu berubah menjadi bentuk ibadah yang tak hanya memperindah hati, tetapi juga menumbuhkan ketundukan.Â
Cinta bisa membuat kita menjadi lebih sabar, lebih menghargai, lebih menjaga, dan lebih banyak bersyukur. Bukankah itu semua adalah bagian dari ibadah?
Cinta yang sejati tidak hanya hidup di antara dua insan, tetapi juga hidup dalam pengabdian. Ibu yang mencintai anaknya dengan tulus, suami yang bekerja keras demi keluarga, sahabat yang diam-diam berdoa agar kita tetap kuat, semuanya adalah bentuk cinta yang diam-diam menjadi ibadah.Â
Mereka tidak mengharap balasan dan tidak mencari sorotan. Mereka hanya ingin yang dicintainya bahagia. Dan di situlah letak keindahan ibadah cinta yang sesungguhnya.
Namun dalam dunia yang serba cepat ini, cinta seringkali dibungkus oleh ego. Kita mencintai agar dicintai kembali. Kita memberi agar bisa menerima. Kita mengorbankan sesuatu, tetapi berharap imbalannya segera datang. Jika tidak, kita merasa dikhianati.Â
Di sinilah cinta kehilangan ruh ibadahnya. Ia menjadi transaksional, bukan lagi pengabdian. Padahal, cinta yang merupakan ibadah tidak pernah menuntut, ia justru memberi ruang untuk tumbuh, untuk berkembang, dan untuk saling menguatkan, meski kadang harus melalui luka.
Cinta sebagai ibadah bukan berarti tidak menyakitkan. Terkadang, mencintai membuat kita harus melepaskan. Kadang, mencintai mengharuskan kita diam, meski hati ingin bersuara.Â